Judul |
---|
Mewaspadai Gerakan Transnasional |
Editor (Penyunting) |
Marzuki Wahid, Hamzah Sahal |
Penerbit |
LAKPESDAM-NU, Cirebon, Oktober 2007 (cetakan ke-1) |
Kategori |
1B Rekaman Proses, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2007 |
Judul Tulisan
Pengantar Penerbit
Kata Pengantar PCNU Kab. Cirebon
- Oleh: KH. Ali Murtadha, Lc., MA.
Daftar Isi
- “Susah Menghadapi Orang Salah Pаhаm”
- Wawancara dengan KH. Abdurrahman Wahid
- Bangsa & Ideologi Transnasional
- Oleh: Dr. KH. A. Hasyim Muzadi
- Ideologi Transnasional
- Oleh: KH. Husein Muhammad
- Ideologi Transnasional sebagai Tantangan bagi Jam’iyyah Perempuan NU
- Oleh: Dra. Hj. Maria Ulfah Anshor, M.Si.
- ”Ideologi Transnasional Sukses Indonesia Berubah Total”
- Oleh: Wawancara dengan Dr. KH. Ghozalie Said
- Nasionalisme NU: Fiqh Politik NU atas Negara Pancasila
- Oleh: H. Marzuki Wahid, MA
- Melampaui Perdebatan Khilafah
- Oleh: Achmad Munjid, MA
- Meneguhkan Komitmen Kebangsaan NU dalam Arus Ideologi Transnasional
- Oleh: Naruzzaman, M.Si
- Kenapa Memilih NKRI?
- Oleh: Hamzah Sahal, S.Ag.
- Aqidah dan Tradisi NU
- Oleh: KH. Syarif Usman Yahya
Sinopsis
Terbitnya buku ini sebagai upaya menjaga tradisi NU dari rongrongan gerakan wahabisasi. Gerakan ini cukup meresahkan warga NU, karena melabeli beberapa tradisi NU sebagai tradisi bid’ah dan syirik, serta ‘menyerobot’ masjid atau musala yang selama ini dikelola oleh warga nahdliyyin.
Sebagai antisipasi atas gerakan tersebut, Lakpesdam NU Cirebon bekerjasama dengan PP Fatayat NU menghadirkan buku “Mewaspadai Gerakan Transnasional”, sebagai jawaban atas keresahan umat (jama’ah dan jam’iyyah NU). Lahirnya buku ini sekiranya menjadi referensi dalam melihat bagaimana gerakan wahabi atau Islam puritan—yang sekarang dinamai gerakan transnasional itu muncul dan berkembang. Bagaimana pula pandangan para kiai dan aktivis muda NU Cirebon dalam menyikapi kemunculan gerakan ini.
Hadirnya buku ini sekaligus menjadi pemantik untuk menghidupkan kembali, ngurip-ngurip Lakpesdam NU Cirebon, yang telah lama tidak mengadakan kajian atau halaqah di pesantren-pesantren. Beberapa tokoh yang ikut serta menyumbangkan idenya dalam buku ini antara lain: Gus Dur, Kiai Hasyim Muzadi, Kiai Husein Muhammad, Nyai Maria Ulfah Anshor, Kiai Ghozalie Said, Kiai Marzuki Wahid, dan beberapa tokoh NU lainnya, ada 10 tokoh.
Pandangan Gus Dur dalam buku ini diambil dari rekaman wawancara dalam Forum Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Radio 68 H, pada tanggal 7 Mei 2007. Dalam wawancara itu, Gus Dur diberondong pertanyaan seputar keberagaman tafsir, perbedaan pendapat, dan sikap umat Islam dalam beragama. Seperti persoalan radikalisme, jihad, hukum Islam versus hukum negara, jilbab, kafir, seni rupa, hingga kebudayaan lokal.
Dalam menyikapi Islam yang sering ditafsirkan sebagai agama kekerasan oleh kalangan ekstremisme, Gus Dur menanggapi sebagai kekeliruan cara pandang, ketidakmengertian dalam memahami Islam yang damai. Bagi Gus Dur, ajaran Islam itu tidak menyerang orang lain, dan tidak pula melakukan kekerasan, kecuali kalau kita diserang duluan.
Gus Dur mengibaratkan jika kita punya rumah atau tempat tinggal, namun justru kita diusir dari rumah kita, kehormatan kita dirampas, keselamatan kita direnggut, dan dalam situasi untuk mempertahankan diri, barulah kita diperbolehkan melakukan pembelaan. Termasuk di antaranya tentang penilaian terhadap makna jihad. Tidak cukup menilai dari lahirnya saja, yang tampak luar, tapi lihat niat dan tujuannya, karena level jihad itu ada banyak bentuknya, mulai dari yang ashgar (terkecil) hingga jihad akbar (terbesar).
Selain itu, kita perlu menggeser algoritma khilafiyyah (perbedaan pendapat) ke hal yang pokok atau lebih utama, karena umat Islam selama ini masih gemar memperdebatkan persoalan khilafiyyah. Seperti kasus salat tarawih, antara NU-Muhammadiyah, lebih utama mana antara 23 rakaat atau 11 rakaat. Padahal justru persoalan yang pokok, seperti lingkungan hidup, kemiskinan, korupsi, dan kebodohan, malah luput dari sorotan. Padahal masalah itu berpengaruh pada kondisi kemanusiaan yang nyata. Demikian kritik Gus Dur.
Narasi yang disampaikan oleh Gus Dur dalam wawancara tersebut sangat bertolak belakang dengan apa yang selama ini dipahami oleh kelompok transnasional. Tentang kebenaran tunggal, makna kafir, arti jihad, formalisasi syari’at, pemahaman Islam kaffah, dan praktik Islam lokal, seperti yang selama ini dilakukan oleh warga NU.