Judul |
---|
Umat Bertanya Gus Dur Menjawab |
Penulis |
Abdurrahman Wahid |
Editor (Penyunting) |
Tim Santri Ciganjur |
Penerbit |
Pustaka Pesantren Ciganjur, Jakarta, Januari 2013 (cetakan ke-1) |
Kategori |
1B Rekaman Proses, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur, Transkrip Lisan |
Arsip Tahun |
2013 |
Judul Tulisan
Bab Pertama: Sikap beragama dan berbudaya.
- Ijtihad, Ifta, dan Taqlid…..
- Haid “Berkurangnya Akal”
- Shalat; Rasionalitas atau Ta’abbudi?
- Keberadaan ‘Masjid’ Sebagai tempat Ritual (ahkam masajid)
Bab Kedua: Aplikasi konsep “penyucian”.
- Zakat
- Pemberian sukarela (shodaqoh at tathawwu’).
- Puasa.
- Haji.
Bab Ketiga: Fikih bersentuhan dengan konsep Kapitalis.
- Riba
- Transaksi jual beli.
- Perbedaan kontrak jual beli
- Keterkaitan hutang dengan harta peninggalan
- Kebangkrutan/pailit.
- Al hujru.
- Sayembara..
- Penerima wakaf
- Pemeliharaan barang wakaf..
- Hibah dan pemberian cuma-cuma..
- Wasiyat
- Sighot.
- Nikah..
- Suami istri.
- Pengingkaran
- Batasan dan Hukuman
Sinopsis
Buku ini adalah hasil ngaji Gus Dur bersama santri Ciganjur. Kitab fikih yang dibaca oleh Gus Dur adalah Bughyatul Mustarsyidin (keinginan orang-orang yang mendapat petunjuk), karya Habib Abdurrahman bin Muhammad atau yang familiar dengan nama Sayyid Abdurrahman Ba’alawi. Kitab ini merupakan himpunan fatwa para ulama mazhab Syafi’i yang mutaakhirin (belakangan).
Membaca buku ini pembaca disuguhkan tentang bayangan ngaji bandongan ala pesantren. Struktur penyusunan di dalamnya diawali dengan naskah asli kitab (berbahasa arab), lalu diartikan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian Gus Dur memberikan komentar (mensyarahi) atas isi kitab tersebut.
Buku ini dibagi ke dalam tiga bab. Pertama, sikap beragama dan berbudaya. Kedua, aplikasi konsep penyucian. Ketiga, fikih bersentuhan dengan konsep kapitalis.
Dalam kitab yang dibacanya itu, Gus Dur tidak sepenuhnya sepakat dengan pendapat muallif (pengarang kitab). Habib Abdurrahman juga menyatakan demikian, bahwa diperkenankan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.
Seperti dalam kitab yang menyatakan bahwa perempuan itu akalnya lebih ‘kurang’ dari laki-laki, sehingga tidak layak jika menjadi pemimpin.
Gus Dur tidak setuju dengan pernyataan itu, karena secara fisik, laki-laki dan perempuan itu sama saja. Keduanya juga bisa keliru dalam mengambil keputusan. Dalam bernegara, ukurannya adalah UUD 1945. Oleh sebab itu, kita perlu melakukan koreksi atas pendapat ulama masa lalu sehingga Islam menjadi kontekstual.
Gus Dur juga membandingkan pendapat dari pengarang kitab dengan ulama-ulama lain, termasuk ulama lokal (Syekh Syahbandar dalam kitabnya Hidayat al-Mustafidin). Seperti kasus warisan, Gus Dur berkesimpulan bahwa hukum fikih itu berkembang sesuai dengan daerah di mana hukum tersebut diamalkan. Menurut Syahbandar, perempuan bisa mendapatkan bagian separo dari harta waris yang ditinggalkan oleh suaminya.
Dalam agama dan budaya, Gus Dur berbicara tentang salam, yang dalam sudut pandang budaya bisa diganti dengan ucapan selamat pagi, selamat siang, selamat malam, dan seterusnya. Namun bila dilihat dari sisi hukum Islam—dalam shalat misalnya—salam tidak bisa diganti. Justru tidak sah shalat seseorang bila mengganti bacaan salam dengan lafaz lain.
Gus Dur juga menyinggung soal dzikir. Dalam melafazkan zikir, tidak cukup hanya lisannya saja (bi al-lifdzi). Namun harus bisa menyelaraskan dengan alam, karena kehidupan umat manusia yang paling penting adalah membawa rahmat bagi semua alam.
Dalam hal zakat, Gus Dur berbicara tiga hal. Pertama, tentang pentingnya perputaran kekayaan itu tidak didominasi oleh orang kaya saja. Kedua, zakat untuk modal usaha, sehingga harta itu bisa langgeng, tidak cepat habis, seperti yang sudah terjadi. Ketiga, zakat berarti bisa mengubah sosial ekonomi masyarakat ke arah sejahtera.
Tentang masalah hukum riba, yang tidak diperbolehkan ialah bilamana seseorang yang hidupnya itu hasil dari pinjam meminjamkan uang.
Dalam hal utang piutang, beliau membandingkan orang zaman dahulu dengan sekarang (saat Gus Dur membaca kitab). Bilamana punya hutang selalu dikembalikan, tidak pura-pura lupa. Beliau mengisahkan Kiai Bisri Syansuri ketika berhutang kepada seseorang yang ternyata orang tersebut sudah wafat. Lalu Mbah Bisri meminta kitabnya untuk diwakafkan atas nama orang yang memberi pinjaman (menghutangi).
Buku ini mengajak kita melihat cara Gus Dur memahami persoalan fikih (hukum islam), di mana yang dikemukakan olehnya itu diselaraskan dengan perubahan-perubahan zaman, tidak kaku.