Kembali ke 2 Bunga Rampai

Dua Yang Satu – Muhammadiyah Dalam Sorotan Cendekiawan NU

2 Bunga Rampai
Dua Yang Satu – Muhammadiyah Dalam Sorotan Cendekiawan NU
Judul
Dua Yang Satu – Muhammadiyah Dalam Sorotan Cendekiawan NU
Editor (Penyunting)
Abd. Rohim Ghazali
Penerbit
Mizan, Bandung, Juli 2000 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Pengantar Penerbit

Pengantar Editor

Tentang Penulis

 

Bagian Pertama. Menyoal Hubungan Muhammadiyah-NU

  1. Muhammadiyah-NU, Perlu Meneladani Keikhlasan Rasulullah Saw.
    Oleh: Abdurrahman Wahid
  2. NU-Muhammadiyah Bersaudara atau Orang Lain
    Oleh: S. Sinansari ecip
  3. NU-Muhammadiyah dan Lain-Lain
    Oleh: M. Said Budairy
  4. Hubungan NU-Muhammadiyah Akan Semakin Baik
    Oleh: Ahmad Bagja
  5. NU, Muhammadiyah, dan Munculnya Generasi Baru
    Oleh: Cholidy Ibhar
  6. Refleksi Hubungan NU-Muhammadiyah, Perspektif Kaum Muda
    Oleh: Munawar Fuad Noeh

 

Bagian Kedua. Muhammadiyah dan Politik

  1. Muhammadiyah dan Dinamika Politik Umat
    Oleh: Slamet Effendy Yusuf
  2. Muhammadiyah dan Politik: Belajarlah pada Realitas
    Oleh: Soetjipto Wirosardjono
  3. Muhammadiyah dan Politik: Berdirilah di Atas Kepentingan Bersama
    Oleh: Salahuddin Wahid
  4. Muhammadiyah, Politik Orde Baru, dan Peran Amien Rais
    Oleh: Masykuri Abdillah
  5. Muhammadiyah: Antara Masyarakat Utama, Sipil, dan Politik
    Oleh: M. Syafiq Hasyim
  6. Paradigma Baru Politik Muhammadiyah: Dari “Sedakep” ke “Sregep”
    Oleh: Aceng Abdul Azis

 

Bagian Ketiga. Muhammadiyah dan Gerakan Tajdid

  1. Muhammadiyah dan Pembaruan
    Oleh: Alwi Shihab
  2. Pembaruan Muhammadiyah dan Wacana Kesetaraan Gender
    Oleh: Musdah Mulia
  3. NU dan Muhammadiyah dalam Pemikiran Hukum
    Oleh: A. Qodri Abdillah Azizy
  4. Muhammadiyah, Ekspresi Kontemporer Islam
    Oleh: M. Imam Aziz
  5. Muhammadiyah dan Kepesantrenan
    Oleh: Abdul Muchith Muzadi
  6. Muhammadiyah Perlu Membangun Kerangka Teologis
    Oleh: Masdar F. Mas’udi

 

Sumber Tulisan

Indeks

Sinopsis

Buku ini merupakan serial buku kedua terbitan Mizan. Serial pertama, terbit tahun 1999, ialah buku “Gus Dur dalam Sorotan Cendekiawan Muhammadiyah”. Sebagai tanggapan atas buku tersebut, maka dihadirkanlah Dua yang Satu, Muhammadiyah dalam Sorotan Cendekiawan NU.

 

Bisa dikatakan buku kedua ini menjadi serial buku ‘rekonsiliasi’ antara NU dan Muhammadiyah. Mengapa demikian, karena dalam sejarahnya dua ormas terbesar di Indonesia tersebut pernah mengalami ketegangan—di sebagian wilayah mungkin masih terasa gesekan-gesekan itu sampai sekarang—baik dari sudut kultural (perbedaan cara melihat tradisi dan amaliah) dan dari sudut struktural (era Soekarno dan Soeharto, dengan gaya politiknya yang semakin memperuncing hubungan NU-Muhammadiyah).

 

Judul Dua yang Satu, adalah simbol dua ormas yang memiliki corak dan gaya kepemimpinan yang berbeda dalam mendakwahkan Islam di Indonesia, namun keduanya sama-sama memiliki tujuan yang satu; menjadi rahmat bagi semua. Sebab itu, isi dari buku ini para penulis tengah mencari akar perbedaan, tetapi untuk kebersamaan. Harapannya di kemudian hari, baik generasi NU dan Muhammadiyah, bisa bekerja sama, mlaku bareng, bersinergi.

 

Ada delapan belas tulisan yang tersaji dalam buku ini. Ditulis oleh intelektual NU dari generasi Gus Dur hingga di bawahnya, seperti M. Imam Aziz, M. Syafiq Hasyim, Alwi Shihab, Masdar Farid Mas’udi, dan lainnya. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, tentang hubungan Muhammadiyah dan NU. Kedua, Muhammadiyah dan Politik. Ketiga, Muhammadiyah dan gerakan tajdidnya.

 

Ketiga hal tersebut, sampai kapan pun, masih relevan diperbincangkan dengan tensi politik dan tantangan zaman yang berbeda.

 

Tulisan Gus Dur masuk kategori pertama, dengan judul: Muhammadiyah-NU Perlu Meneladani Keikhlasan Rasulullah Saw. Dalam tulisannya itu, Gus Dur memberikan pandangannya supaya dalam berorganisasi, di mana pun berada, kita harus sepenuhnya menanamkan rasa ikhlas. Hal itulah yang diteladankan oleh para pendiri NU dan Muhammadiyah; Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari.

 

Selain keikhlasan, Gus Dur berbicara tentang pentingnya menjalin persatuan dan kerjasama. Sebagaimana yang diajarkan para pendahulu. Gus Dur mengisahkan kedekatan antara Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan (keduanya memiliki sanad ilmu yang sama, murid dari Kiai Soleh Darat Semarang), dan rasa saling hormat antara Kiai Bisri dan Kiai Hadjid dalam menyikapi perbedaan pandangan hukum, saling tukar-menukar pendapat, dan diselesaikan berhari-hari.

 

Gus Dur juga mengutip ayat-ayat al-Qur’an sebagai landasan sikap yang diamalkan oleh para masyayikh NU-Muhammadiyah. Tentang keimanan, kesabaran, menyuarakan kebenaran, beramal saleh, keikhlasan, dan seruan untuk mengayomi semua golongan, rahmatan lil’alamin.

 

Cara pandang dalam buku ini masih cukup segar dibaca kembali, terutama dari kalangan NU dan Muhammadiyah, agar tidak sempit dalam berpikir, dan bisa lebih mementingkan kemaslahatan bangsa dibanding kepentingan pribadi.