Kembali ke 2 Bunga Rampai

Agama dan Kekerasan – Dari Anarkhisme Politik ke Teologi Kekuasaan

2 Bunga Rampai
Agama dan Kekerasan – Dari Anarkhisme Politik ke Teologi Kekuasaan
Judul
Agama dan Kekerasan – Dari Anarkhisme Politik ke Teologi Kekuasaan
Editor (Penyunting)
A. Helmy Faishal Zein, M. Arfin Hamid, Asrorun Ni'am
Penerbit
PP-IPNU dan Lembaga Studi Agama dan Sosial (elsas), Jakarta Pusat, Desember 1998 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Pengantar Editor

Sambutan PP-IPNU

Sambutan PBNU

Daftar Isi

 

Bagian 1. Agama dan Kekerasan – Pendekatan Teologis

  1. Teologi Kekerasan
    Oleh: M. Luqman Hakim
  2. Ahimsa; Gaya Hidup tanpa Kekerasan
    Oleh: Utami Pidada
  3. Eksoterisme dan Kekerasan Agama
    Oleh: Dr. KH. Said Aqil Siradj
  4. Teologi Kristen dan Kekerasan Agama
    Oleh: Eka Darmaputen, Ph.D
  5. Radikalisme dalam Islam
    Oleh: Dr. Alwi Shihab

 

Bagian 2. Kekerasan – Euphoria Politik yang Tersesat

  1. Dialog Format Politik yang Humanis
    Oleh: Dr. Mudji Sutrisno
  2. Agama, Kekerasan, dan Etika Sosial
    Oleh: Laode Ida
  3. Kekerasan Rasial; Perspektif HAM
    Oleh: Hendardi

 

Bagian 3. Kebebasan Beragama dan Wawasan Kebangsaan

  1. Negara, Agama dan Segregasi Sosial
    Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
  2. Agama Sumber Etika Negara Bangsa : Perlu Pemikiran Ulang?
    Oleh: Masdar F. Mas’udi
  3. Wawasan Kebangsaan dan Kebebasan Beragama
    Oleh: Th. Sumartana
  4. Pluralitas Agama dalam Pluralitas Bangsa
    Oleh:  Dr Franz Magnis Soeseno
  5. Potensi, Peluang dan Tantangan Kerukunan Beragama
    Oleh: J. Garang

 

Bagian 4. Agama dan Relasi Kuasa

  1. Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia : Hubungan Negara dan Civil Society
    Oleh:  Dr. Muhammad AS. Hikam
  2. Pluralitas Agama dalam Negara-Bangsa
    Oleh: Mathori Abdul Djalil
  3. Hubungan Agama dan Kekerasan dalam Negara Demokratis
    Oleh: Marzuki Darusman
  4. Kehidupan Beragama dalam Kemajemukan Bangsa
    Oleh: Bambang Triantoro

 

Indeks

Sinopsis

Tak jarang agama dijadikan bungkus oleh suatu kelompok atau individu untuk menghalalkan kekerasan. Konflik sosial dan politik, termasuk isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) digunakan sebagai dalih untuk melakukan tindak kekerasan. Buku ini membuka mata kita, mengajak pembaca melihat ada motif apa di balik kekerasan yang mengatasnamakan agama.

 

Buku dibagi menjadi empat bagian, ditulis oleh 17 akademisi termasuk Gus Dur. Pertama, Agama dan Kekerasan-Pendekatan Teologis. Kedua, Kekerasan-Euphoria Politik yang Tersesat. Ketiga, Kebebasan Beragama dan Wawasan Kebangsaan. Keempat, Agama dan Relasi Kuasa.

 

Pembaca disuguhkan bahwa agama dan kekerasan itu tidaklah tunggal. Pasti ada hal yang melatarbelakanginya, terutama peran politik—dalam hal ini negara atau militer—yang ikut serta membiarkan kekerasan itu terjadi. Selain itu, masyarakat yang mudah terprovokasi dengan isu-isu SARA. Karenanya, membaca buku ini menjadi penting, dari anarkisme politik ke teologi kekerasan.

 

Gus Dur menyumbangkan idenya dalam “Negara, Agama, dan Segregasi Sosial”. Yang pertama, Gus Dur membicarakan hubungan antara agama dan negara. Beliau memulai dengan hasil Fatwa NU tahun 1935, yang menyatakan untuk mempertahankan negara Hindia Belanda. Walaupun Hindia Belanda bukanlah negara Islam, karena Islam tidak mensyaratkan bentuk negara tertentu, yang terpenting negara menjamin kebebasan beragama. Tidak memaksakan agama tertentu pada masing-masing individu.

 

Yang kedua, posisi Islam dan Pancasila. Di Indonesia, selain sebagai akidah atau keyakinan, Islam mewujud sebagai etika sosial. Sementara Pancasila menjadi dasar negara yang menjamin hak-hak warganya, termasuk kebebasan beragama.

 

Dalam tantangan dunia modern seperti saat ini, alat komunikasi makin canggih, kita bisa menyebarkan pesan-pesan (informasi) dengan cepat. Dalam konteks saat itu, adalah munculnya media Risalah dan al-Ikhwan oleh kelompok mahasiswa militan. Tak menutup kemungkinan dengan adanya teknologi upaya tersebarnya ideologi ekstremis dapat digaungkan dengan mudah dan masif.

 

Sebab itu, yang ketiga, Gus Dur mewanti-wanti pemerintah agar bijak dalam menjaga hubungan agama dan negara. Jika tidak bisa seimbang, maka dapat memunculkan kekerasan atas nama agama. Menjaga integritas nasional itu penting, bukan malah menciptakan segregasi sosial.

 

Saran Gus Dur, pemerintah jangan terlalu dekat dengan organisasi keagamaan karena dapat menciptakan birokratisasi agama, jangan pula terlalu jauh dan tidak melibatkan lembaga keagamaan, karena dikhawatirkan kelompok ekstremis makin tumbuh subur, membentuk jaringan eksklusifisme, merasa kelompoknya sendiri yang paling benar.

 

Buku ini penting supaya kita tidak mudah mempermainkan agama untuk kepentingan elektoral, mempolitisasi agama, serta mampu melawan narasi kebencian yang seringkali mengatasnamakan agama. Agama seharusnya menjadi spirit perdamaian, bukan kekerasan.