Judul |
---|
90 Menit Bersama Gus Dur |
Editor (Penyunting) |
Pradjarta Dirdjosanjoto, Nick T. Wiratmoko, Widya P. Setyanto |
Penerbit |
Pustaka Percik, Salatiga, dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Juli 2006 (cetakan ke-1) |
Kategori |
1B Rekaman Proses, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2006 |
Judul Tulisan
Sekapur Sirih
Kata Pengantar
Daftar Isi:
SESI KESATU
“Sumbangan Agama-Agama dalam Menopang Transformasi Sosial, Ekonomi dan Politik Indonesia“
SESI KEDUA
“Meneguhkan Kerja Sama Antarumat Beragama, Membangun Masyarakat Indonesia Baru”:
Mgr. Ign. Suharyo, Pr
Sumbangagn Masyarakat Agama-Agama dalam Menopang Transformassi Sosial, Ekonomi, dan Politik di Indonesia
Dr. Machasin
Kerja Sama Antar-umat Beragama: Pilihan Masyarakat Majemuk
Dr. TH. Sumartana
Mencari basisPemikiran Baru Bagi Dialog dan Kerja Sama Antar-Agama Guna Menunjang Reformasi Sosial. Ekonomi dan Politik: Menuju Indonesia Baru.
Bhikku Sri Panyavaro Mahatera
Pembangunan Moral: Salah Satu Aspek Paling Penting dalam Kerukunan Umat
Lampiran:
- Daftar Pustaka
- Indeks
Sinopsis
Buku 90 menit Bersama Gus Dur ini adalah buku yang berisi—salah satunya—hasil notulensi atau transkrip saat Gus Dur menjadi narasumber dalam diskusi yang diikuti oleh sekitar 300 tokoh agama lintas SARA (Jawa Tengah dan DIY). Diskusi pada Sabtu, 13 Mei 2000 itu status Gus Dur masih menjabat sebagai presiden.
Selain berisi transkrip Gus Dur, ada beberapa agamawan yang membuat paper atau makalah. Diantaranya, Mgr. Ign. Suharyo, Pr, Dr. Machasin, Dr. TH. Sumartana, dan Bhikku Sri Panyavaro. Beberapa papernya itu dijadikan satu dalam buku ini.
Ringkasnya buku ini berisi hasil (out put) dari diskusi para tokoh, baik kiai, romo, pendeta, biksu, haksu, LSM, dan para aktivis keberagaman.
Dalam pembukaannya, Gus Dur menyampaikan bahwa forum yang diikuti oleh agamawan ini harusnya berorientasi pada pemecahan masalah. Komentar Gus Dur, kalau dialog hanya sekadar dialog saja itu jadinya refleksi, tidak menuju ke arah kebaikan apa pun, alias tidak ada perubahan sama sekali.
Dalam waktu 90 menit itu, Gus Dur setidaknya menyampaikan tiga hal penting dalam tema diskusi “Sumbangan Agama-Agama dalam Menopang Transformasi Sosial, Ekonomi dan Politik Indonesia”.
Pertama, dalam dialog, yang paling penting adalah kemampuan kita dalam mengidentifikasi masalah. Tahu akar masalahnya di mana. Mana yang perlu dilanjutkan, lalu diselesaikan, dan mana yang disimpan. Selain itu, dalam dialog sangat penting adanya rasa saling mengerti dan memahami satu sama lain. Hal itu sebagaimana yang diajarkan oleh al-Qur’an.
Kedua, ketulusan menghormati dan mengakui hak-hak orang lain dalam mencapai kebenaran atas apa yang ia yakini. Indonesia bangsa yang plural, ada banyak kekayaan budaya, dan itu merupakan rahmat, jangan sampai ambisi pribadi, karena kekuasaan kemudian merusak semua bangunan itu. Yang timbul nanti ingin menang sendiri.
Ketiga, soal tafsir tentang firman al-Qur’an yang universal, jangan dipersempit untuk merendahkan yang lain. Gus Dur mencontohkan surat al-Maidah ayat 3 dan surat al-Kaafirun ayat 6. Di dalam ayat tersebut tidak ada bunyi yang menganggap rendah agama lain. Namun tak jarang dipakai oleh umat Islam sendiri untuk menggempur keyakinan atau kepercayaan orang lain. Kata Gus Dur, yang salah itu yang memanfaatkannya, bukan kata-katanya.
Artinya, ada penafsiran yang perlu dikoreksi jika dalil-dalil itu dijadikan klaim untuk memberangus kepercayaan orang lain. Padahal di dalamnya berisi prinsip-prinsip untuk mengatasi persoalan yang dihadapi oleh umat manusia. Dengan ayat, wa atmamtu ‘alaikum ni’matii wa radhiitulakumul islaama diinaa, “telah Ku berikan nikmat kepada kalian”, karena nikmat seperti itu “Ku relakanlah Islam bagi agama kalian.” Dalam ayat itu tidak ada unsur penghinaan dan merendahkan sama sekali.
Selanjutnya dalam ayat lakum diinukum waliyadiin, “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Ayat itu juga berisi tentang pengakuan bahwa kita hidup di bumi ini saling berdampingan satu sama lain, mempunyai pandangan yang berbeda-beda, dan harus saling hormat menghormati. Jika terjadi persoalan, maka harus berunding, dialog bersama untuk menyelesaikan masalah.
Membaca buku ini seakan kita sedang berdialog dengan Gus Dur dan mengikuti forum itu. Kita merasakan suasana orang-orang yang sedang curhat kepada Gus Dur atas situasi saat Gus Dur menjabat sebagai presiden, seperti sedang terjadi ancaman disintegrasi sosial, dan persoalan perijinan tempat ibadah (IMB). Seperti biasa, Gus Dur juga melempar humor-humor segar yang mencairkan suasana. Sungguh 90 menit yang tak terasa.