| Judul |
|---|
| Surat Bagimu Negeri – Mengenang Romo Mangun |
| Editor (Penyunting) |
| Frans M. Parera, T. Jakob Koekerits |
| Penerbit |
| Penerbit Harian Kompas, Jakarta, Mei 1999 (cetakan ke-1) |
| Kategori |
| 2 Bunga Rampai, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
| Arsip Tahun |
| 1999 |
Judul Tulisan
Sepatah Kata & Ucapan Terimakasih
Catatan Redaksi
Prolog
Bagian Pertama. Romo Mangun: Ibarat Sumur Tak Pernah Kering
- Pendidikan Menjadi Obsesinya
- KIBLAT
- Romo yang Bijak
- Memilih Sejarah
- A Kind of Loving
Bagian Kedua. Surat-surat untuk Bangsa: Sebelum Pohon itu Tumbang
- Naluri Baik Buruk Mereka Tersiksa
- Semakin Terpencil Semakin Kejam Penyiksaan Jiwa Anak-anak
- Bahasa Anak-anak Kita
- Guru Pun Memiliki Perut
- Jangan Mengulang Kebodohan
- The Old establish forces vs the new emerging Forces
- Contohlah Restorasi Meiji Bukan Bala Tentara Nippon
- ABRI, Jadilah Ksatria Ningrat Jiwa
- Bukan MPR/DPR Tetapi Konstituante
- Dua Jalan Itu Harus Dilalui
Bagian Ketiga. Surat-surat Bagimu Negeri: Setelah Pohon itu Tumbang
- Sudilah Membangun Indonesia Serba Baru
- Politik Saya Politik Hatinurani
- Sesudah Pohon itu Tumbang
- Pendidikan Politik yang Tidak Mendidik
- Republik Indonesia Abad 21
- Ambegparamaarta: Indonesia Serba Baru
- Konstitusi Tetap Cukup Amandemen
- Sudilah Mengisi Indonesia yang Jujur, Adil, Cerdas dan Demokratis
- Buanglah Budaya ”Bajak Laut” Orde Baru dari Bumi Indonesia
- Hati-hati, Musang Bisa Kehilangan Rambut tetapi Perangainya Tetap
- Bukan Bagi-bagi ”Kue Besar” dan Bukan Pula Ekonomi Paternalistik
- Waspadailah ”Durga-Umayi” alias Banditisme Modern
- Timor-Timur: Primus Inter Pares, Justru Sejarah Ada untuk mengajar
- ”Bhineka Tunggal Ika” Bukan ”Kesatuan dan Persatuan”
- Buku adalah Dunia Ortopraksis
- Buku dan Iptek, Bukan Tanpa Iman dan Budi Pekerti
- Catatan Seorang Sahabat
- Sosok Manusia yang Mencintai dan Dicintai Sesamanya
- Epilog
- Dari Harmonisasi Menuju Humanisasi
Sumber Naskah
Indeks
Riwayat Penulis dan Penulis Tamu
Sinopsis
Buku ini hadir untuk menyambut 70 tahun (6 Mei 1929-6 Mei 1999) dari kelahiran Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang akrab disapa Romo Mangun. Romo Mangun wafat pada 10 Februari 1999, dan dimakamkan di kompleks Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta.
Untuk mengenang sosoknya beserta merefleksikan pemikiran-pemikirannya, buku ini dihadirkan ke publik. Buku ini berisi tulisan-tulisan Romo Mangun yang pernah tayang di Harian Kompas sepanjang tahun 1998 hingga Januari 1999. Di sisi lain, beberapa tulisannya juga pernah dimuat di buku beliau yang mutakhir: “Menuju Republik Indonesia Serikat” dan “Menuju Indonesia Serba Baru”.
Selain itu, dalam buku ini juga menyertakan beberapa tulisan dari sahabat-sahabat beliau, salah satunya adalah tulisan Gus Dur, “Perjalanan Romo Yang Bijak”. Tulisan itu dibuat Gus Dur pasca wafatnya Romo Mangun (tayang di Kompas pada 4 Maret 1999).
Dalam tulisannya itu, Gus Dur mengenang Romo Mangun sebagai sosok yang mencintai sesama atas dasar keimanan dan keyakinannya. Dalam bahasa Gus Dur, Romo Mangun mampu menembus sekat-sekat formalisme dan simbolisme agama. Dalam artian, keimanannya tidak sekadar terbelenggu pada rutinitas ritual agama dan simbol-simbol semata. Tidak ada alasan bagi Romo Mangun untuk tidak mencintai sesama.
Gus Dur berkisah perjumpaannya dengan Romo Mangun dan Ibu Gedong Bagoes Oka. Mereka bertiga berbicara tentang konsep wali (kekasih atau manusia pilihan Tuhan).
Ibu Gedong sebagai pemimpin umat Hindu, Romo Mangun sebagai imam umat Katolik, dan Gus Dur sebagai kiainya umat Islam. Walaupun berbeda agama, ketiganya selalu melihat titik persamaan untuk melakukan pengabdian kepada kemanusiaan. Membela yang lemah, berpihak kepada masyarakat yang tertindas. Yang dikedepankan olehnya adalah sikap saling terbuka, mengerti, dan empati.
Dalam konteks Romo Mangun, selama hidup, beliau dikenal sebagai sosok yang berjuang untuk masyarakat yang terpinggirkan, khususnya kepada masyarakat yang tinggal di bantaran Kali Code Yogyakarta. Romo Mangun dengan cahaya kasihnya, mencoba menguatkan hati mereka yang bernasib malang, mengangkat derajat warga yang ekonominya rendah, dengan memperbaiki kualitas hidup melalui pendidikan dan pemberdayaan. Namanya kini pun mengabadi di sana.
Gus Dur juga bercerita tentang karya-karya Romo Mangun, baik yang fiksi seperti novel maupun kolom-kolom yang bertebaran di media massa. Yang dibicarakannya selalu tentang kemanusiaan dan kritik sosial. Dan, sosok yang melekat dengannya adalah kesederhanaan. Walaupun sebagai tokoh bertaraf internasional, Romo Mangun tidak pernah menampilkan sikap glamour, flexing, dan berlebih-lebihan dalam urusan duniawi.
Dalam Bab Kedua dan Bab Ketiga, adalah peta intelektualitas Romo Mangun. Pertama, berisi penglihatan Romo Mangun dalam memahami realitas dunia pendidikan. Hal itu dilandasi semangatnya sebagai seorang pendidik. Kedua, belajar dari sejarah supaya kita tidak mengulangi kebodohan-kebodohan masa lalu. Ketiga, tulisan yang berisi semangat dalam membangun Indonesia yang lebih baik dan lebih berarti. Berisi pendidikan politik dan demokrasi.
Hingga kini, buku ini sangat membantu memahami pemikiran-pemikiran, nilai-nilai, dan keteladanan yang telah diwariskan Romo Mangun.