1A Kumpulan Tulisan
Ibuku Inspirasiku
Judul
Ibuku Inspirasiku
Penulis
Abdurrahman Wahid, Shalahudin Wahid
Editor (Penyunting)
Ahmad Faozan, Mohamad Rohmatullah
Penerbit
Pustaka Tebuireng, Jombang, Februari 2018 (cetakan ke-3)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Pengantar Penerbit

Pengantar Penulis

Daftar Isi

 

Bagian Pertama: Riwayat hidup

  • Profil Singkat Nyai Solichah
  • Latar Belakang Keluarga
  • Masa Belajar
  • Membangun Rumah Tangga
  • Hijrah Ke Tebuireng
  • Hijrah ke Jakarta
  • Sukses Mendidik Anak
  • Nasihat Bijak
  • Pengalaman Organisasi

 

Bagian Kedua: Solichah dalam Pandangan Dua Putranya

  • Ibu Yang Nyaris Sempurna
    Oleh: Salahuddin Wahid
  • Ibuku, Ibu “Par Exellence
    Oleh: Salahuddin Wahid
  • Seribu Jilid Makna Jejak Ibu
    Oleh: Abdurrahman Wahid

 

Daftar Pustaka

Glosarium

Sinopsis

Buku ini adalah kumpulan tulisan keluarga besar Kiai Wahid Hasyim, lebih khususnya Gus Dur dan Gus Sholah. Selain buku ini, beliau bedua juga menulis tentang ayahandanya dalam buku yang berjudul “KH. A. Wahid Hasyim dalam Pandangan Dua Puteranya”.

 

Nyai Solichah Wahid adalah perempuan yang menjadi teladan di kalangan pesantren. Kegigihannya dalam mendidik anak-anaknya setelah kepergian suami tercinta, serta keaktifannya dalam berorganisasi dan dunia politik adalah bukti nyata.

 

Meski ditinggal suaminya dalam usia 30 tahun, tekad Nyai Solichah untuk membesarkan anak-anaknya dengan ilmu pengetahuan tidak pernah surut. Yakni dengan cara memberikan anak-anaknya kesempatan untuk sekolah formal setinggi-tingginya.

 

Prinsip beliau adalah, “seberapa banyak kekayaan seseorang pasti akan habis. Tapi, sedikit ilmu saja orang akan bisa berkembang apalagi anak itu diberikan ilmu banyak”.

 

Dalam buku ini dikisahkan bagaimana perjumpaan atau perjodohan yang unik antara Nyai Solichah dan Kiai Wahid Hasyim. Ada juga tentang keputusan beliau untuk menetap di Jakarta setelah kepergian suaminya, dan memilih sebagai single parent—menjadi ayah sekaligus ibu dalam membesarkan kelima anaknya. Demi ilmu, beliau rela menjual rumahnya untuk kebutuhan pendidikan putra-putrinya.

 

Dalam buku ini, Gus Dur menulis satu artikel dengan judul “Seribu Jilid Makna Jejak Ibu”. Gus Dur membicarakan ibunya dalam dua aspek. Pertama, ibu yang dimiliki umat, yang aktif dalam organisasi dan politik. Kedua, sebagai ibu untuk anak-anaknya.

 

Dalam tubuh NU, Gus Dur menggambarkan sosok ibunya itu sebagai common denominator, seperti induk ayam bagi pimpinan NU. Menjadi ibu bagi semua, yang bisa mengayomi, dan menjadi penengah di tengah perbedaan.

 

Walaupun beliau aktif sebagai politisi PPP, namun ada garis batas yang menjadikannya tidak melibatkan (ikut campur) urusan NU dengan urusan politik.

 

Dalam pergaulan, Gus Dur menceritakan kalau ibunya itu melintas batas. Bisa masuk ke semua golongan atau kelompok profesi apapun. Bahkan, Tan Malaka (Hussein) adalah teman akrab ibu dalam bertukar gagasan.

 

Kata Gus Dur, hal yang paling terkesan dari sosok Nyai Solichah adalah bahwa beliau tidak membeda-bedakan kiai atau ulama (lokal maupun nasional). Ketika beliau berkunjung ke suatu daerah (tingkat lokal), semua kiai yang bisa dijangkau oleh beliau akan didatanginya dengan tulus.

 

Yang kedua, Gus Dur melihat Nyai Solichah dari aspek keluarga. Sebagai seorang ibu, beliau tidak pernah nuntut ke anak-anaknya, mengharuskan anaknya untuk menjadi seseorang yang dalam pilihannya. Bagi Gus Dur sendiri, tidak ada pesan khusus untuknya. Semuanya serba ditawarkan, termasuk keinginan Gus Dur sekolah ke luar negeri. Itu adalah keinginan Gus Dur sendiri. Ibunya hanya memfasilitasi.

 

Dua nilai yang menjadi inspirasi Gus Dur dari sosok Ibunya adalah, pertama memberi kebebasan kepada anaknya untuk memilih atau menentukan jalan hidupnya sendiri. Kedua, menanamkan tanggungjawab atas kebebasan yang telah dipilih oleh anak-anaknya (berani mengambil konsekuensi).

 

Buku ini adalah riwayat hidup Ibu Nyai Solichah yang disarikan dari buku yang cukup tebal dengan judul “Solichah A. Wahid Hasyim: Muslimah Garis Depan, Sebuah Biografi”. Adapun tulisan Gus Dur dalam buku ini diambil dari buku yang berjudul “Sama Tapi Berbeda”.