Kembali ke 2 Bunga Rampai

Islam Demokrasi Atas Bawah – Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus dur vs Amien Rais

2 Bunga Rampai
Islam Demokrasi Atas Bawah – Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus dur vs Amien Rais
Judul
Islam Demokrasi Atas Bawah – Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus dur vs Amien Rais
Editor (Penyunting)
Arief Afandi
Penerbit
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, September 1996 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Prakata

Pengantar

Daftar Isi

 

Bagian Pertama

  1. Islam dan Negara: Demokrasi Atas-Bawah
    Oleh: Arief Afandi
  2. Dua Tokoh: Dua Visi, Satu Kepedulian
    Oleh: Afan Gaffar
  3. Meletakkan Strategi: Hijau yang Menyejukkan
    Oleh: Eros Djarot
  4. Menjadikan Dua Strategi Saling Komplementer
    Oleh: Kuntowijoyo
  5. High Politic dan Demokratisasi
    Oleh: Fachry Ali
  6. Sekian Tanda Tanya untuk Sekian Ungkapan
    Oleh: A. Mustofa Bisri
  7. Perjuangan Politik Umat Islam: Aliran dan Program
    Oleh: Arief Budiman

 

Bagian Kedua

  1. Tarik Menarik Antara Atas dan Bawah
    Oleh: M. Cholil Bisri
  2. Kesalahpahaman Terhadap ICMI
    Oleh: Afan Gaffar
  3. Monodimensi Pemimpin dan Multidimensi Kepemimpinan
    Oleh: Emha Ainun Nadjib
  4. Komitmen Kita pada Nilai Keindonesiaan
    Oleh: Mohamad Sobary
  5. Islamisasi Negara dan Islamisasi Masyarakat
    Oleh: Mohtar Mas’oed
  6. Catatan atas Tanggapan-Tanggapan Sosialisasi atau Soal Paradigmatik
    Oleh: Arief Afandi

 

Bagian Ketiga

  1. Gus Dur dan Perbedaan Politik Umat
    Oleh: Muhammad AS. Hikam
  2. Amien Rais dan Paradigma Tauhid Sosial
    Oleh: Abdul Munir Mulkhan
  3. Islam, Pluralisme dan Demokratisasi
    Oleh: Abdurrahman Wahid
  4. Representasi Umat Harus Diperjuangkan
    Oleh: M. Amien Rais

 

Sumber Tulisan

Para Penulis

Indeks

Sinopsis

Buku ini membicarakan dua pemikiran tokoh politik ternama pada masanya, Gus Dur dan Amien Rais. Gus Dur sebagai representatif kalangan tradisionalis, sementara Amien Rais mewakili wajah kalangan modernis.

 

Keduanya memiliki corak yang berbeda, bahkan bisa dikata berseberangan mengenai model strategi dalam memperjuangkan umat. Perbedaan lagi antara keduanya, Gus Dur menahkodai Nahdlatul Ulama sejak Muktamar Situbondo 1984, sementara Amien Rais adalah pimpinan puncak Muhammadiyah sejak 1995. NU dan Muhammadiyah tak pernah sepi dari pembicaraan, terutama pemikiran para pemimpinnya. Pun hingga sekarang, dua ormas terbesar di Indonesia itu selalu menjadi sorotan atas gerak-geriknya.

 

Gus Dur dan Amien Rais selalu menarik untuk dihadap-hadapkan, maka buku ini mencoba mendialogkannya. Berawal dari tulisan opini di koran Jawa Pos yang dipantik oleh Arief Afandi. Lalu ditanggapi oleh banyak pakar/tokoh, antara lain Gus Mus, Affan Gaffar, Kuntowijoyo, Arief Budiman, Eros Djarot, Emha Ainun Nadjib, dan seterusnya. Ada 14 tokoh yang menanggapi atau mengomentari tulisan Arief, yang berjudul: “Islam dan Negara: Demokrasi Atas-Bawah”.

 

Sejak Mei-Juni 1995, opini Jawa Pos memuat polemik itu, tentang dua pemikiran tokoh nasional yang memotret model strategi perjuangan umat. Sangat menarik.

 

Tulisan Gus Dur sendiri dalam buku ini diambil dari makalah yang pernah disampaikannya pada acara sarasehan yang diadakan oleh LKiS Yogyakarta, “Islam, Pluralisme dan Demokratisasi“. Sementara pemikiran Amien Rais diambil dari wawancara khusus dengan penyunting.

 

Gus Dur berbicara tentang hubungan Islam dan sistem kekuasaan selama masa pemerintahan Orde Baru, yang sudah berjalan dua puluh lima tahun. Gus Dur menyatakan bahwa kekuatan Islam teralienasi dari panggung politik, karena Orde Baru menginginkan penyederhanaan (dealiranisasi), dengan asas tunggal Pancasila. Partai politik yang mempunyai aliran keislaman yang bermacam-macam—seperti NU, PSII, Perti, Parmusi—lalu dilebur atau digabung ke dalam Partai Persatuan Pembangunan. Berakhir sudah kekuatan Islam dalam panggung politik nasional.

 

Namun dengan upaya Orde Baru yang demikian, Islam akhirnya menjadi kekuatan politik informal, yang mana pemerintah membutuhkan kekuatan itu untuk menyukseskan program-program pembangunan nasionalnya. Seperti Keluarga Berencana (KB), isu lingkungan, perbaikan gizi keluarga, pendidikan, stabilitas politik dan hukum. Dari sini lalu muncul gerakan Islam sebagai korektor (karena berada di dalam sistem), sekaligus sebagai outsider, pembaca luar, pengkoreksi di luar sistem.

 

Aktivis Islam pun menyebar ke berbagai sektor, ada yang masuk ke LSM, gerakan non-politik, kampus, yayasan, birokrasi, partai politik, dan bahkan mendirikan lembaga-lembaga kajian di berbagai bidang.

 

Gus Dur lalu menganalisis tiga pendekatan gerakan Islam terhadap negara. Pertama, gerakan sosial-politis, gerakan ini menekankan perlunya keikutsertaan Islam dalam sistem kekuasaan (contoh ICMI, MUI). Kedua, gerakan kultural, Islam sebagai way of life, kesadaran atau jalan hidup sehari-hari. Tidak penting kelembagaan (contoh: muslim-muslim kota dengan aktivitas kajiannya). Ketiga, gerakan sosio-kultural. Jalan ini yang ditempuh NU, Muhammadiyah, pesantren, dan ormas lainnya. Kelembagaan penting, namun dengan cara-cara kultural. Mengubah struktur masyarakat dari bawah dalam tempo yang panjang.

 

Gus Dur dalam tulisannya lebih banyak berbicara hubungan Islam dan demokrasi, apa saja strateginya. Lalu bagaimana dengan pandangan rivalnya?