Kembali ke 2 Bunga Rampai

Indonesia Pasca-Soeharto

2 Bunga Rampai
Indonesia Pasca-Soeharto
Judul
Indonesia Pasca-Soeharto
Editor (Penyunting)
Lukas Luwarso dkk
Penerbit
Aliansi Jurnalis Independen, Jakarta, 1999 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Pengantar

Daftar Singkatan

 

  1. Rekonsiliasi Nasional Untuk Indonesia Baru
    Oleh: Abdurrahman Wahid
  2. Musuh Kita Bersama Ada dalam Diri Kita Sendiri
    Oleh: Amien Rais
  3. Memenangkan Rakyat dengan Mengembalikan Kedaulatan ke Tangan Mereka
    Oleh: Megawati Soekarnoputri
  4. Prospek Ekonomi dan Politik Indonesia
    Oleh: Emil Salim
  5. Memberikan yang Terbaik Bagi Rakyat
    Oleh: Sri Bintang Pamungkas
  6. Strategi Ornop untuk Reformasi
    Oleh: M.M. Billah
  7. Pembaharuan dalam Perspektif Perempuan
    Oleh: Sita Aripurnami
  8. Timor Loro Sae, Perspektif dan Perjuangannya
    Oleh: Xanana Gusmao
  9. Saya Tidak Akan Jadi Presiden
    Wawancara dengan Xanana Gusmao
  10. ”Tentara Indonesia Harus Keluar dari Timtim”
    Wawancara dengan Penduduk Timor Timur
  11. Mewujudkan Buruh Sejahtera
    Oleh: Muchtar Pakpahan
  12. Refleksi atas Gerakan Reformasi
    Oleh: Budiman Sudjatmiko
  13. ”Saya Akan Tetap Melawan”
    Oleh: Pramoedya Ananta Toer

 

Riwayat Singkat Pengarang

Sinopsis

Buku ini berisi kumpulan tulisan dan hasil wawancara sejumlah tokoh publik setelah lengsernya Soeharto. Yang merekam tentang bagaimana episode 32 tahun kekuasaan Orde Baru, dan hal ihwal apa saja yang mestinya bangsa ini lakukan pasca rezim Soeharto tumbang.

 

Para tokoh tersebut merupakan sumber utama—saksi mata dan juga korban—dari kediktatoran selama periode kekuasaan Orba. Dipenjara, diintimidasi, dibatasi dan dibungkam aktivitasnya. Mereka terdiri dari aktivis kampus, politisi, hingga cendekiawan. Antara lain: Gus Dur, Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Emil Salim, Sri Bintang Pamungkas, M.M. Billah, Sita Aripurnami, Xanana Gusmao, Muchtar Pakpahan, Budiman Sudjatmiko, dan Pramoedya Ananta Toer.

 

Para tokoh di atas juga menawarkan gagasannya terhadap Indonesia yang mereka cita-citakan. Yang berisi harapan dan hal ihwal yang harus dibenahi untuk masa depan Indonesia agar lebih baik. Mengingat selama Orde Baru berkuasa, rakyat tidak mampu menyuarakan aspirasinya; mengkritisi negara. Bahkan media yang berfungsi sebagai alat kontrol kebijakan pemerintah pun dibungkam, dibredel.

 

Semua harus satu komando: sendiko dawuh. Selama 32 tahun itu telah terjadi pengingkaran terhadap demokrasi, pelanggaran hak asasi manusia, dan pelecehan kedaulatan rakyat. Catatan kebrutalan yang dialami oleh rakyat Aceh, Irian Jaya (yang sekarang Papua), dan Timor Timur, adalah bukti sejarah, telah terjadi penyiksaan dan penghilangan nyawa, hingga kekerasan seksual.

 

Pun demikian, Gus Dur, dalam tulisannya, “Rekonsiliasi Nasional untuk Indonesia Baru”, tidak setuju dengan narasi demonstrasi mahasiswa yang menuntut ‘menyeret’ Pak Harto ke pengadilan. Narasi seret menyeret dinilai tidak beradab. Namun Gus Dur memahami psikologi demonstran, ketika negara tidak hadir dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

 

Dalam renungannya, Gus Dur menyerukan supaya bangsa ini melakukan rekonsiliasi nasional. Dengan begitu maka akan ada titik temu dan dialog nasional. Semua pihak bisa bicara dari hati ke hati. Memberikan gagasan yang terbaik untuk Indonesia ke depan yang lebih demokratis.

 

Demokrasi, selama Orde Baru, hanyalah seolah-olah. Ada lembaganya namun tidak berfungsi semestinya (malfungsi). Demokrasi sekadar pajangan, simbol formal. Masyarakat sipil dianggap tidak mampu menentukan arah bangsa.

 

Menurut Gus Dur, demokrasi harus dipahami sebagai proses dan tradisi hidup bersama. Jika proses itu berhenti, maka demokrasi akan mandek dan yang akan berkembang adalah totaliterisme. Termasuk di antaranya masyarakat perlu dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan. Siapa pun boleh mengkritik atas kebijakan yang diambil, sehingga terjadi checks and balances. Hal itulah yang diperjuangkan para penulis selama Orde Baru.