Kembali ke 1B Rekaman Proses

Menuju Masyarakat Baru Indonesia – Antisipasi terhadap Tantangan Abad XXI

1B Rekaman Proses
Menuju Masyarakat Baru Indonesia – Antisipasi terhadap Tantangan Abad XXI
Judul
Menuju Masyarakat Baru Indonesia – Antisipasi terhadap Tantangan Abad XXI
Editor (Penyunting)
St. Sularto
Penerbit
PT. Gramedia, Jakarta, 1990 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Kata Pengantar

Ucapan Terima Kasih

 

BAB I. Pendahuluan

 

BAB II. Peta Bumi Tantangan Abad XXI

  1. Globalisasi: Bumi Makin Panas
  2. Tumbuhnya Keinginan Berpartisipasi dan Melemahnya Kekuatan Perwakilan
  3. Sipil dan Milier: Siapa Harus Lebih Dominan
  4. Interdependensi Negara Maju dan Negara Berkembang
  5. Indonesia Timur–Indonesia Barat: Persoalan
  6. Kebudayaan: Pluralisme dan TantanganMondial
  7. Membenahi Strategi Pendidikan

 

BAB III. Sekenario Abad XXI

  • Memimpikan Indonesia Baru Tahun 2000 (Sebuah Epilog)

 

LAMPIRAN

  1. Transkripsi Rekaman Prasaresehan
  2. Transkripsi Rekaman Saresehan

 

Indeks 

Biodata Singkat Peserta Saresehan

Sinopsis

Buku ini dihadirkan dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun Kompas yang ke-25, tahun 1989. Menuju Masyarakat Indonesia Baru adalah buah pemikiran para intelektual/cendekiawan di bidangnya masing-masing dalam merespons tantangan Indonesia menghadapi abad 21.

 

Buku ini menjadi semacam ramalan ilmiah (futurologi) dan beberapa tampungan masalah yang terjadi saat itu (khususnya di Indonesia). Antara lain, era globalisasi yang menjadikan bumi makin panas, lebih dominan mana antara peran sipil atau militer di masyarakat, terjadi kesenjangan pembangunan di Indonesia Timur dibanding Indonesia Barat, ledakan penduduk dan konflik agraria, pluralisme dan tantangan mondial (menjadi warga dunia), serta strategi pendidikan.

 

Dari banyaknya permasalahan bangsa, Gus Dur menjadi salah satu peserta diskusi prasarasehan, yang bertempat di Wisma Kompas, Pacet-Jawa Barat, tanggal 1-2 September 1989.

 

Banyak tokoh yang terlibat dalam diskusi itu. Antara lain: Soedjatmoko, Y.B. Mangunwijaya, Arief Budiman, Sartono Kartodirdjo, Mattulada, Yahya Muhaimin, Mochtar Buchori, Iskandar Alisjahbana, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Loekman Soetrisno, dan Gus Dur sendiri. Selain nama-nama tersebut masih banyak cendekiawan di acara inti (sarasehannya), dan dibagi ke dalam kelompok-kelompok diskusi.

 

Hal ini menunjukkan peserta yang hadir adalah pemikir atau pakar di bidangnya, termasuk Gus Dur di dalamnya. Buku ini menarik, menjadi semacam dokumen penting bagaimana kita melihat gagasan-gagasan besar para tokoh dalam membincang masa depan Indonesia, dan solusi apa saja yang ditawarkan oleh para intelektual itu supaya negara ini menjadi bangsa yang kokoh dan maju.

 

Pembicaraannya pun mengalir, sesuai dengan pengalaman pemateri dalam melihat realitas sosial dan bahan bacaan yang dilahapnya.

 

Dalam transkripsi (bagian lampiran), Gus Dur tidak banyak berbicara dalam tema “global dan manusia Indonesia”, karena saking banyaknya pemateri yang sudah memberikan gagasan penting untuk Indonesia dan dunia. Poin-poin yang Gus Dur sampaikan dalam acara prasarasehan itu adalah bagaimana menjadi bangsa yang bersepakat tentang tatanan konstitusi.

 

Kenapa demikian, bagi Gus Dur ada permasalahan di sini (era Orde Baru). Pertama, karena masih belum jelas apakah ada yurisdiksi dalam mengembangkan UUD atau hukum yang sifatnya dapat menafsir atau melanjutkan pokok-pokok yang terkandung dalam UUD 1945.

 

Hal ini penting, jika tidak ada kejelasan, maka siapa pun berhak menafsirkan atau mengembangkan konstitusi, yang mengakibatkan dasar negara dapat ditarik-tarik sesuai dengan kepentingan politik masing-masing.

 

Kedua, apakah bisa mengubah status dasar hukum, di mana ada legislatif dan yudikatif yang ketat sehingga Mahkamah Agung tidak memiliki hak untuk melakukan pembahasan terhadap undang-undang. Pertanyaan Gus Dur itu muncul karena fungsi Mahkamah Agung (saat itu) belum memungkinkan untuk membahas atau menguji undang-undang.

 

Jika pertanyaan saat itu ditarik era sekarang, maka, saat ini sudah ada perubahan secara struktural dan hukum yang lebih maju dibanding tahun 1989. Namun secara praktik politik dan kultur demokrasi (hari ini) banyak hal yang masih sama, tak jauh beda dari era Orde Baru.

 

Ketika banyak tokoh atau publik yang merespons dari diskusi atau materi dalam buku ini. Tujuannya telah tersampaikan, yakni merangsang pemikiran-pemikiran lebih lanjut.