Judul |
---|
Celoteh Gus Dur – 222 Ujaran Bijak Sang Guru Bangsa |
Penulis |
Abdurrahman Wahid |
Editor (Penyunting) |
Achmad Nurcholish |
Penerbit |
PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, 2017 (cetakan ke-1) |
Kategori |
1C Kumpulan Kutipan GD, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2017 |
Judul Tulisan
Pengantar
Gus Dur Sang Guru Bangsa Asal Jombang
Bagian Pertama:
Agama, Peradaban, dan Kemanusiaan
Bagian Kedua:
Negara, Kebangsaan, dan Kepemimpinan
Bagian Ketiga:
Keadilan, Kesejahteraan, Hukum, dan Hak Asasi Manusia
Bagian Keempat:
Motivasi, Pendidikan, dan Kebudayaan
Bagian Kelima:
Konflik, Kekerasan, dan Terorisme
Bagian Keenam:
Kebinekaan, Toleransi, dan Perdamaian
Sinopsis
Di era serba digital, hal yang paling mudah mengingat seseorang adalah melalui kutipan atau pernyataannya (quote), yang kemudian dikreasi dalam bentuk konten (video, meme, dan infografis).
Sejak tahun 1970 hingga 2009, Gus Dur menulis ratusan tulisan yang tersebar di berbagai media. Buku Celoteh Gus Dur ini mencoba memeras dari ratusan tulisan itu ke dalam enam tema. Agama dan kemanusiaan, negara dan kepemimpinan, pendidikan dan kebudayaan, konflik dan kekerasan, serta toleransi dan perdamaian.
Ahmad Nurcholish menyunting 222 ujaran atau ucapan Gus Dur ini saat tengah menuntaskan tesisnya yang berjudul Peace Education dan Pendidikan Perdamaian Gus Dur (2015). Penyunting merasa bahwa penyataan-pernyataan Gus Dur yang singkat dan penuh kearifan ini dapat dibaca masyarakat secara luas sehingga mendapatkan pencerahan.
Keunggulan buku ini memberikan alternatif dari berbagai isu dan tema yang pernah diulas oleh Gus Dur dengan mudah dan cepat tanpa membaca artikel panjangnya. Penyunting hanya mengambil bagian-bagian yang quoteable dari gagasan-gagasannya yang utuh.
Seperti pada tema Agama, Peradaban, dan Kemanusiaan. Gus Dur menyatakan bahwa “Esensi Islam tidak terletak pada pakaian yang dikenakan, melainkan pada akhlak yang dilaksanakan.” Dalam hal ini Gus Dur menekankan bahwa Islam tak perlu ditampakkan secara berlebihan dalam bentuk simbol-simbol (pakaian), apalagi dipaksakan dalam bentuk sistem pemerintahan. Namun yang lebih penting dari Islam adalah esensinya: perilaku, akhlak mulia, atau budi pekerti. Hal itu sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Nabi Saw sendiri yang menyatakan tujuan dari diutusnya beliau adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia, “Inni buistu liutammima makaarimal akhlak”. Landasan ini yang kemudian dipegang oleh Gus Dur. Banyak tulisan Gus Dur yang membincang hal ini, yakni penolakannya atas ide suatu gerakan yang ingin memaksakan islam menjadi ideologi negara.
Hal tersebut bisa dibaca pada buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Bahwa tidak ada pendapat yang baku dalam konsep pergantian kepemimpinan sejak Rasulullah wafat hingga Ali bin Abi Thalib, semuanya berbeda-beda.
Esensi Islam kalau dalam hubungan sosial berarti sebagaimana tradisi dan kebiasaan masyarakat Indonesia, yakni saling menghormati satu sama lain, gotong royong, dan membantu sesama. Ciri khas itulah bagian dari hakikat dari ajaran Islam. Sementara bila dilihat dalam lingkup nasional atau negara adalah tidak perlu memaksakan ideologi islam dan penerapan syariat kepada semua golongan.
Namun sayangnya, buku ini tidak disertai referensi dari mana sumber yang dinyatakan oleh Gus Dur tersebut. Misal dari buku apa, tulisan dengan judul apa, terbit di mana, atau mungkin diambil dari video saat Gus Dur mengisi pengajian atau pertanyaan-pernyataan yang lain. Setidaknya hal ini semakin mendapatkan sanad kutipan yang sahih dan sumber yang jelas. Lebih-lebih era post truth seperti saat ini, pernyataan dapat dipelintir untuk kepentingan politik sesaat.
Pun demikian, kepingan-kepingan dalam buku ini berisi kutipan yang dapat memperkuat keutuhan bangsa dan menjalin semangat persatuan antar anak bangsa. Seperti ujaran, “semakin tingggi ilmu seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya”, “keragaman adalah keniscayaan akan hukum Tuhan atas ciptaann-Nya”.
Dari sini kita bisa menangkap gagasan dan pemikiran Gus Dur dengan cara sederhana—melalui 222 ujaran bijak ini—yang mudah dicerna oleh semua golongan, sebagaimana harapan dari penyunting isu sendiri dalam mengenalkan sang guru bangsa.