Judul |
---|
Keberanian Bernama Munir – Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir |
Penulis |
Meicky Shoreamanis Panggabean |
Editor (Penyunting) |
Ahmad Baiquni |
Penerbit |
PT Mizan Pustaka, Bandung, Desember 2008 (cetakan ke-1) |
Kategori |
3 Kata Pengantar, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2008 |
Judul Tulisan
Isi Buku
Komentar Buku Ini
Ucapan Terima Kasih
Pengantar Abdurrahman Wahid: Munir Telah Meninggalkan Kita
Pendahuluan
1
Munir Bertutur…
”Tahun ’89, udah mahasiswa, udah mau lulus, aku baru tau ada yang namanya Aceh dan di situ ada tentara”
- Munir dan Keluarga
- Munir dan Masa Lampau
- Munir dan Nilai-nilai Kehidupan
- Munir dan Impian-impiannya
- Munir dan Kehidupan Cita-citanya
2
Munir di Mata Keluarga
3
Munir di Mata Suciwati
”Saya sangat suka Munir dan ngeliat dia itu, ‘wow’.”
- Suciwati, Munir, dan Cinta
- Suciwati, Munir, dan Teror
- Surat Suciwati untuk Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
4
Munir di Mata Sahabat dan Kolega
”Dia terlalu keras pada dirinya sendiri…”
5
Dan Akhirnya, Ia pun Pergi
Penutup: Di Balik Layar
Epilog oleh F. Budi Hardiman
-Munir: Warisan Sebuah Civil Courage
Lampiran I
-Sebuah Negara Bernama Soeharto: Kilas Balik
-Kasus Penculikan Para Aktivis Politik 1998
Lampiran II
-Apa Saja yang Pernah Dilakukan Munir?
Daftar Acuan
Indeks
Profil Penulis
Sinopsis
Munir, bagi sebagian (besar) masyarakat Indonesia, adalah sebuah suara keberanian di tengah kebungkaman massal atas penindasan hak-hak asasi manusia. Itulah Munir sebagai figur publik, yang diakui sebagai seorang tokoh nasional, bahkan internasional, di bidang pembelaan HAM.
Buku ini mengisahkan sisi-sisi Munir di ranah privat, yang jarang diketahui umum. Lewat penelusuran informasi unik dari keluarga, istri, dan sahabat-sahabat, serta wawancara eksklusif, pengarang menampilkan Munir apa adanya. Bagaimana peran ayah-ibu, kakak-kakak, lingkungan, sekolah, guru, istri, anak-anak, dan sahabat-sahabatnya dalam membentuk kepribadian Munir.
Lewat buku ini, Munir seolah-olah hidup kembali di tengah kita untuk menyalakan lagi api keberanian itu.
• Pekerjaan paling berat adalah mengubah kultur ketakutan. Saya sangat ingin, orang-orang sadar bahwa problem masyarakat Indonesia, agar berubah menjadi kritis, adalah adanya rasa takut. Kita harus membongkar rasa takut itu hingga ke akar-akarnya. Ini adalah sebuah energi kalau kita mau membangun sistem masyarakat yang dinamis, merdeka, jujur terhadap sesama. Karena, ketakutan itu biasanya mengkhianati….
• Pas kuliah, aku bergabung dengan HMI. Zaman itu, aku militan sekali pro-Soeharto. Musuhku anak-anak gerakan, sampe aku bersenjata, lho. Aku bawa celurit ke kampus, berantem. Aku anggap itu perang agama… melawan orang-orang anti-Soeharto di kampus tahun ’80-an.
Cinta dan perkawinan itu bukan soal fisik, melainkan kebenaran dalam kejujuran menemukan kesesuaian. Jangan berdoa untuk dapat jodoh, tapi berdoalah untuk kebenaran. Karena disisitu cinta akan ditemukan.
• Tuhan ada pada seberapa besar cinta kita akan kebenaran….
• Waktu Kontras berdiri, itu ada isu-isu di baliknya. Isunya, aku di-back up jenderal. Sebelumnya, aku juga dituduh Yahudi, komunis, Kristen…. Terlepas dari fitnah dan pembentukan opini publik, perlu ditegaskan bahwa Kontras nggak punya musuh. Lawan Kontras sesungguhnya adalah struktur para pejabat militer lama yang nggak mau dikoreksi karena soal hak-hak asasi manusia. Intelijen nggak kuanggap musuh, tentara juga bukan musuh.
“Cara bertuturnya indah seperti novel. Data-datanya runtut seperti sebuah tesis, analisisnya tajam bagai sebuah kolom.” -Andriani L. Soetoto, praktisi periklanan, penikmat buku.