Kembali ke 2 Bunga Rampai

Identitas & Kedaulatan

2 Bunga Rampai
Identitas & Kedaulatan
Judul
Identitas & Kedaulatan
Editor (Penyunting)
Dr. Th. Sumartana, Dr. Eka Darmaputra, Drs. Djohan Effendi, Dr. Daniel Dhakidae, Zulkifli Lubis
Penerbit
Institute DIAN/Interfidei, Yogyakarta, 1998 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Daftar Isi

Pengantar Redaksi

Dari Hati ke Hati, Selayang Pandang Hidupku

  • Oleh: Gedong Bagoes Oka

Sekapur Sirih

  • Oleh: Prof. Dr. Loekman Soetrisno

 

Bagian Pertama – Gedong Bagoes Oka di Mata Orang yang Mengenal

  1. Murid Mahatma Gandhi di Bali
    • Oleh: YB. Mangunwijaya
  2. To Do Things Differently (Mengikuti Jalan yang Sudah Ditunjukkan oleh Ibu Gedong Bagoes Oka)
    • Oleh: Ruedy Hofmann
  3. Ibu Gedong Bagoes Oka dan Ashram Gandhi Canti Dasa
    • Oleh: I. Nyoman Sadra
  4. Ibu Gedong Bagoes Oka: Energi Sebuah Kebersahajaan
    • Oleh: Palguna
  5. Antara Saya (Anak) dan Ibu Gedong
    • Oleh: Agus Indra Udayana
  6. Seorang Pendidik yang Saya Kenal
    • Oleh: I Gede Widya

 

Bagian Kedua – Perbincangan di Sekitar Dialog Antar Agama dan Perempuan

  1. Sinkretisme, Sebuah Tantangan di Tengah Pluralisme, Keterbukaan dan Dialog Antar Agama
    • Oleh: Th. Sumartana
  2. Spiritualitas, Pluralitas dan Modernitas
    • Oleh: Eka Darmaputera
  3. Menuju Praksis Dialog Antar Agama yang Lebih Emansipasif (Beberapa Catatan Perihal Gender dan Agama)
    • Oleh: Farha Ciciek
  4. Menyepakati Tanggungjawab Sosial Agama-agama
    • Oleh: Elga Sarapung
  5. Memenuhi Panggilan Suci: Perempuan dalam Gereja Coptik
    • Oleh: Nelly van Doorn

 

Bagian Ketiga – Perbincangan di Sekitar Negara dan Kebudayaan

  1. Tanah Air dan Kedaulatan Rakyat
    • Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
  2. Menuju Masa Depan Republik yang Berkeadilan Sosial dan Demokratis
    • Oleh: Sri Bintang Pamungkas
  3. Budaya Rakyat
    • Oleh: JB. Banawiratma, SJ
  4. Ibu Gedong Menatap Perubahan Kebudayaan Masyarakat
    • Oleh: Zuly Qodir

 

Indeks

Biodata Penulis

 

Sinopsis

Mungkin, di luar kota Bali, nama Ibu Gedong tak begitu familier. Ketokohannya tak banyak orang tahu. Padahal nilai hidup dan keteladanan yang dibawanya sangat penting untuk diketahui, supaya jadi inspirasi terutama dari kalangan perempuan.

 

Sebab itu, buku ini dihadirkan oleh Institute DIAN/Interfidei dalam menyambut 77 tahun usia Ibu Gedong Bagoes Oka. Ibu Gedong merupakan salah satu tokoh penting umat Hindu di Pulau Dewata. Beliau menjadi penggerak/aktivis kemanusiaan di berbagai isu-isu sosial.

 

Prinsip yang beliau pegang adalah anti kekerasan (non-violence), terilhami dari sosok Mahatma Gandhi, pemimpin spiritual dan politikus India. Nafas anti kekerasan tersebut yang kemudian membawanya bergerak dalam isu apa pun yang digelutinya. Isu perdamaian, lingkungan, maupun pendidikan.

 

Sifat welas asihnya kepada semua makhluk, justru semakin terasah dari perilaku hidupnya sebagai seorang vegetarian. Prinsip yang dipegang adalah tidak mau menyakiti siapa pun, karena semua makhluk adalah ciptaan Tuhan. Menyakitinya berarti menyakiti penciptanya. Sebab itu beliau hidup dalam kesederhanaan, tidak terpukau dengan hal ihwal duniawi.

 

Dalam isu lingkungan, ia berpegang pada ajaran Veda/Vedanta, bahwa kelestarian alam adalah tanggung jawab semua umat manusia. Merusak alam sama halnya merusak diri sendiri.

 

Dalam dunia pendidikan, beliau menginginkan agar anak-anak terbebas dari buta huruf, dan minimal menempuh studi setingkat SMP/SLTP. Lebih-lebih kepada perempuan, karena selama ini yang menjadi sasaran tindak kejahatan, seperti kekerasan seksual, eksploitasi, penipuan, dan manipulasi adalah kaum hawa. Dengan memiliki pendidikan yang tinggi, derajat perempuan semakin terangkat dan sulit dibodohi, karena melek baca.

 

Dari sana Ibu Gedong mendirikan Yayasan Kosala Wanita, sebuah yayasan yang bergerak untuk pemberdayaan perempuan. Beliau juga tercatat pernah menjabat sebagai kepala sekolah (1941) dan guru bahasa Inggris (1965-1972).

 

Melihat kiprah Ibu Gedong tersebut, tentu banyak hal yang bisa dipelajari dan diambil hikmahnya, terutama proses beliau dalam melakukan pemberdayaan kepada masyarakat. Apalagi relijiusitas Hindu Bali yang dikembangkan olehnya itu mengambil inspirasi dari Mahatma Gandhi. Bahkan Romo Mangunwijaya dalam buku ini menulis: “Murid Mahatma Ghandi di Bali”. Hal itu semakin menguatkan sosok Ibu Gedong yang harus diteladani.

 

Beberapa sahabat ikut serta menulis untuknya, tak terkecuali Gus Dur. Ada Lima belas tulisan yang dibagi ke dalam tiga bagian. Dalam tulisannya, Gus Dur membuka tulisan dengan membicarakan kasus konflik agraria, penguasaan dan penggusuran tanah oleh penguasa. Terjadi di Bali dan Tasikmalaya.

 

Pemerintah, dengan segala kekuatannya, telah melakukan perbuatan zalim, semena-mena mengambil hak (tanah) rakyat dengan atas nama pembangunan, proyek. Pemerintah cenderung mengabaikan hak historis dan tradisi.

 

Sebab itu, diperlukanlah sosok-sosok seperti Ibu Gedong di tengah-tengah kita. Yang berjuang untuk rakyat tidak untuk kepentingan politis, mendulang suara. Murni untuk kemaslahatan, kedaulatan rakyat.

 

Darinya kita belajar banyak hal, tentang keteladanan, kekuatan moral, dan konsistensinya dalam mendampingi masyarakat untuk perubahan jangka panjang. Cara-cara seperti itulah yang dulu dilakukan oleh Martin Luther King dengan teologi pembebasan dan Gandhi dengan gerakan non-violence-nya.