Judul |
---|
Dua Yang Satu – Muhammadiyah Dalam Sorotan Cendekiawan NU |
Editor (Penyunting) |
Abd. Rohim Ghazali |
Penerbit |
Mizan, Bandung, Juli 2000 (cetakan ke-1) |
Kategori |
2 Bunga Rampai, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2000 |
Judul Tulisan
Pengantar Penerbit
Pengantar Editor
Tentang Penulis
Bagian Pertama. Menyoal Hubungan Muhammadiyah-NU
- Muhammadiyah-NU, Perlu Meneladani Keikhlasan Rasulullah Saw.
Oleh: Abdurrahman Wahid - NU-Muhammadiyah Bersaudara atau Orang Lain
Oleh: S. Sinansari ecip - NU-Muhammadiyah dan Lain-Lain
Oleh: M. Said Budairy - Hubungan NU-Muhammadiyah Akan Semakin Baik
Oleh: Ahmad Bagja - NU, Muhammadiyah, dan Munculnya Generasi Baru
Oleh: Cholidy Ibhar - Refleksi Hubungan NU-Muhammadiyah, Perspektif Kaum Muda
Oleh: Munawar Fuad Noeh
Bagian Kedua. Muhammadiyah dan Politik
- Muhammadiyah dan Dinamika Politik Umat
Oleh: Slamet Effendy Yusuf - Muhammadiyah dan Politik: Belajarlah pada Realitas
Oleh: Soetjipto Wirosardjono - Muhammadiyah dan Politik: Berdirilah di Atas Kepentingan Bersama
Oleh: Salahuddin Wahid - Muhammadiyah, Politik Orde Baru, dan Peran Amien Rais
Oleh: Masykuri Abdillah - Muhammadiyah: Antara Masyarakat Utama, Sipil, dan Politik
Oleh: M. Syafiq Hasyim - Paradigma Baru Politik Muhammadiyah: Dari “Sedakep” ke “Sregep”
Oleh: Aceng Abdul Azis
Bagian Ketiga. Muhammadiyah dan Gerakan Tajdid
- Muhammadiyah dan Pembaruan
Oleh: Alwi Shihab - Pembaruan Muhammadiyah dan Wacana Kesetaraan Gender
Oleh: Musdah Mulia - NU dan Muhammadiyah dalam Pemikiran Hukum
Oleh: A. Qodri Abdillah Azizy - Muhammadiyah, Ekspresi Kontemporer Islam
Oleh: M. Imam Aziz - Muhammadiyah dan Kepesantrenan
Oleh: Abdul Muchith Muzadi - Muhammadiyah Perlu Membangun Kerangka Teologis
Oleh: Masdar F. Mas’udi
Sumber Tulisan
Indeks
Sinopsis
Buku ini merupakan serial buku kedua terbitan Mizan. Serial pertama, terbit tahun 1999, ialah buku “Gus Dur dalam Sorotan Cendekiawan Muhammadiyah”. Sebagai tanggapan atas buku tersebut, maka dihadirkanlah Dua yang Satu, Muhammadiyah dalam Sorotan Cendekiawan NU.
Bisa dikatakan buku kedua ini menjadi serial buku ‘rekonsiliasi’ antara NU dan Muhammadiyah. Mengapa demikian, karena dalam sejarahnya dua ormas terbesar di Indonesia tersebut pernah mengalami ketegangan—di sebagian wilayah mungkin masih terasa gesekan-gesekan itu sampai sekarang—baik dari sudut kultural (perbedaan cara melihat tradisi dan amaliah) dan dari sudut struktural (era Soekarno dan Soeharto, dengan gaya politiknya yang semakin memperuncing hubungan NU-Muhammadiyah).
Judul Dua yang Satu, adalah simbol dua ormas yang memiliki corak dan gaya kepemimpinan yang berbeda dalam mendakwahkan Islam di Indonesia, namun keduanya sama-sama memiliki tujuan yang satu; menjadi rahmat bagi semua. Sebab itu, isi dari buku ini para penulis tengah mencari akar perbedaan, tetapi untuk kebersamaan. Harapannya di kemudian hari, baik generasi NU dan Muhammadiyah, bisa bekerja sama, mlaku bareng, bersinergi.
Ada delapan belas tulisan yang tersaji dalam buku ini. Ditulis oleh intelektual NU dari generasi Gus Dur hingga di bawahnya, seperti M. Imam Aziz, M. Syafiq Hasyim, Alwi Shihab, Masdar Farid Mas’udi, dan lainnya. Buku ini dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, tentang hubungan Muhammadiyah dan NU. Kedua, Muhammadiyah dan Politik. Ketiga, Muhammadiyah dan gerakan tajdidnya.
Ketiga hal tersebut, sampai kapan pun, masih relevan diperbincangkan dengan tensi politik dan tantangan zaman yang berbeda.
Tulisan Gus Dur masuk kategori pertama, dengan judul: Muhammadiyah-NU Perlu Meneladani Keikhlasan Rasulullah Saw. Dalam tulisannya itu, Gus Dur memberikan pandangannya supaya dalam berorganisasi, di mana pun berada, kita harus sepenuhnya menanamkan rasa ikhlas. Hal itulah yang diteladankan oleh para pendiri NU dan Muhammadiyah; Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy’ari.
Selain keikhlasan, Gus Dur berbicara tentang pentingnya menjalin persatuan dan kerjasama. Sebagaimana yang diajarkan para pendahulu. Gus Dur mengisahkan kedekatan antara Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan (keduanya memiliki sanad ilmu yang sama, murid dari Kiai Soleh Darat Semarang), dan rasa saling hormat antara Kiai Bisri dan Kiai Hadjid dalam menyikapi perbedaan pandangan hukum, saling tukar-menukar pendapat, dan diselesaikan berhari-hari.
Gus Dur juga mengutip ayat-ayat al-Qur’an sebagai landasan sikap yang diamalkan oleh para masyayikh NU-Muhammadiyah. Tentang keimanan, kesabaran, menyuarakan kebenaran, beramal saleh, keikhlasan, dan seruan untuk mengayomi semua golongan, rahmatan lil’alamin.
Cara pandang dalam buku ini masih cukup segar dibaca kembali, terutama dari kalangan NU dan Muhammadiyah, agar tidak sempit dalam berpikir, dan bisa lebih mementingkan kemaslahatan bangsa dibanding kepentingan pribadi.