Judul |
---|
Anak-Anak Abraham |
Editor (Penyunting) |
Kelly James Clark |
Penerbit |
PT Kanisius, yogyakarta 2014 |
Kategori |
Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur, Kumpulan Tulisan Bersama |
Arsip Tahun |
2014 |
Bibliografi
Dewasa ini, seperti ditulis Kelly James Clark, penyunting buku ini dalam pengantarnya, banyak orang ‘Ateis Baru (New Atheists) yang mencurigai agama. Mengutip antara lain tiga penulis terkenal, Kelly mengutarakan kecurigaan mereka bahwa agama adalah sumber kejahatan di dunia, merencanakan kehancuran dunia, dan meracuni segalanya. Alasannya, karena agama-agama bersikap fundamentalis, intoleran, melakukan kekerasan. Mereka berpendapat ‘toleransi antar agama saja tidak mencukupi untuk mengatasi problem kekerasan dan intoleransi, karena persoalan utamanya ada pada agama itu sendiri. Menurut pengikut Ateis Baru ini, kepercayaan akan adanya keselamatan dan kehidupan sesudah mati itu sendiri mendorong mereka dan menuntut perlunya sikap keras yang tidak peduli pada yang lain (intoleran).
Menghadapi pernyataan kaum ‘Ateis Baru’ tersebut, buku ini mencoba menjawab persoalan “toleransi yang memang tidak sederhana. Ada tiga hal yang menarik bagi pembaca, khususnya di Indonesia tentang buku ini. Pertama, buku ini disusun dari trialog atau pembicaraan tiga pihak agama-agama Abrahamik, yang jarang kita dengarkan. Satu pertemuan trialog agama-agama Abrahamik, kalau bukan satu-satunya sejauh ini, yang pernah diadakan di Indonesia adalah yang diselenggarakan oleh International Scholars Annual Trialogue (ISAT) pada 14-19 Februari, 2000 di Jakarta. Tentu saja dengan masuknya agama Yahudi, trialog akan memberikan perspektif baru yang berbeda dari dialog Kristen-Islam yang sudah sering dilakukan di tanah air. Kedua, buku ini ditulis oleh tokoh-tokoh dunia yang menuliskan refleksi dan pengalaman keagamaan mereka yang mendalam, dengan merujuk tradisi dan Kitab Suci mereka. Dengan kata lain apa yang mereka tulis mengalir dari iman yang hidup. Tanpa meninggalkan dimensi akademik serta kemungkinan adanya perbedaan perbedaan mendalam, trialog ini justru mencerminkan kejujuran dan ketulusan hati para pembicara, serta keinginan untuk saling memahami dari hati ke hati”. Dalam arti ini trialog agama mengatasi pertimbangan pertimbangan politis, yang sering keras dan intoleran Ketiga, dari buku ini, kita bisa belajar banyak dan memperdalam pengertian “toleransi yang begitu kompleks dan kaya dari para tokoh dunia dan dari sumber keagamaan yang mereka hayati. Tiha tiba kita seperti diingatkan akan adanya ‘panggilan’ bersama dari ketiga agama, yang sebetulnya mewarisi sumber spiritualitas yang sama, tetapi terpisah-pisah oleh peristiwa-peristiwa sejarah dan kejadian-kejadian manusiawi (Prof Dr. A. Sudiarja).