Judul |
---|
Islam and Nonviolence |
Penulis |
Edited by Glenn D. Paige, Chaiwat Satha-Anand (Qader Muheideen), Sarah Gilliatt |
Penerbit |
Center for Global Nonviolence, Inc., 3653 Tantalus Drive, Honolulu, Hawai'i 96822-5033, U.S.A., 2001 |
Kategori |
2 Kumpulan Tulisan Bersama, Bahasa Inggris, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2001 |
Judul Tulisan
- The Nonviolent Crescent: Eight Theses on Muslim Nonviolent Actions
— Chaiwat Satha-Anand (Qader Muheideen) - Islam, Nonviolence, and Global Transformation
— Razi Ahmad - Islam, Nonviolence, and National Transformation
— Abdurrahman Wahid
yang diterjemahkan menjadi tulisan dengan judul “Islam, Anti-kekerasan, dan Transformasi Nasional”
- Islam, Nonviolence, and Social Transformation
— Mamoon-al-Rasheed - Islam, Nonviolence, and Women
— Khalijah Mohd. Salleh - Islam, Nonviolence, and Interfaith Relations
— M. Mazzahim Mohideen
Sinopsis
Buku ini dicetak ulang setelah delapan tahun. Secara isi sama dengan cetakan sebelumnya. Yakni berisi kumpulan makalah yang disampaikan pada acara “Islam dan Anti Kekerasan” yang diselenggarakan di Bali pada 14-19 Februari 1986 oleh Universitas PBB (United Nations University). Membaca buku yang versi aslinya ini lebih disarankan.
Ada delapan belas peserta lintas iman dari berbagai negara yang mengikuti forum itu, namun hanya enam pemakalah yang ada di dalam buku ini. Di antaranya, Chaiwat Satha-Anand (Thailand), Razi Ahmad (India), Mamoon al-Rasheed (Bangladesh), Mazzahim Mohideen (Sri Lanka), Khalijah Mohd. Salleh (Malaysia), dan Abdurrahman Wahid (Indonesia).
Keenam tulisan tersebut memiliki pendekatan yang berbeda dalam melihat Islam sebagai agama damai, anti kekerasan. Baik yang teoritis, teologis, maupun instrumental.
Diakui, memang ada pandangan oleh sebagian kelompok gerakan islam bahwa agama Islam telah melegalkan kekerasan. Hal itu diperkuat dengan dalil-dalil tentang anjuran untuk berjihad. Jihad yang dimaksud oleh pandangan yang melegalkan adalah dengan tindakan mengangkat pedang melawan musuh. Selain itu juga adanya perintah perang.
Di sisi lain, Islam mengajarkan kasih sayang. Mengampuni dan merahmati sesama. Bahkan di dalam al-Qur’an kita diminta supaya tidak berlebihan dalam apapun. Berbuat adil, karena hal itu lebih dekat kepada taqwa.
Lalu bagaimana isi tulisan Gus Dur pada buku ini? dalam tulisannya, Gus Dur memberi judul “Islam, Nonviolence, and National Transformation”. Bila ingin membaca versi Indonesianya ala penerbit dengan judul, “Islam, Anti-Kekerasan, dan Transformasi Nasional”. Membaca versi aslinya lebih disarankan.
Gus Dur mengawali tulisannya dengan konsep umat (ummah). Karena konsep ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman antara sesama umat Islam. Kita tentu pernah mendengar dalam mimbar-mimbar gerakan keislaman yang sering mengutip atau menggunakan narasi—‘atas nama umat’—untuk mencapai tujuannya.
Dalam sejarahnya, konsep ummah mengalami perubahan dan perkembangan. Yang awalnya ‘ummah‘ diasosiasikan untuk umat yang kecil, umat Nabi Muhammad di Madinah, yakni umat yang taat pada ajaran Islam, lalu berubah menjadi umat yang global, komunitas dunia, oikoumene. Dari yang sempit menjadi luas. Sementara pada masa kolonial mengalami penyempitan (digunakan untuk identitas rasial atau etnis), yang ditujukan kepada umat Arab (‘ummah ‘arabiyyah), dengan adanya kampung-kampung Arab. Namun setelah kemerdekaan, ummah dikaitkan untuk gerakan Islam formal, yakni ‘umat Islam Indonesia’. Makna ummah yang mengalami perubahan itu yang di kemudian hari menjadi tumpang tindih, menyebabkan kesalahpahaman.
Dalam tulisannya, Gus Dur mengartikan ummah sebagai negara bangsa. Lebih ke arti geografis. Karena obyeknya bukan kata ummahnya, tetapi bagaimana transformasi dari kata tersebut untuk negara bangsa (nation-state), yang relevan untuk abad ke-20.
Dalam transformasi nasional, Gus Dur menyoroti soal penegakan hukum, keadilan ekonomi, represi politik dari pemerintah, dan kebebasan berekspresi.
Sementara gerakan Islam dihadapkan pada pilihan-pilihan perubahan, memilih dengan cara transformatif bertahap atau cara-cara yang radikal, begitu juga dengan strategi pembangunan, dengan cara alternatif atau memilih mengubah sistem yang ada secara menyeluruh (khilafah), memilih membawa identitas Islam yang murni atau plural. Pilihan-pilihan itu terjadi akibat situasi politik dunia saat itu, terjadi perang dingin antara blok Barat dan blok Timur, revolusi Iran, dan negara muslim seperti Irak, Suriah, dan Pakistan, dikuasai oleh rezim otoriter yang tidak menghendaki kebebasan sipil, sementara dalam konteks Indonesia sendiri di bawah rezim Orde Baru yang menekan kelompok Islam politik.
Dalam tulisannya itu Gus Dur menawarkan strategi non kekerasan untuk transformasi nasional. Gerakan Islam lebih baik fokus kepada isu-isu hak asasi manusia, penguatan masyarakat sipil, keadilan ekonomi, serta berkolaborasi dengan lintas kelompok agama dan budaya untuk memperkuat demokratisasi dan hak-hak sipil. Cara pendekatan ini yang dikehendaki Gus Dur, lebih efektif, inklusif, tanpa kekerasan.
Tautan Eksternal
Website: https://nonkilling.org/center/