Islam, Anti-kekerasan, dan Transformasi Nasional

Sumber Foto; https://godtv.com/is-unity-possible-when-the-church-is-so-divided/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

KONSEP UMAT

Suatu pendekatan historis untuk mengaitkan Islam dan anti-kekerasan dalam sorotan transformasi nasional memerlukan pemahaman yang “tepat” terhadap bentuk sosial yang digunakan oleh umat Islam untuk tujuan tersebut sepanjang sejarah mereka. Tanpa harus mendefinisikan secara konklusif apa yang dimaksud dengan “transformasi nasional”, dapatlah dikatakan di sini bahwa bentuk sosial utama yang digunakan untuk melahirkan perubahan-perubahan oleh umat Islam adalah konsep umat, komunitas muslim itu sendiri. Selama beberapa abad, konsep ini telah dikembangkan dalam institusi-institusi sosial yang beragam, misalnya “kekhalifahan” dan “kesultanan”, bahkan muncul sebagai “masyarakat Islam” ideal yang secara konsisten dirumuskan oleh para pemikir muslim modern, sejak al-Afgani hingga Sayid Qutb dan al-Maududi.

Sejarah menunjukkan bahwa konsep umat kadang-kadang menjadi begitu khas, kadang-kadang menjadi begitu umum. Pada awalnya, kata itu merujuk pada komunitas orang beriman yang relatif kecil, yang mengamalkan ajaran Islam secara utuh, seperti yang dirumuskan oleh Nabi Muhammad. Segera setelah itu, makna kata itu menjadi komunitas dunia, gabungan (oikoumene) bangsa-bangsa dengan warisan kaya peninggalan peradaban sebelumnya. Konsep umat ini dulu dan masih berarti apa yang dikonsepkan ahli sejarah tentang “imamah” atau “khilafah”. Sadar atas bagian yang besar ini, komunitas Islam universal merupakan elan yang mendukung konsep ini.

Belakangan, selama periode kolonial, istilah umat memiliki makna yang lebih sempit: ia merupakan bagian dari unit rasial, kelompok etnis, atau entitas kultural, dan digunakan dalam frase-frase seperti umat Arab (‘ummah ‘arabiyah), sebagaimana dicirikan dengan munculnya kampung Arab (Arab town) di kota-kota Asia Tenggara. Setelah kemerdekaan, makna umat menjadi terbatas lagi. Ia menunjuk keanggotaan dalam gerakan Islam formal, seperti yang biasa digunakan di negeri ini, umat Islam Indonesia.

Baru-baru ini konotasi yang beragam ini digunakan dengan cara yang tumpang tindih sehingga mengakibatkan banyak salah paham di antara umat Islam. Pada tulisan ini, umat digunakan dalam arti geografis untuk menunjukkan pada konsep abad ke-20, nationstate (negara-bangsa). Karena objek diskusi ini bukan makna kata umat itu sendiri, melainkan lebih berarti bagaimana konsep ini mentransformasi bangsa-bangsa, penggunaan pengertian nationstate sepertinya tepat untuk digunakan di sini.

TRANSFORMASI NASIONAL

Transformasi nasional atau “pembangunan nasional,” dewasa ini merupakan tantangan besar “negara bangsa” di negara-negara muslim. Negara-negara ini tampaknya menghadapi masalah pelik berkenaan dengan ekspresi komunalisme yang kian membesar dan upaya memelihara integrasi nasional yang baru bisa dicapai setelah perjuangan yang panjang, pahit, dan penuh kesulitan-kesulitan. Kesulitan juga terjadi dalam menetapkan pemerintahan yang berdasarkan hukum, membangun kerangka kerja ekonomi untuk distribusi kesejahteraan yang merata dan merekatkan kohesi sosial. Respons pemerintah pada kesulitan ini bervariasi dari tempat ke tempat, tetapi respons itu terutama mengambil bentuk rekayasa sosio-politik yang teknokratis, konsolidasi ideologi nasional yang lazim, dan dalam beberapa kasus, sekaligus penekanan politik. Secara luas terdapat alat-alat politik yang digunakan untuk menyangga respons-respons tersebut, dari restriksi individual yang terbatas sampai pada hak-hak politik kelompok. Hasil akhirnya, setiap individu sangat ingin mendapatkan kebebasan berekspresi penuh. Dengan demikian, para pemerintah tersebut memutuskan persoalan-persoalan dasar yang menyangkut kesejahteraan negara mereka masing-masing tanpa konsultasi yang cukup dengan rakyatnya. Kontrol sosial lama-kelamaan menjadi sulit dilaksanakan, dan dalam jangka panjang, evaluasi korektif semakin lama semakin tidak mungkin diperankan oleh bangsa secara keseluruhan. Keadilan semakin sulit dilaksanakan, dan tindak kekerasan para penguasa menjadi semakin kentara.

MASALAH PENDEKATAN, IDENTITAS, DAN KONTINUITAS

Dalam situasi “negara-negara bangsa” gagal untuk mengekang penggunaan kekerasan, sebaliknya mempermudah penggunaan kekerasan, gerakan-gerakan Islam menghadapi rintangan yang cukup rumit, yang bisa dicirikan dengan masalah-masalah pendekatan, identitas, dan kontinuitas.

Masalah Pendekatan

Dalam memperjuangkan keadilan sosial, persamaan di muka hukum, dan kebebasan berekspresi, gerakan-gerakan ini harus memilih antara pendekatan radikal atau gradual.

Masalah Identitas

Mereka juga dihadapkan dengan pilihan yang sulit antara identitas pluralistik (misalnya “Nasionalis Muslim Indonesia” atau “Sosialis Muslim Arab”) dan identitas Islam yang murni. Identitas-identitas pluralistik berisiko banyak melakukan akomodasi dengan unsur-unsur lain yang pada akhirnya aspek Islam yang unik itu hilang dan identitas itu bahkan menjadi semakin non-Islami. Di sisi lain, kecenderungan monolitik untuk menegaskan kembali nilai-nilai Islam hanya akan mengalienasi gerakan-gerakan ini dari jaringan koalisi nasional warga negara yang lebih luas. Bila terisolasi dari koalisi-koalisi itu, gerakan Islam akan tampak menjadi kelompok sektarian dan akhirnya akan menciptakan perasaan tak diikutkan (sense of exclusion), sehingga melahirkan sektarianisme faktual, bila bukan separatisme palsu. Tantangan pada saat ini adalah menemukan identitas yang bisa membangun rasa memiliki pada Islam dan juga memelihara rasa memiliki itu pada jaringan kelompok yang lebih besar dan luas yang dimotivasi oleh ideologi-ideologi dunia, keimanan-keimanan yang lain, dan keprihatinan global.

Masalah Kontinuitas

Haruskah gerakan-gerakan Islam merumuskan “strategi pembangunan alternatif” mereka dengan bersama-sama menggunakan strategi partisipatif dari bawah-ke atas (bottom-to-top), atau haruskah mereka memproklamirkan Islam sebagai rencana sosial alternatif tertentu untuk menggantikan perencanaan-perencanaan pembangunan yang ada? Tidaklah mudah untuk memilih antara proses perlahan dan berangsur-angsur pada satu sisi, dan strategi yang radikal dan holistik pada sisi yang lain.

DUA ASPEK TRANSFORMASI NASIONAL

Transformasi nasional mengandung dua aspek. Pertama, terdapat perubahan pembagian kerja yang lebih jelas di antara sektor-sektor masyarakat yang berbeda. Perubahan dalam struktur sosial itu mengandung perubahan fundamental pada hubungan institusional antara negara dan warga negara individual. Kedua, perubahan itu diperlukan dalam hubungan-hubungan sosial di antara tingkatan sosial yang berbeda. Perubahan-perubahan ini mungkin merupakan transformasi yang damai atau mungkin pula suatu pergolakan yang keras. Hampir semua gerakan Islam sangat memperhatikan aspek ini dan mereka bermaksud untuk menggunakan cara apa pun yang diperlukan untuk mencapai perubahan tersebut. Niat untuk menggunakan kekerasan itu akan muncul dalam upaya-upaya mereka, bila hal itu diperlukan. Sedangkan, satu aksi kekerasan itu akan melahirkan kekerasan-balik (counterviolence) yang mungkin lebih hebat. Dan secara tiba-tiba peningkatan kekerasan yang tidak terkontrol pun terjadi.

Untuk menghindari kemungkinan situasi seperti itu, disertai dengan hantu perang pemusnahan yang tak kunjung usai, gerakan-gerakan Islam harus mengabdikan diri mereka pada anti-kekerasan sebagai jalan untuk mencapai tujuan mereka. Tetapi, dapatkah gerakan-gerakan ini membangun sikap tersebut di hadapan begitu banyak kekerasan di negara mereka masing-masing? Mereka harus memulai dengan menyadari bagaimana perubahan sosial itu terjadi-suatu proses yang secara luas disalahpahami oleh para penguasa (ruler) juga oleh rakyat (ruled). Sering kali institusi-institusi sosial ditarik pada posisi-posisi oposan secara diametris sehingga menciptakan polarisasi yang sangat kentara.

Dua kerangka kerja berikut ditawarkan dengan harapan bisa meredakan situasi-situasi konfrontatif tersebut di atas. Mungkin hal ini bisa berperan sebagai langkah awal menuju anti-kekerasan.

  1. Di negara-negara di mana negara Islam formal itu sulit–jika bukan tidak mungkin—dibangun, Islam harus memainkan peran sebagai penjamin martabat manusia melalui program-program aksi untuk menjamin keselamatan fisik warga negara secara individual, hak warga untuk melindungi keluarga dan keturunan mereka, keselamatan milik mereka, dan kewajaran dalam profesi mereka. Implementasi jaminan-jaminan ini harus dapat mendukung kesejahteraan material dan spiritual masyarakat. Partisipasi langsung rakyat dalam melakukan upaya itu harus didorong melalui aplikasi ajaran Islam sebagai etika sosial bangsa mereka masing-masing. Untuk mengejar tujuan itu, dukungan strategi pembangunan dari bawah-ke atas menjadi perlu, termasuk pertumbuhan perkumpulan-perkumpulan yang bebas untuk meningkatkan standar kehidupan sosio-ekonomis sekaligus melindungi hak-hak sosio-politis dari sektor-sektor masyarakat yang merugikan, dan untuk mendukung saling menghormati hubungan antariman (interfaith relation). Kerangka kerja ini mempunyai keuntungan karena kemungkinannya untuk merealisasikan tujuan-tujuannya di dalam bentuk-bentuk “negara-bangsa” belakangan ini.
  2. Pencapaian transformasi nasional harus diletakkan dalam sebuah konteks “koalisi nasional” dengan kelompok-kelompok yang tidak bermotif religius, misalnya lembaga-lembaga bantuan hukum, kelompok-kelompok lingkungan dan perkumpulan-perkumpulan yang berupaya membantu teknologi tepat guna bagi daerah-daerah pedesaan. Pendekatan ini memerlukan sikap yang inklusif dari gerakan-gerakan Islam, dengan menekankan persamaan ketimbang perbedaan-perbedaan jika berhubungan dengan organisasi-organisasi berlatar belakang iman selain Islam. Inilah pendekatan sosio-kultural pluralistik terhadap demokratisasi dalam konteks yang disebut oleh para teolog Katolik sebagai strategi “pembangunan manusia.”