Kembali ke 2 Bunga Rampai

ICMI Antara Status Quo dan Demokratisasi

2 Bunga Rampai
ICMI Antara Status Quo dan Demokratisasi
Judul
ICMI Antara Status Quo dan Demokratisasi
Editor (Penyunting)
Nasrullah Ali-Fauzi
Penerbit
Penerbit Mizan, Bandung, November 1995 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Isi Buku

Para Penulis dan Nara Sumber

Ucapan Terima Kasih

”Kado” Lima Tahun ICMI: Pengantar Editor

Visi dan Misi Kehadiran ICMI: Sebuah Pengantar, M. Dawam Rahardjo

 

Bagian Pertama. ICMI sebagai Gerakan Kebudayaan

  1. Cendekiawan: Who Do You Think You’re?
    Oleh: Emha Ainun Nadjib
  2. Akar Sosial ICMI
    Oleh: Aswab Mahasin
  3. ICMI sebagai Gerakan Kebudayaan
    Oleh: Kuntowijoyo
  4. Makna ICMI bagi Umat Islam Indonesia
    Oleh: Soetjipto Wirosardjono
  5. Intelektual di Tengah Eksklusivisme
    Oleh: Abdurrahman Wahid 
  6. Kultur Kelas Menengah Muslim dan Kelahiran ICMI: Tanggapan terhadap R.W. Hefner dan M. Nakamura
    Oleh: Saiful Mujani

 

Bagian Kedua. ICMI dalam Perdebatan Politik Indonesia Kontemporer

  • ICMI: Politik Aliran?
    • Indonesia yang Sedang Menunggu
      Oleh: Arief Budiman
    • Mitos Politik Aliran dan Aspirasi Politik ICMI Modernis: Tanggapan terhadap Adam Schwarz
      Oleh: Saiful Mujani
    • ICMI: Politik Aliran?
      Oleh: Afan Gaffar
    • ICMI dan Politik Aliran
      Oleh: Adi Sasono
  • Demokratisasi melalui ICMI: Mungkinkah?
    • Keharusan Demokratisasi dalam Islam Indonesia
      Oleh: Fachry Ali
    • Keharusan Demokratisasi?, Tanggapan terhadap Fachry Ali (1)
      Oleh: Yusril Ihza Mahendra
    • Keharusan Demokratisasi?, Tanggapan terhadap Fachry Ali (2)
      Oleh: Denny J.A.
    • Demokratisasi melalui ICMI: Proyek yang Ditakdirkan Gagal?, Tanggapan terhadap Fachry Ali (3)
      Oleh: Ade Armando
    • ICMI dan Demokrasi di Indonesia
      Oleh: Benny K. Harman
  • ICMI dan Politik Islam di Indonesia
    • Negara, Masyarakat, dan Artikulasi Politik Islam Orde Baru
      Oleh: M. Syafi’i Anwar
    • ICMI dan Politik Islam Indonesia (1)
      Oleh: R. Eep Saefulloh Fatah
    • ICMI dan Politik Islam Indonesai (2)
      Oleh: A.E. Priyono
    • Faktor ICMI Menjelang Pergeseran Politik
      Oleh: Afnan Malay
    • ICMI, Tantangan Ekonomi-Politik Umat, dan Problem Legitimasi
      Oleh: Herdi SRS
    • ICMI dan Masa Depan Politik Islam di Indonesia
      Oleh: R. William Liddle

 

Bagian Ketiga. ICMI dan Tantangan Masa Depan

  1. Politik Akomodasi Negara dan Cendekiawan Muslim Masa Orde Baru: Sebuah Retrospeksi dan Refleksi
    Oleh: M. Syafi’i Anwar
  2. ICMI dan Konfigurasi Politik Indonesia
    Oleh: Afan Gaffar
  3. Kehadiran dan Tantangan ICMI di Pentas Nasional
    Oleh: Zulkifli Halim
  4. Menanggapi Masa Depan ICMI
    Oleh: Emil Salim

 

Bagian Keempat. ICMI dalam Perbincangan

  1. ”ICMI Harus Menyentuh Akar Rumput Umat”
    Wawancara dengan M. Amien Rais
  2. ”Janji Kecendekiawanan ICMI”
    Wawancara dengan Emha Ainun Nadjib
  3. ”ICMI Harus Memperjuangkan Pluralisme”
    Wawancara dengan Robert W. Hefner
  4. ”Suatu Saat ICMI akan Diterima Semua Pihak”
    Wawancara dengan Nurcholish Madjid
  5. ”Kekhawatiran Itu Bisa Dimengerti”
    Wawancara dengan Franz Magnis-Suseno
  6. ”Yang Kecil Tidak Bisa Lebih Lama Menunggu”
    Wawancara dengan Arbi Sanit
  7. ”ICMI Tidak Mungkin Jadi Organisasi Politik”
    Wawancara dengan Mitsuo Nakamura
  8. ”Jangan Terjebak Pemikiran Konfrontatif”
    Wawancara dengan Adi Sasono
  9. ”Konsolidasi Berlebihan Bisa Mengkhawatirkan”
    Wawancara dengan Aswab Mahasin
  10. ”Ini Kebutuhan Jangka Panjang”
    Wawancara dengan A.M. Fatwa
  11. ”Mereka Tidak Konsisten Memandang ICMI”
    Wawancara dengan M. Dawam Rahardjo
  12. ”ICMI adalah Makhluk Baru”
    Wawancara dengan Jalaluddin Rakhmat

 

ICMI, Masyarakat Madani, dan Masa Depan Politik Indonesia: Sebuah Catatan Akhir
Oleh: M. Dawam Rahardjo

Sumber Tulisan

Indeks

Sinopsis

Buku ini hadir sebagai kado ulang tahun kelima ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), pada Desember 1995. Pada bulan tersebut, ICMI juga menggelar pesta akbar Muktamar II. Organisasi yang digagas oleh B.J. Habibie ini kehadirannya cukup menyita perhatian publik, menuai pro kontra. Walaupun brandingnya sebagai organisasi para cendekiawan, ICMI dianggap telah menjadi alat politik Soeharto untuk menarik dukungan terhadap kelompok tertentu.

 

Buku ini adalah kumpulan tulisan yang berisi tanggapan-tanggapan kritis dari berbagai kalangan yang sebagian pernah tayang di media massa dalam kurun 1991-1995. Seperti Forum Keadilan, Jurnal Ulumul Qur’an, Jurnal Cendekia, Republika, dan tulisan Gus Dur sendiri dalam buku ini dimuat di Majalah Prisma, pada Maret 1991. Ada juga beberapa tulisan yang diambil dari makalah-makalah dan beberapa di antaranya baru ditulis untuk penerbitan buku ini.

 

Buku ini bisa dipandang sebagai buku yang komprehensif dalam melihat ICMI, karena di dalamnya memuat berbagai pikiran dari para pakar, ada dua puluh lebih, baik dari orang ICMI sendiri maupun dari luar ICMI, bahkan dikenal sebagai Indonesianis luar (negeri). Bagaimana mereka melihat peran ICMI ke depan, apakah tetap berada pada status quo, mendukung kekuasaan? atau sebaliknya, ICMI tampil mendukung perubahan demokratisasi yang lebih baik?

 

Buku dibagi menjadi empat bagian. Pertama, ICMI sebagai Gerakan Kebudayaan. Memotret bagaimana peran dan makna ICMI sebagai gerakan sosio-kultural Islam Indonesia. Kedua, ICMI dalam Perdebatan Politik Indonesia Kontemporer. Benar-tidaknya ICMI sebagai organisasi yang bersifat aliran atau sektarian dan potensi-tidaknya ICMI sebagai salah satu jalan menuju cita-cita demokrasi. Ketiga, ICMI dan Tantangan Masa Depan. Berisi tulisan reflektif dari keberadaan ICMI. Keempat, ICMI dalam Perbincangan. Memuat wawancara dengan banyak pengamat sebagai pelengkap pada bab-bab sebelumnya, yang mungkin belum tersentuh pada pembahasan.

 

Tulisan Gus Dur, Intelektual di Tengah Eksklusivisme, mempertanyakan keberadaan ICMI. Bahwa adanya ICMI justru banyak memunculkan kekhawatiran. Gus Dur menilai peranan ICMI tidak begitu strategis, karena faktanya ia masih adem ayem dalam status quo. Tidak bisa mendobrak kemajuan dalam membawa demokrasi yang lebih adil. Mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah, misalnya.

 

Kekhawatiran lainnya adalah ICMI menciptakan formalisme agama. Ia tak ubahnya sebagai jargon an sich, dengan label bendera Islam. Muncul kelompok Islam yang eksklusif dan sektarian, sehingga Islam kehilangan relevansinya. Di antaranya terjadi kubu-kubuan yang mana menganggap intelektual yang tidak berada di ICMI bukanlah intelektual muslim. Bagi Gus Dur, eksistensi seorang intelektual itu bila ia mampu melayani bangsa sebagai individu-individu tanpa harus dikelompokkan. Seorang intelektual dia yang memiliki pemikiran yang merdeka dan jujur, tanpa itu, jangan berbicara atas nama intelektual. Demikian kritik Gus Dur.