Kembali ke 1B Rekaman Proses

Percakapan dengan Abdurrahman Wahid

1B Rekaman Proses
Percakapan dengan Abdurrahman Wahid
Judul
Percakapan dengan Abdurrahman Wahid
Penulis
Abdurrahman Wahid
Penerbit
The Wahid Institute, Jakarta Selatan
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Sinopsis

Buku ini berisi percakapan Gus Dur (wawancara), dengan pembahasan seputar hubungan agama dan negara, peran Nahdlatul Ulama di Indonesia, serta perbincangan yang menyangkut ideologi Barat (liberal-sekuler).

 

Walaupun tipis, sebelas halaman, buku ini cukup menjelaskan kepada pembaca bagaimana cara berpikirnya Gus Dur, dalil atau dasar yang menjadi pijakannya, serta sikap-sikapnya dalam memutuskan sesuatu walaupun dinilai berseberangan dengan suara mayoritas.

 

Dalam hubungan antara agama dan negara, Gus Dur berpandangan sepertihalnya yang menjadi keputusan ulama NU dalam Muktamar Banjarmasin pada tahun 1935. Pertama, kewajiban menjaga kawasan negara Hindia Belanda, walaupun saat itu dipegang oleh orang Non Muslim, kita taati aturannya. Kedua, bagi Gus Dur, menegakkan syariat itu wajib, akan tetapi tidak dalam bentuk negara, namun kewajiban atas dasar kita sebagai seorang Muslim, yang harus menaati aturan syariat sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi Saw.

 

Yang menjadi alasan Gus Dur mengapa tidak perlu negara Islam dalam konteks Indonesia, karena negeri ini heterogen. Milik bersama. Ada bermacam-macam agama, etnis, suku, dan keyakinan di negeri ini. Jika negara memaksakan syariat Islam justru tidak menghargai perbedaan, keberagaman atau heterogenitas, dari pemeluk agama lain—walaupun mayoritas warganya beragama Islam.

 

Sikap Gus Dur ini yang kemudian ditunjukkan dengan perlindungan terhadap kelompok minoritas dan sering melakukan dialog dengan berbagai kaum agamawan lintas iman. Hal ini terlihat dari banyaknya kelompok, aktivis, dan berbagai lembaga agama yang Gus Dur datangi dalam forum-forum diskusi, dengan niatan untuk menjaga persatuan dan menjunjung harkat kemanusiaan.

 

Ketika ditanya, bagaimana tanggapannya ketika melihat kecenderungan sebagian umat Islam yang ingin menjadikan Islam sebagai hukum formal dan mengangkat isu khilafah? Gus Dur tidak setuju. Tafsir ayat al-Quran (inni jaa’ilun fil ardhi khaliifah), yang dimaksud bukanlah pendirian negara khilafah.

 

Dalam menghadapi pemahaman Islam yang berbeda-beda, seperti pemahaman Islam puritan (suka melabeli bid’ah, kafir, dan sesat) dan gerakan radikal (ekstremisme), Gus Dur menyatakan bahwa pemahaman keagamaan itu bagian dari proses edukasi, yang terpenting tidak boleh menggunakan kekerasan. Berbeda pandangan atau pendapat, apa pun itu, merupakan hal yang lumrah, wajar.

 

Nasihat Gus Dur, umat Islam jangan hanya berhenti pada kulit luarnya saja, merek atau label. Selain harus salat lima waktu, umat Islam juga harus berjuang untuk menegakkan keadilan, kemakmuran, membela rakyat yang lemah, serta berlomba-lomba dalam kebaikan. Itu semua adalah ajaran-ajaran dari kitab suci al-Qur’an.

 

Tidak seperti biasanya, Gus Dur menyertakan dalil naqli dalam wawancara kali ini, mengutip banyak ayat-ayat al-Qur’an lalu memberikan penafsiran dari ayat-ayat tersebut. Seperti ketika ditanya tentang makna liberal dalam Islam.