Kembali ke 2 Bunga Rampai

Indonesia di Persimpangan Kekuasaan – Dominasi Kekerasan Atas Dialog Publik

2 Bunga Rampai
Indonesia di Persimpangan Kekuasaan – Dominasi Kekerasan Atas Dialog Publik
Judul
Indonesia di Persimpangan Kekuasaan – Dominasi Kekerasan Atas Dialog Publik
Editor (Penyunting)
Paul Tahalele, Frans Parera, Thomas Santoso
Penerbit
The Go-East Institute, Jakarta, April 2001 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Pengantar Penerbit

  • Oleh: Drs. Franz M. Parera

Pengantar Editor

  • Oleh: Dr. Dr. Med. Paul Tahalele, Sp.B, Sp.BTKV dan Drs. Thomas Santoso, M.Si

Kata Pengantar

  • Oleh: Ulil Abshar-Abdalla

 

Daftar Isi

  1. Epistemologi Kekerasan di Indonesia
    Oleh: Dr. Ignas Kleden
  2. Kekerasan, untuk Apa?
    Oleh: Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H.,M.A.
  3. Hentikan Pembantaian
    Oleh: Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno
  4. Berbeda tanpa Konflik
    Oleh: Dr. Ivan A. Hadar
  5. Kerukunan Antar-umat Beragama Masih Rawan
    Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid 
  6. Islam Anti Kekerasan: Memahami Refleksi Gus Dur
    Oleh: M. Alfan Alfian M.
  7. Pluralisme dan Toleransi Keberagaman
    Oleh: Fahruddin Salim, S.E., M.M.
  8. Agama: Etika Atasi Kekerasan?
    Oleh: Dr. Haryatmoko
  9. Keprihatinan Umat Kristiani Indonesia
    Oleh: Dr. Dr. Med Paul Tahalele, Sp.B., Sp.BTKV
  10. Episode Tahun Kekerasan 1996-1999
    Oleh: Drs. Kris Nugroho, M.A. & Drs. Thomas Santoso, M.Si.
  11. Kerusuhan Sosial di Indonesia: Telaah Sosiologis-Historis Perusakan Tempat Ibadah
    Oleh: Drs. Thomas Santoso, M.Si.
  12. Surat Terbuka untuk Presiden Gus Dur
    Oleh: Drs. Christianto Wibisono
  13. Gereja yang Memasyarakat
    Oleh: Romo Antonius Benny Susetyo, Pr.
  14. Tanggung Jawab Kemasyarakatan Gereja di Bumi Pancasila: Refleksi Sosio-Teologis
    Oleh: Prof. Dr. Pdt. P. Octavianus
  15. Reformasi Saling Percaya
    Oleh: Pendeta Prof. Dr. Wismaody Mahono
  16. FKKI dan Tokoh Agama Lain
  17. Seputar Kegiatan FKKI

 

Epilog

  • Menuju Persimpangan Jalan
    Oleh: Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A.

 

Lampiran

  • Data Perusahaan Rumah Ibadah
  • Kronologi Peristiwa
  • Pernyataan Bersama
  • Daftar Peraturan yang Diskriminatif atas Ras, Agama dan Kepercayaan di Indonesia

Sinopsis

Buku ini sampai sekarang masih relevan, berisi tentang kepingan-kepingan kasus kekerasan yang pernah terjadi di Indonesia. Pada tahun 2001, saat buku ini terbit, terdapat 825 tempat ibadah yang dirusak dan dibakar. Atas nama agama, perusakan itu dilakukan.

 

Sungguh ironi di negeri yang terkenal akan toleransi dan kebinekaannya, namun masih kerap terjadi konflik sosial antar agama yang berujung kekerasan. Faktor apa yang mendorong kekerasan itu? Kenapa kasus demi kasus masih saja terjadi tiap tahunnya? Bahkan hingga saat ini.

 

Lahirnya buku ini mencoba menjawab keresahan itu. Berisi tulisan dan ceramah oleh para aktivis dan agamawan, yang mencoba menganalisis dan mengupayakan agar kasus demi kasus supaya tidak terulang kembali. Tentunya butuh kehadiran negara, karena kata kuncinya ada di sana.

 

Ketika reformasi hukum dengan supremasi keadilannya tidak ditegakkan, serta reformasi demokrasi tidak dijalankan dengan baik, maka yang dominan adalah kekerasan. Fakta mengatakan, dari setiap kekerasan yang terjadi, justru negara adalah fasilitatornya. Menjadi sumber utama. Yakni, dengan adanya perda-perda yang diskriminatif. Ternyata, selain doktrin atas nama agama, peraturan pemerintah ikut serta memicu terjadinya tindak kekerasan.

 

Tercatat ada 62 buah ketentuan-ketentuan diskriminatif, mulai dari UU/Peraturan Pemerintah/Peraturan Menteri/SKB/Surat Edaran/Inpres, Inmen/Keppres, dan Ketetapan MPRS. Semua itu, lahir dari pemerintahan Hindia Belanda, Orde Lama, hingga Orde Baru. Negara yang harusnya menjadi pelindung, mengayomi warganya, namun malah menjadi pemantik kasus kekerasan.

 

Catatan Gus Dur dalam buku ini, adalah rekaman ceramah yang pernah disampaikan di Universitas Kristen Petra Surabaya, tahun 1996. Gus Dur membicarakan kekhawatiran atau ketakutan yang dialami oleh umat Kristiani pasca terjadinya perusakan dan perampokan yang terjadi di Gereja Sidang Jemaat Pentakosta Surabaya, 9 Juni 1996.

 

Gus Dur menyampaikan beberapa poin. Pertama, pentingnya dialog antar umat beragama, karena selama ini yang terjadi hanyalah monolog. Masing-masing pihak mengomentari dirinyalah yang paling baik dan benar. Enggan mengerti apa saja kesulitan yang dialami saudaranya.

 

Kedua, terjadi kesenjangan sosial, yang mengakibatkan antara yang kaya dan miskin, sulit bersapa, bertemu, dan duduk bareng. Yang terjadi adalah ruang sosial yang tertutup, tidak mau membuka diri dan bersosial terhadap orang lain.

 

Ketiga, persoalan bahasa. Tanpa disadari, bahasa kita mengalami keterasingan. Akibat dari hal tersebut, orang tidak saling bicara, tidak bisa menyampaikan sesuatu kepada orang lain dengan baik, maka jalan yang dipakai satu-satunya adalah bahasa kekerasan. Termasuk para mubalig dalam menyampaikan isi ceramahnya, menafsirkan ayat suci al-Qur’an dengan tafsir yang keliru, yang berujung merenggangkan hubungan sosial antar umat beragama.

 

Gus Dur menekankan pentingnya rasa saling memahami, saling mengerti, dan saling mengenal satu sama lain, karena al-Qur’an memerintahkan untuk itu. Selain itu, negara harus hadir untuk warganya, jangan sampai dengan peraturan atau Keppres Presiden, malah menghilangkan hak warganya dalam menganut kepercayaan dan keyakinannya masing-masing.