Jaka Tingkir dan Swadaya Masyarakat

Kita hampir selalu melihat perkembangan LSM/NGO (Lembaga Swadaya Masyarakat/Non Govermental Organization) sebagai fenomena yang baru. Padahal kalau kita simak dengan teliti, sejarah masa lampau kita akan memperlihatkan asal-usul LSM pada sejarah masa lampau kita sendiri. Dalam hal ini, kita dapat memulainya dengan kisah pertarungan antara Sultan Hadiwidjaya (Raden Mas Karebet atau Jaka Tingkir) di Pajang dan menantunya, Sutawidjaya.
Sutawidjaya kemudian terkenal dengan sebutan Panembahan Senopati Ing Alaga Sayyidin Panatagama, pendiri Dinasti Mataram yang kita kenal sekarang. Pertempuran keduanya, di Pajang, akhirnya dimenangkan oleh Sutawidjaya. Dengan demikian, Sultan Hadiwidjaya harus mencari “modal baru” dalam pertarungan itu. Dan untuk itu, ia kembali ke rumah ibunya, Asta Tinggi, Sumenep (Madura).
Sebagai penganut tarekat Qodiriyyah, ia kemudian memperoleh 40 macam kanuragan (kesaktian) baru. Dalam perjalanan kembali ke Pajang, ia menaiki perahu yang melaju di atas Sungai Solo. Hal ini, sebagaimana dilanggengkan dalam tembang Jawa “‘Sigra milir, sang gethek sinangga bajul, kawandasa cacalipun“. Tembang ini adalah manifestasi budaya Jawa, yang dikenal hampir oleh setiap anak Jawa yang mengenal budaya daerahnya.
Kisah Jaka Tingkir di atas “diakhiri” oleh kisah ketika ia mampir di Pulau Pringgobayan. Kini, pulau itu bertaut dengan daratan yang menjadi jembatan yang menghubungkan antara Pucukrejo dan Paciran di Kabupaten Lamongan. Di tempat itulah, Jaka Tingkir singgah untuk mengisi air dan keperluan-keperluan lain, dalam perjalanan kembali dari Pulau Madura ke Pajang dekat Demak.
Dalam persinggahan itu, ia tertidur dan vision (rukyah, impian atau wangsit) yang dialaminya terjadi. Gurunya menyatakan hendaknya ia tak meneruskan perjalanan ke Pajang, tapi tetap tinggal di pulau tersebut. Untuk apa ia kembali ke Pajang, jika hanya untuk menuntut balas kepada Sutawidjaya?
Padahal, kanuragan yang dimilikinya tidak untuk merebut takhta kerajaan dari menantunya. Kala hal itu dilakukan, ia hanya akan menjadi korban nafsu kekuasaan belaka. Dengan sendirinya, ia harus menahan diri dan mengembangkan sesuatu yang baru, yang harus dilakukannya tidak dari pusat kekuasan di Pajang, tetapi dari tempat ia berada, yaitu di Pringgobayan.
Dengan derikian, lahirlah sebuah tradisi baru yaitu adanya LSM di luar pusat kekuasaan Pajang. Ini adalah apa yang dirumuskan oleh Dr. Taufik Abdullah dengan istilah hubungan multikratonik. Dalam hubungan seperti ini, selama “kraton kecil” menyatakan ketundukan nominal kepada “kraton besar” sudah dianggap cukup. Bahwa pihak periperal mengembangkan diri dalam pola yang tidak dikehendaki oleh pusat kekuasaan, adalah sesuatu yang baru dalam sejarah bangsa kita.
Hubungan periperal-pusat yang tidak simetris ini justru dipergunakan untuk pengembangan Islam tanpa merugikan agama Hindu dan Buddha yang sedang berkuasa saat itu. Sedikit demi sedikit, agama baru yang datang kemudian mengambil alih kehidupan agama-agama terdahulu, tanpa menimbulkan perbenturan yang berarti. Dengan cara ini, sesuatu yang baru telah menggantikan hal lama tanpa ada perbenturan politik yang dahsyat.
Ini berarti, LSM yang bergerak di akar rumput (grass roots) harus mengembangkan jati dirinya sendiri, hingga tidak harus mengikuti pola LSM-LSM internasional, kalau dikehendaki tidak ada perbenturan besar melawan sistem kekuasaan yang ada. Ini berarti keharusan bagi mereka untuk tidak bergantung pada dunia luar, tetapi menggunakan cara dan gaya hidup masing-masing yang benar-benar berasal dari rakyat. Di sisi inilah kita berharap banyak dari LSM-LSM kita, bukannya sesuatu yang didiktekan dari luar.
Singapura, 7 Nopember 2001
Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan oleh LKiS (2010) dengan judul “Membaca Sejarah Lama (2)”. Redaktur memberi tambahan judul untuk memudahkan pencarian.