Kembali ke 3 Kata Pengantar Buku

Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia

3 Kata Pengantar Buku
Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia
Judul
Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia
Editor (Penyunting)
K.H. Abdurrahman Wahid
Penerbit
The Wahid Institute, Jakarta April 2009
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Sinopsis

Pasca orde baru runtuh, gerakan transnasional makin menjamur. Era demokrasi memberikan angin segar untuknya berlabuh jauh, berkembang, dan tumbuh subur. Hal ini yang kemudian memantik para intelektual-akademisi (di Jakarta dan Yogyakarta) meneliti ekspansi gerakan Islam transnasional ini. Sejauh mana pergerakannya di Indonesia. Ideologi, aktor, maupun lembaga yang menaunginya.

 

Diakui, DNA mayoritas muslim Indonesia adalah toleran, menghargai keberagaman dan kebudayaan. Namun di tengah-tengah itu tak dapat dipungkiri munculnya kelompok yang mempunyai ideologi atau pemahaman yang monolitik. Tidak mengakui perbedaan tafsir, menganggap kelompoknya yang paling benar, di luar yang murni adalah sesat. Nah, yang paling dikhawatirkan adalah dengan mengatasnamakan Tuhan lalu memberangus mereka yang berbeda.

 

Di sisi lain, kemunculannya lalu dimanfaatkan oleh para politisi oportunis, untuk menaikkan ratingnya, mendulang suara saat pilkada. Hal ini yang menjadi tesis dari penelitian yang dilakukan oleh LibForAll Foundation selama lebih dari dua tahun. Tata cara penulisan pada buku ini mirip dengan penelitian-penelitian akademik, dibagi menjadi beberapa bab, ada rumusan masalah, tujuan studi, dan metode penelitian sebagaimana khas penggarapan tugas akhir kuliah.

 

Hadirnya buku ini semakin menambah referensi kita mengetahui jejak muslim yang berpandangan monolitik. Selain itu bertujuan untuk mengantisipasi pergerakan ideologi intoleran yang dapat memecah persatuan bangsa. Dengan memetakan aktor sekaligus narasinya, mayoritas muslim yang moderat dapat bersuara melalui kebijakan-kebijakan untuk diterapkan di lembaganya masing-masing supaya tidak terinfiltrasi dari gerakan ini.

 

Seperti Muhammadiyah dengan terbitnya SKPP Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.0/B/2006 dan Nahdlatul Ulama dengan fatwa Majlis Bahtsul Masa’ilnya tentang Khilafah Islamiyah, yang tidak mempunyai rujukan teologis baik di dalam al-Qur’an maupun hadits. Dengan lahirnya kebijakan dan fatwa tersebut, harapannya para motor penggerak dua organisasi besar yang dikenal moderat di tanah air itu dapat menciptakan kedamaian dalam kehidupan di masyarakat.

 

Dalam buku ini, Gus Dur memberikan kata pengantar dengan tulisan yang berjudul Musuh dalam Selimut. Tulisan ini juga dimuat pada buku Sekadar Mendahului. Kata pengantar Gus Dur sangat panjang, ada 30 halaman. Respons Gus Dur akan gerakan transnasional bisa dibaca sangat serius. Ada  kekhawatiran dan perlu diantisipasi gerakannya supaya tidak meluas.

 

Walaupun toh jumlah mereka tidak banyak (sedikit), kalau terus dibiarkan akan membesar. Gus Dur mencontohkan bahwa Muhammadiyah yang kecolongan. Masjidnya disusupi kalangan ekstrimis, yang di kemudian hari masjidnya dimanfaatkan untuk agenda politik, menyuarakan gagasan Islam transnasional.

 

Kekhawatiran Gus Dur sangat masuk akal. Ketika Islam dijadikan ideologi politik, maka akan lahir kafir mengafirkan dan sesat menyesatkan. Sebab itu, tulisan Musuh dalam Selimut menjadi bahan refleksi bahwa setelah Nabi Muhammad usai memenangkan perang badr, ia berpesan kepada para sahabatnya, kalau ada perang yang jauh lebih besar lagi pengorbanannya, yaitu memerangi hawa nafsu.

 

Nafsu buruk (al-nafs al-lawwamah), yang selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi siapapun itu harus dijinakkan. Kalau tidak, bisa berbahaya, akan menggerogoti persatuan dan kesatuan bangsa. Sementara nafsu yang baik, yang damai dan tenang (al-nafs muthma’innah) harus dipupuk untuk merawat bangsa yang plural ini.

 

Ada 12 rekomendasi dari peneliti dalam buku ini untuk melestarikan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI, sebagai warisan leluhur bangsa. Diantaranya mengajak masyarakat bersikap terbuka, rendah hati, dan terus belajar memahami esensi dari ajaran-ajaran agama. Dengan begitu, kita akan memiliki jiwa yang tenang, yang bisa memahami beragam kelompok yang berbeda, sebagaimana yang sudah digariskan oleh sunnatullahNya.