Intelektual di Tengah Eksklusivisme

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Gerakan intelektual Islam dan kontribusinya dalam konteks perkembangan Islam di Indonesia dewasa ini harus ditempatkan pada pengertian strategis. Mereka yang menyusun bahan-bahan GBHN dan dokumen resmi kenegaraan di pemerintahan kedudukannya memang strategis. Namun dilihat lebih jauh mendorong masuknya orang Islam dalam posisi strategis kenegaraan sebenarnya tidaklah strategis. Ini dapat disamakan dengan teknokrat yang berbondong-bondong lewat Bappenas. Mereka tidak mendobrak apa pun dan dengan demikian sama sekali tidak strategis. Sebagai suatu kelompok memang strategis tetapi tidak untuk bangsa. Dewasa ini masalah-masalah dasar bangsa seperti kedaulatan hukum atau kebebasan berpendapat belum dapat dikatakan tuntas atau terjamin. Bila dahulu jargon-jargon yang dipakai adalah demokrasi dan pertumbuhan ekonomi, tapi sekarang mempergunakan bendera Islam. Itu hanya varian baru dari suatu yang telah ada selama ini dengan membentuk teknokrasi baru dari kalangan orang Islam. Sebenarnya kita menginginkan terobosan strategis yang membuat pembangunan dapat benar-benar banting stir. Pada gilirannya masalah itu lebih banyak terkait dengan power-building yang membuat kita harus berbicara dengan pemegang kekuasaan.

Sangat mustahil kalau hanya cendekiawan muslim yang mampu untuk merumuskannya sendiri. Sekali kita bargain dengan pihak di sana untuk menyusun suatu paket pembangunan, tampaknya Islam di situ paling jauh difungsikan sebagai suplemen. Begitu banyak konsep seperti, Wawasan Nusantara, konsep Hankamrata, Undang-undang Ketahanan Nasional yang sudah jadi lantas hendak diapakan? Anda harus melihat bagimana pembengkokan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat dicocokkan dengan idealisme Islam mengenai demokrasi. Hanya aspek teknis yang dapat diperbaiki. Kalau pendekatan teknis tentunya merupakan tugas teknokrat. Dengan perkataan lain just another technocracy.

Saya melihat pengelompokan intelektual berjalan ke arah kemandekan. Kelompok intelektual, apalagi yang memakai bendera agama, akan lebih berfungsi kalau bersuara untuk masa depan. Perjuangan hak asasi manusia, demokrasi, dan kedaulatan hukum adalah perjuangan universal. Menyuarakan hal-hal tersebut merupakan otonomi masyarakat terhadap negara. Berarti di sini tidak boleh memakai bendera Islam. Islam layak memberikan sumbangan tetapi tidak lantas mengklaim. Sekarang seolah-olah Islam maju dengan klaim bahwa sumbangan yang benar hanya dari Islam. Seharusnya kita berfikir bahwa masing-masing, termasuk orang sosial-demokrat dan nasionalistik, memberikan sumbangan untuk satu Indonesia.

Secara prinsip, Islam sudah sempurna. Ketika dijabarkan secara operasional ia masih harus merambah lagi. Dengan munculnya kelompok intelektual yang serba mau menformalkan Islam, saya khawatir Islam kehilangan relevansinya. Islam yang seharusnya di jantung dan urat nadi sekarang kita letakkan di hadapan. Jangan dilupakan kita sebagai bangsa terlanjur heterogen dan pluralistik. Nurcholis Madjid boleh saja berbicara Islam itu kebebasan, tetapi kenyataannya? Para intelektual muslim sendiri, mengambil contoh tabloid Monitor menuntut dicabutnya SIUPP tabloid tersebut. Bagi saya tuntutan tersebut merupakan heavy blow. Untuk membela kebebasan mereka kalah dengan orang-orang seperti Natsir atau Anwar Harjono yang tidak mengandaikan dirinya intelektual namun berani berbicara. Bahkan A.R. Fachruddin masih memberi kesempatan kepada saya untuk mempertahankan pendirian. Tidak perlu menghukum perusak-perusak Monitor. Setidaknya hak saya untuk berpendapat dipertahankan. Kalau Islam di negeri ini mau benar, lihatlah ia sebagai pemberi warna, tidak lebih dari itu. Jika difungsikan sebagai satu-satunya kebenaran sedangkan yang lain harus mengalah maka ia menjadi eksklusif.

Emil Salim mengatakan ikatan cendekiawan muslim (ICMI) [1] tidak eksklusif. Kenyataannya? Kenapa tidak ada Abdurrahman Surjomiharjo, Yuwono Sudarsono, Dorodjatun Kuntjorodjakti atau Ismed Hadad dalam struktur kepanitiaan. Bolak-balik melulu dari kalangan NU, Muhammadiyah, atau HMI. Apa yang dikatakan Emil Salim itu lebih merupakan kepentingan konsolidasi. Saya tidak sependapat dengannya bahkan kalau dikelompokkan lantas tidak eksklusif. Orang kemudian membandingkan dengan keberadaan ikatan-ikatan cendekiawan Kristen atau Katolik. Kenapa mencari perbandingan dengan mereka yang sebenarnya juga eksklusif. Minoritas melakukan kesalahan bukan berarti yang mayoritas menjadi benar kalau berbuat hal yang sama. Janganlah mendorong minoritas untuk semakin memiliki complex-inferiority. Berilah mereka kesempatan untuk berkembang serta perlakukanlah secara adil.

Eksistensi Intelektual Tidak Membawa Bendera

Kelompok cendekiawan Islam itu pada akhirnya menjadi preoccupatie, dengan memusatkan perhatiannya hanya kepada bendera Islam. Kalau sudah begitu apa sumbangannya? Tetapi syukurlah masih ada suara-suara yang berani menentang arus dan ini tidak perlu dikelompokkan. Eksistensi intelektual Islam adalah bila ia mampu melayani bangsa sebagai individu-individu tanpa harus dikelompokkan.

Ada beberapa model peserta gerakan intelektual Islam di Indonesia dewasa ini. Mereka yang berada di kampus antara yang karir dan aktivis. Termasuk di sini mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya tetapi melakukan kegiatannya bersumber dari dan menjadi idolanya kampus. Kampus dilihat tidak hanya sebagai lambang, tetapi kampus dalam pengertian environment. Masih sangat sedikit yang dapat menggabungkan karier dan aktivis, kecuali misalnya Soetjipto Wirosardjono. Hadir pula mereka yang berasal dari ormas-ormas Islam dalam kampus. Dapat pula gabungan seperti Amien Rais yang berasal dari Muhammadiyah dan Gadjah Mada. Peserta lain datang dari lembaga-lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka ini sudah post-campus, tidak lagi berurusan dengan kampus, misalnya Aswab Mahasin. Di kampus dia kurang menonjol dan setelah selesai bekerja di LSM. Intelektual lainnya bersumber dari pemerintah. Sekarang ini dicoba untuk dikembangkan sumber-sumber baru intelektual muslim dari organisasi-organisasi wadah penyatuan umat seperti MUI dan Dewan Masjid Indonesia.

Latar belakang pendidikan, sosial, dan organisasi keagamaan sangat jelas mempengaruhi heterogenitas kandungan pemikiran gerakan pembaruan Islam. Dengan disatukan dalam satu “kandang” memang tercapai efisiensi. Tetapi bahayanya perbedaan pandangan tidak ditolerir. Sebab perbedaan pandangan dianggap mendongkel pimpinan. Nantinya hanya pimpinan yang boleh mengeluarkan pendapat. Saya dengar ada upaya mewadah-tunggalkan bahkan menganggap intelektual yang tidak berada di ICMI sebagai bukan intelektual muslim.

Persoalannya bukan hanya vertikal, horisontal atau orientasi kelembagaan an-sich tetapi timbul dari posisi legalitas pengambilan keputusan. Sebelum berlangsung pertemuan ICMI di Malang, saya pernah berbicara dengan memandang itu eksklusif dari satu sudut, di samping penjelasan saya tidak ikut karena yang hadir di situ semuanya telah memakai bendera Islam. Walaupun pintu telah dibuka tetapi jika tidak diajak tentunya tidak mau masuk. Itu menunjukkan eksklusivisme keanggotaan. Basis premisnya ini suatu organisasi eksklusif karena pembuatnya adalah orang-orang formal dari umat. Namun hal demikian tidak mengurangi penghargaan saya sedikit pun kepada pengambil inisiatif. Ada yang mengatakan saya nyerimpung. Lha, nyerimpung itu kalau saya melarang orang pergi.

Peta dan konfigurasi intelektual Islam di Indonesia harus dilihat dari kontribusinya. Selama ini terlihat sangat rutin serta tidak mencari terobosan, hanya mengembangkan skill dan sebagainya. Ada pula yang mencari terobosan dengan pemikiran-pemikiran alternatif pluralistik atau legal-formalisme.

Untuk menilai masa depan gerakan intelelektual Indonesia harus dilihat beberapa hal. Tugas pokok intelektual adalah mempertahankan kebebasan berpikir, bukannya membunuh kebebasan berpikir. Kejujuran intelektual sangat penting dan tanpa itu jangan berbicara intelektual. Intelektualisme hanya muncul dari kebebasan berpikir. Konsekuensinya kita tidak boleh “giring-giring” atau demi efektivitas harus ada keseragaman pendapat. Hargai pula pluralitas dengan menganggap mereka yang berada di luar sebagai orang mandiri. Kancah inteligensia itu milik bersama umat manusia. Tidak bisa Islam menyatakan sumbangannya lebih besar dari yang lain. Tentang kecintaan, kasih sayang, penghargaan yang tulus kepada umat manusia, apa pun agama atau keyakinannya pada dasarnya sama-sama mengabdi kepada manusia. Hanya ajarannya yang berbeda. Karena itu tidak bisa kita memenangkan diri sendiri lantas menyalahkan orang lain. Ia baru dikatakan intelektual kalau dapat mengutarakan gagasannya dalam kemanusiaan yang sama. Jika masih berpolemik dengan menyebutkan hanya Islam yang paling benar itu bukan lagi intelektual. Concern semua pihak sama, karena itu kita akan terus mencari, common-quest.

Catatan-catatan untuk Berdialog

Kita lebih baik berdialog di media massa. Saya atau siapa pun berbicara tentunya yang lain akan menanggapi. Kita saling belajar dengan cara ini. Saya lebih membutuhkan forum untuk pengembangan pandangan dalam basis yang sama, misalnya pandangan Islam tentang kedaulatan hukum. Setiap orang memberikan kontribusi dengan catatan tidak satu pun pendapat di situ yang mutlak menang.

Sangat bagus jika kaum intelektual Islam mengambil sikap integratif, memasukkan diri pada mainstreams kehidupan bangsa yang memperjuangkan demokrasi serta tatanan yang lebih adil di kemudian hari. Kita setiap hari berjumpa dengan orang yang intelektualnya berbeda. Setelah ditunjukkan bahwa Islam mempunyai sumbangan kepada peradaban manusia, mereka pun kagum. Kita seharusnya kagum pula terhadap agama lain yang juga mempunyai jawaban. Pada pokoknya setiap tradisi pemikiran keagamaan mempunyai andil dan sumbangan masing-masing. Adakah intelektual muslim yang benar-benar memahami orang penghayat, kejawen atau masalah Cina? Paling tidak akhirnya merendahkan atau mengatakan musyrik. Kita terlalu sempit memahami apa yang dikatakan oleh nabi dalam hadis “Barangsiapa mengetahui dirinya, mengetahui Tuhannya”. Harus disadari dirinya tidak berdiri sendiri tetapi harus dilihat dalam konteks kemasyarakatan.

Intelektual muslim tergantung hendak melangkah ke mana. Met of zonder intelektual muslim dalam bentuk kelompok, pemikir-pemikir muslim hendak dibilang intelektual atau disebut apa pun seharusnya memberikan sumbangan. Muslim tidak terbatas hanya dengan menyebutkan Abdurrahman Wahid ketua umum PBNU, Nurcholis Madjid orang HMI, Amien Rais-Muhammadiyah, Lubis-Wasliyah, atau Latief Muchtar-Persis. Tetapi mereka-mereka yang “KTP”, tidak pernah ke masjid, tidak pernah shalat namun selama ini merasa muslim mereka berhak untuk berbicara dan menyumbangkan pikiran atas nama Islam. Memonopoli kebenaran, itu yang salah. Kita harus meluaskan intelektual muslim jika kita hendak sungguh-sungguh. Seperti Soedjatmoko, sekalipun dia tidak pernah baca ayat kecuali dalam sebuah pidato di istana, semua akhirnya mengakui bahwa dia intelektual muslim.

Sejarah akan Menilai

Timbulnya klaim pada gilirannya akan memunculkan penyelamat atau pemeriksa agama yang kadangkala berseru “nah ini tidak Islam”, celakanya bila hal tersebut ditujukan kepada sesamanya. Kampus mengatakan “wah ini orang pesantren, tidak Islam, khurafat”. Sementara pesantren berujar “kampus ini nggak ngerti kitab kuning bukan Islam”. Akhirnya kita terlihat semakin konyol. Menurut saya tergantung intelektual muslim hendak pergi ke jalan inklusivisme atau integrasi. Kalau ke jalan integrasi janganlah berpikir lagi sebagai orang Islam yang berada di luar pemikiran orang yang lahir, berbicara dan bersama-sama dengan orang Indonesia lainnya.

Saya membaca, menguasai, menerapkan Al-Qur’an dan Hadis, dan kitab-kitab kuning tidak dikhususkan bagi orang Islam. Saya bersedia memakai yang mana pun asal benar dan cocok dengan hati nurani. Saya tidak mempedulikan kutipan dari Injil, Bhagavad Gita kalau benar kita terima. Dalam masalah bangsa, ayat Al-Qur’an kita pakai secara fungsional bukannya untuk diyakini secara teologis. Keyakinan teologis dipakai dalam persoalan mendasar. Tetapi aplikasi, soal penafsiran. Berbicara penafsiran berarti bukan lagi masalah teologis tetapi sudah pemikiran.

Beberapa catatan evaluasi pemikiran generasi baru intelektual Islam yang mulai tampil belakangan ini, mereka sudah tidak terikat lagi dengan kelompok-kelompok Islam, mereka berani mempertanyakan hal-hal yang paling mendasar dan bereksperimen melaksanakan gagasan. Segi negatif yang cenderung terlalu besar, mereka kebanyakan mengembangkan pandangan yang sempit dalam mengibarkan bendera Islam. Sebenarnya tanpa mengibarkan bendera Islam, tetapi bicara biasa saja tentang Islam sudah mempunyai dampak bendera.

Ketika saya menulis tentang kisah penembak misterius, orang luar negeri yang memperhatikan Indonesia mengatakan, “inilah pandangan Indonesia tentang hak-hak asasi manusia,” manusia tidak boleh dibunuh begitu saja. Waktu itu pandangan Islam dianggap sangat luas, padahal semua itu pandangan dan sumbangan saya sebagai manusia Indonesia yang berlatar belakang muslim. Kalau sudah bisa beranggapan begitu maka pendapat orang seperti Romo Mangun akan sama valid dengan pendapat kita. Ini yang susah kalau kita eksklusif, kita tegakkan bendera Islam lalu yang lain dianggap tidak berarti. Kalau mau begitu tidak perlu dialog. Itu monolog, masing-masing mengatakan “agama gua kecap nomor satu”. Dialog itu mengandaikan kita betul-betul berusaha memahami pihak lain secara utuh. Walaupun hendak diklaim apa pun, kenyataannya selama ini yang berlangsung hanyalah serial monolog, bukan dialog, ia tidak bisa menghindar dari pengadilan sejarah. Sejarah yang akan menilai.

Catatan akhir:

[1] Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) adalah organisasi yang dibentuk atas sponsor diktator Soeharto pada 7 Desember 1990 yang ditujukan untuk menopang kekuasaan diktatornya setelah terancam tipisnya dukungan dari kalangan militer. Ketua Umum pertama dan kedua adalah orang yang paling dekat dengan Soeharto, yaitu B.J. Habibie.