Rekonsiliasi Nasional untuk Indonesia Baru

Sumber Foto: https://www.antaranews.com/foto/944874/aksi-rekonsiliasi-nasional

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Kita sering mengenal demokrasi hanya dari sudut kelembagaannya belaka. Masih jarang diantara kita yang mengenal demokrasi dari sudut tradisi maupun prosesnya. Padahal keduanya –baik proses maupun lembaganya– merupakan sesuatu yang harus ada secara bersama-sama. Sebab proses tanpa lembaga tidaklah mungkin. Demikian pula sebaliknya lembaga tanpa proses hanya akan menjadi pajangan belaka, seperti kita lihat sehari-hari. Kita ini punya Mahkamah Agung (MA) yang tak berfungsi, juga punya Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang tak berfungsi, pokoknya kita punya segala macam lembaga yang diperlukan untuk sistem demokrasi tetapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kondisi seperti itu lah yang berada di atas pundak semua orang di negeri ini sebagai warga bangsa sebuah negara yang berpenduduk 210 juta orang. Semua orang berkewajiban menegakkan demokrasi dalam arti proses, tradisi maupun lembaganya. Kita baru separuh jalan;belum sepenuhnya mencapai tujuan tersebut. Sebab, demokrasi merupakan proses yang tidak pernah berhenti melainkan proses yang terus berjalan tanpa henti seraya membentuk tradisinya. Sekali ia berhenti, maka demokrasi akan mandek dan akan berkembang menjadi totaliterisme.

Dalam perjalanan kita sebagai bangsa, Indonesia sebenarnya telah berupaya mengembangkan kehidupan berdemokrasi dalam arti kedua-duanya. Bahkan ketika berbagai lembaga demokrasi mengalami malfungsi, terutama pada akhir Orde Lama maupun sepanjang hampir seluruh masa Orde Baru, upaya itu tak pernah padam. Berbagai organisasi non-pemerintah seperti LSM dan kalangan intelektual maupun kalangan pro-demokrasi dengan berbagai risiko yang harus dihadapi terus berupaya mengambil alih peran itu untuk terus mengembangkannya. Tidak mudah memang, karena dalam beberapa dekade, upaya ini harus menghadapi apa yang disebut malfungsi tadi. Selain itu juga harus menghadapi kenyataan yang tak terelakkan, yakni minim atau tak berkembangnya tradisi berdemokrasi, akibat dilemahkannya berbagai kekuatan demokrasi di masyarakat. Kiranya semua pihak tahu bahwa kedua-duanya merupakan akibat dari kekuasaan yang memusat di satu tangan.

Sebagai pribadi, saya merasa beruntung memperoleh berbagai kesempatan untuk terlibat langsung dalam upaya penegakan dan pengembangan demokrasi di Indonesia. Dari keterlibatan semacam itu sembari membuka diri terhadap pengalaman bangsa di masa lalu, muncul saat-saat untuk melakukan refleksi. Sebagaimana perjalanan demokrasi di berbagai negara, demokrasi di Indonesia jelas tidak taken for granted. Kita sering dihadapkan pada situasi tarik-menarik berbagai kepentingan. Pengalaman seperti itu pula yang acap mendorong saya untuk mencari terobosan dengan risiko tidak populer.

Karena itu pula beberapa waktu yang lalu setelah mendengar informasi tentang adanya rencana akan dibentuknya rakyat terlatih (Ratih) saya memerlukan waktu menghadap Jendral TNI Wiranto sebagai Panglima ABRI untuk meminta klarifikasi tentang siapa yang akan memimpin ratih. Saya perlukan datang untuk meminta klarifikasi yang dimaksudkan dalam UU No 20 Tahun 1980 mengenai pertahanan rakyat semesta. Saya katakan kalau beliau yang memimpin rekrutmen, saya bisa tidur. Akan tetapi kalau yang memimpin rekrutmen bukan beliau, melainkan orang lain, maka saya berkewajiban untuk menentang sekuat-kuatnya. Alhamdulillah beliau menjawab bahwa yang bertanggungjawab untuk membuat Ratih adalah beliau. Jendral Wiranto juga memberikan penjelasan bahwa negeri kita memerlukan paling tidak 650.000 polisi dengan rasio 1:300 (1 polisi untuk 300 orang rakyat). Ini standar yang diakui untuk Asia-Pasifik. Sementara ini kita baru punya 200.000 personil polisi. Jadi rasionya 1:1000. Dengan demikian tiga kali lipat jauhnya dari yang seharusnya kita miliki. Maka tidak heran kalau sekarang kita melihat polisi kewalahan ketika harus menghadapi bermacam-macam kerusuhan. Karena itu salah satu hal yang penting adalah menanyakan siapa yang melakukan rekrutmen. Dengan catatan kalau nanti kita punya uang kita akan menambah lagi secara bertahap sehingga kita mempunyai lebih kurang 600.000 polisi, bukan 200.000 seperti sekarang. Tapi pada saat yang sama harus diingat bahwa yang namanya polisi itu bertugas menjaga ketenteraman rakyat, bukan untuk alat pertahanan. Mereka tidak memerlukan senjata api. Di Inggris tidak ada polisi bersenjatakan pistol melainkan hanya pentungan saja. Kemana pun Anda pergi di Inggris, Anda tidak akan melihat polisi bersenjatakan pistol. Karena itu harus ada timbal baliknya, kita mendukung Polri tetapi Polri harus menata diri. Demikianlah tuntutan masyarakat kita.

Melacak Jejak Demokrasi

Hal lain yang ingin saya sampaikan, yang sedikit-banyak menjadi beban pikiran saya, tentang masalah besar yang dihadapi oleh negeri ini, adalah belum tegaknya tradisi berdemokrasi itu sendiri. Secara rinci yang saya maksudkan ialah belum mantapnya perlindungan hukum, belum berjalannya pemerintahan yang adil–yaitu pemerintahan untuk semua rakyat, belum tercapai atau terdapatnya kondisi di mana semua warga negara mendapatkan hak-hak dan perlakuan yang sama tanpa memandang asal-usul agama, etnis, ras, bahasa-ibu budaya-daerah dan lain-lain. Semua ini merupakan contoh problem yang kita hadapi. Akan tetapi yang jauh lebih penting dari semua itu adalah masalah ideologinya termasuk asal usul ideologis. Karena itu juga harus kita kenal sungguh-sungguh bagaimana terjadinya persoalan-persoalan ideologis yang pernah terjadi di negeri ini atau bagaimana perkembangannya dahulu. Untuk melihat hal itu saya tidak perlu melayangkan pandangan kita ke masa lampau yang begitu jauh. Bukan ke permulaan abad ini di mana ada gerakan-gerakan seperti Boedi Oetomo (BO) pada tahun 1908 juga Sarikat Islam (SI) dan sebagainya. Tidak akan kita ikuti tahun 1912 sebagai kelahiran SI Merah dan SI Putih. Juga tidak usah menengok pada perdebatan antara Bung Karno melawan Muhammad Natsir maupun perdebatan Moehammad Yamin dan Natsir. Atau polemik kebudayaan antara Sutan Takdir Alisyahbana dan “lawan-lawannya” yang mempertentangkan kebudayaan kita dari pengaruh Barat-Timur, asal-usul agama dan sebagainya. Juga tidak akan kita ambil contoh tentang bagaimana para Bapak-Ibu pendiri bangsa ini memberikan toleransi yang sangat besar demi tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa sehingga terbentuk negara ini tanpa Djakarta Charter. Semua proses itu merupakan pengorbanan yang harus diberikan demi tercapainya Indonesia yang demokratis bersatu dan merdeka.

Kalau demikian ke mana kita harus melayangkan pandangan dalam rangka reedukasi atau pendidikan kembali sebagai bangsa? Ada baiknya kita melayangkan pandangan ke masa ketika Undang Undang Dasar (UUD) kita dipersoalkan dalam Sidang Konstituante yang berakhir pada tahun 1959. Pada saat itu terjadi peristiwa sangat penting yang tidak boleh kita lupakan. Kejadiannya kurang lebih sebagai berikut: saat itu keinginan untuk mendirikan negara Pancasila ditolak oleh mereka yang ingin mendirikan negara Islam. Penolakan itu sangat kecil jika dilihat dari angka-angka persentasenya. Mestinya masalah seperti ini dijadikan bahan reedukasi bangsa kita. Tetapi sayangnya karena keadaan sudah begitu tergopoh-gopoh, sebagai akibat dari keinginan mencari jalan pintas, maka diambil pendapat untuk sesegera mungkin “menyelesaikan” masalah ini. Cara itu ialah didekritkannya kembali UUD 1945 dan Pancasila. Padahal pada hemat saya pendapat itu sebenarnya tidak menyelesaikan masalah. Apalagi sebenarnya tidak ada yang melawan Pancasila, melainkan hanya masalah per-UU-an belaka yang bisa diselesaikan melalui musyawarah. Apa yang saya sampaikan ini merupakan pandangan sebagaimana saya baca entah dari buku Dr Adnan Buyung Nasution, George Aditjondro, Mc Cahin dan lain-lain.

Kita memang terlalu terburu-buru karena kondisi bangsa saat itu memang kritis dan bisa membuat kita tergelincir jatuh ke perang saudara. Karena itulah diambil sikap –yang menurut saya bijaksana– untuk sesegera mungkin menerima UUD 1945 dan Pancasila kembali. Tetapi akhirnya menjadi masalah karena Dekrit Presiden itu menyatakan kembali ke UUD 1945 dengan menghidupkan kembali Djakarta Charter. Atas dasar ini maka berturut-turut muncul berbagai masalah yang tidak ringan sampai hari ini. Kita lihat misalnya di dalam lingkungan gerakan Islam. Ada semacam pendapat bahwa karena tidak tuntasnya masalah soal gerakan Islam ini, maka mereka mengira, sekarang keadaan sudah berbalik. Maksudnya, mereka yang mengingini Syariat atau Hukum Islam sebagai landasan hukum bernegara seolah-olah sudah menang.

Namun menurut hemat saya hal itu ternyata tidak benar. Sebab jika kita mengambil lingkup populasi saja, dengan 14 persen penduduk golongan non-Muslim, maka di sini ada masalah. Dalam perhitungan kasar, dari 86 persen yang tersisa itu penduduk yang benar-benar mempraktekkan atau menjalankan ajaran agama Islam paling tinggi kurang lebih 40 persen. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari: berapa persenkah dari 86 persen itu benar-benar pergi ke masjid; menjadi anggota gerakan Islam; terlibat dalam pendidikan agama dan sebagainya. Menurut perhitungan saya mereka yang benar-benar tergolong demikian itu hanya sekitar 30-40 persen; paling longgar 40 persen. Ini berarti mereka yang tidak mengingini atau mempraktekkan ajaran Islam secara penuh atau tidak ingin mengikuti formalisasi ajaran Islam masih merupakan mayoritas yaitu 60 persen. Dengan kata lain kita tidak boleh mengklaim bahwa Islam sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk merupakan tuntutan yang benar sekaligus sebagai tuntutan yang historis. Setidaknya belum tentu demikian. Yang saya lihat dan rasakan sendiri sebagai Ketua PBNU –yang katanya merupakan mayoritas bangsa ini– juga tidak demikian. Anggota-anggota NU yang menuntut seperti itu tidak begitu besar; tidak begitu banyak, meskipun populasi NU yang terbanyak. Yang terpenting dari semua ini NU sendiri tidak menuntut adanya pelaksanaan Hukum Islam di negeri kita. Ini penting sekali. Mengapa saya berani mengatakan demikian? Karena keputusan dari Sidang Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 Pengurus Besar Syriah atau Dewan Agama PBNU menyatakan bahwa yang terpenting bukan hukumnya tetapi adalah prinsip-prinsip yang mendukungnya. Jadi hukum bisa berubah-ubah. Atau dalam bahasa agama, hukum itu berjalan sesuai dengan elamnya (ada atau tidaknya). Jadi hukum wajib, yang pada tahun-tahun awal kemerdekaan membuat kita memperjuangkan Syariat Islam sebagai dasar bernegara dan dasar hukum, maka dengan keputusan itu, pada Muktamar NU beberapa tahun lalu sebelum saya terpilih menjadi Ketua Umum PBNU — sudah dinyatakan bahwa mendirikan negara Islam bukan lagi sebagai kewajiban kita. Jadi kalau 30-40 persen penduduk yang katanya mempraktekkan ajaran Islam menuntut adanya Syariat Islam sebagai dasar bernegara tidak diikuti oleh NU, pada hemat saya mereka adalah minoritas yang sangat kecil. Mengapa mereka sekarang ini demikian kuat tuntutannya? Tidak lain karena ini merupakan kondisi di mana demokrasi belum berjalan. Karena itu saya merasa sepakat dengan pendapat yang mengatakan biarkanlah rakyat memutuskan sendiri melalui pemungutan suara untuk menentukan siapa yang menjadi raja atau tuan di neger ini. Jadi jangan ditentukan oleh senjata, tidak ditentukan oleh kekuatan fisik ataupun hal lain kecuali oleh jumlah terbesar warga Indonesia. Pada hemat saya kalau ukuran-ukuran Konstituante atau Dekrit 1959 saja di mana 40 persen rakyat kita tidak menghendaki negara agama –bahkan mungkin lebih daripada itu– lalu ditambah dengan warga NU maka jumlah yang tidak menghendaki negara agama sudah menjadi lebih 60 persen. Dengan kata lain yang tidak menghendaki Syariat Islam sebagai dasar negara betul-betul merupakan mayoritas di negeri ini. Saya berani mengatakan demikian karena saya tahu betul keadaannya.

Kebangkitan Islam Kultural

Marilah kita tinjau sekarang bagaimana perkembangan pendapat tentang Islamisasi di negeri kita. Memang pada pertengahan tahun 1970-an terjadi kebangkitan Islam di mana-mana. Di Timur Tengah juga terjadi kebangkitan Islam yang menuntut berlakunya Syariat Islamiah atau Hukum Islam sebagai dasar hukum negara. Tetapi yang terjadi di mana-mana itu tidak otomatis terjadi di Indonesia. Bahkan baru beberapa tahun yang lalu Malaysia sebagai negeri yang memiliki Partai Islam yang sangat kuat di tiga negara bagian, ternyata UMNO atau partai nasionalisnya yang memegang mayoritas di parlemen menolak Hukum Pidana Islam. Itu negara yang formalnya memiliki agama Islam sebagai agama negara. Waktu itu saya sangat tercengang mendengar di TV, saudara kita Anwar Ibrahim dengan persetujuan dari PM Mahathir Muhammad menyatakan bahwa Malaysia belum siap menerapkan hukum ini. Kalau Malaysia saja yang ada hukum khalwat-di mana pria dan wanita tidak boleh berkumpul dalam suatu ruangan jika bukan suami-isteri atau adik-kakak– belum siap, apalagi negeri kita. Dengan kata lain negeri kita yang sangat majemuk karena beragamnya penduduk pasti lebih lagi tidak siap. Meskipun demikian proses Islamisasi di Indonesia ternyata berjalan terus. Pertanyaannya, bagaimanakah kita harus melihatnya? Hal ini penting agar kita tidak terjebak pada pandangan eksklusif yang tentu saja tidak mendukung upaya penegakan dan pengembangan kehidupan berdemokrasi.

Mulai tahun 1970-an di Indonesia sebenarnya juga terjadi Islamisasi secara kultural. Dengan kata lain Islam berkembang secara kultural. Hal ini dapat dilihat melalui kecenderungan para pemimpin negara yang dulunya enggan menunjukkan agama mereka, sekarang dengan bangga bersholat Jumat di masjid-masjid. Dengan bangga mereka menunjukkan keislaman mereka. Mantan Presiden Soeharto juga dikenal sebagai orang yang bersembahyang Jumat di berbagai tempat sebagaimana kelihatan di foto-foto dan televisi dan sekarang sudah menetap di masjid Bimantara –perusahaan anaknya. Jadi dalam hal ini kita harus memahaminya sebagai bagian dari proses kultural. Karena itu sia-sia belakalah jika kita berusaha menghidupkan kembali hal itu. Apa yang terjadi pada tahun 70-an, ketika Islamisasi secara kultural berkembang, telah diduga sebelumnya. Mereka menggunakan kata-kata Cak Nur (intelektual Islam Prof Dr Nurcholis Madjid — kini Rektor Universitas Paramadina Mulya Jakarta) yang terkenal “Islam Yes Partai Islam No!” Antara Islam dan politik dipisahkan. Jadi antara Islam dan politik tidak boleh dicampur-campur. Ini sangat penting artinya. Maksudnya kini justru telah terjadi penggalian agama Islam dari sudut yang sama sekali tidak disangka oleh gerakan Islam sendiri. Inilah yang terjadi! Pada saat terjadinya ide ideologisasi semua agama atau deagamanisasi semua ideologi dengan demikian Pancasila tidak bisa dicampur dengan ideologi lain terjadi perkembangan yang penting sekali: agama sebagai kebangkitan kultural berkembang semakin menjadi-jadi. Wajah para pejabat yang rajin ke masjid merupakan contoh dari wajah negara kita. Bahkan ada banyak acara yang tidak ada konotasi agamanya pun dibuka atau dimulai dengan membaca bismillah. Jadi dengan kata lain, Islam secara kultural sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan berkembang di negeri kita.

Saya sering berpidato di hadapan warga NU dan sebagainya. Jika dihitung, selama dua belas tahun berkeliling Indonesia –dengan hitungan tiap tahun 700 kali berpidato– kira-kira 8000 kali lebih saya berpidato di hadapan rakyat. Terus terang saya harus mengatakan bahwa kita tidak boleh mempolitisasi agama. Dengan kata lain apa pun agama mereka, mayoritas telah menerima Pancasila sebagai kenyataan hidup. Mereka menerima Pancasila secara nasional sebagai kenyataan yang ada dan tidak mempersoalkan lagi negara agama. Dengan kata lain, agama memiliki tempat tersendiri, sebagai sesuatu yang bersifat moralistik. Ini berlaku untuk masing-masing agama. Terutama guna mencari inspirasi tentang keutamaan hidup dari agama mereka masing-masing yang dapat dipakai secara bersama-sama sebagai bangsa. Karena itu lahirlah gerakan demokratisasi, yang memang sesuai dengan ajaran agama-agama di negeri kita baik agama-agama yang sudah diakui negara maupun yang belum –dan perlu diusahakan agar segera diakui secara demokratis– seperti Kong Hu Cu, Islam Bahai dan lain-lain. Dalam hal ini pula kita melihat proses yang saling meninggalkan. Di satu pihak ada proses ideologisasi atau politisasi agama dengan cara menjadikan agama sebagai isu politik. Di pihak lain ternyata proses itu terhenti ditengah jalan oleh keinginan untuk melakukan kulturalisasi (pembudayaan) agama dalam kehidupan kita sebagai sesuatu yang wajar dan berkembang. Orang seperti Sri Edi Swasono (guru besar UI Prof Dr Sri Edi Swasono- ed) yang 40 tahun lalu tidak menjadi anggota, sekarang menjadi Ketua Takmir Masjid dan memiliki SMA Islam di Solo. Ini contoh betapa kulturalisasi agama dalam kehidupan kita tidak bisa dibayangkan. Dengan demikian, banyak orang yang diam-diam berjuang untuk agama Islam tidak melalui jalur politik, melainkan melalui pendidikan dan penyebaran agama, dakwah dan tarbiyah yang terjadi secara terus-menerus. Hanya sayangnya memang sejak tahun 1990-an karena kebutuhan kita untuk mendirikan masyarakat yang tunduk kepada pikiran atau cita-cita beberapa orang, maka di negeri ini muncul pihak yang menganggap bahwa pikiran untuk kembali kepada formalisasi agama mendapatkan validitas. Kita tidak –atau belum– bisa menjawab dengan cepat karena pemilihan umum (pemilu) belum berjalan secara demokratis. Karena itu mau takbmau yang dipakai adalah substitusinya yaitu kemampuan mengorganisir atau mengatur diri. Memang dalam hal ini mereka yang meginginkan Islam sebagai alat politik terdapat di mana-mana. Ada di ABRI, ada di sipil, ada di mana-mana, bahkan sudah masuk masuk dalam lingkup yang sama sekali tak kita kenal sebelumnya. Sekarang timbul di negara kita hal-hal seperti itu. Kebetulan sekali menjelang SI MPR golongan ini mendapatkan peluang untuk menyuarakan keinginannya.Mereka menyampaikan kehendak dengan cara penuh kekuatan, seperti pada Sidang Istimewa (SI) MPR, November 1998 lalu. Mereka menolak SI MPR karena SI MPR akan mengakibatkan keputusan berlangsungnya pemilu yang tidak mereka setujui karena kalau pemilu terjadi mereka akan kalah. Namun inilah yang menyebabkan mengapa mereka maju, kemudian ada pihak yang melawan mereka.

Rekonsiliasi Nasional

Karena itu dalam renungan saya, saya berkesimpulan sama dengan Romo Kardinal Darmoatmodjo SJ (Kardinal Indoenesia sekaligus Uskup Agung Jakarta), Mgr J Suwatan MSC (Ketua KWI sekaligus Uskup Manado), Pendeta Soelarso Sopater (Ketua Umum PGI) dan sejumlah tokoh dari Parisada Hindu Budha Konghucu dan lain-lain. Yakni sebaiknya bangsa kita sangat perlu melaksanakan rekonsiliasi nasional. Sebab kalau kita hanya main bersikukuh pada pendapat sendiri dan ingin menang sendiri, maka meskipun kita melaksanakan pemilu, kita tidak akan pernah melaksanakan reedukasi. Karena mereka yang berpandangan bahwa melalui kemenangan politik Islam bisa timbul lagi, justru akan terpendam –meskipun tidak akan tesapu bersih– namun mereka tetap tidak akan sadar.

Maka perlu kita adakan rekonsiliasi sehingga kita dapatkan titik temu kembali di antara kita semua. Jalan pikiran ini mengharuskan adanya dialog nasional. Dialog itu menjadi suatu percakapan nasional di antara semua pihak, bukan hanya melalui forum resmi melainkan forum di mana pihak yang mempunyai pikiran tentang Indonesia yang lebih baik dan demokratis di masa depan dapat melakukan refleksi dan menyumbangkan pikiran terbaiknya. Tentu dalam rekonsiliasi itu harus terlibat di dalamnya pihak yang menginginkan agama sebagai dasar negara. Hanya dengan cara berdialog seperti inilah kita akan bisa mengukur jalan pikiran masing-masing dan mencapai start (awal) bersama di masa mendatang.

Inilah titik awal rekonsilasi. Menghendaki dialog nasional sudah dimulai dengan menunjukkan hal-hal yang patut menjadi pemikiran untuk masa datang. Karena itu saya ajukan permintaan sederhana agar bahasa yang dipergunakan yang enteng-enteng saja; jangan berat-berat! Saya berharap agar dialog ini maupun dialog lainnya kita jadikan dialog kita bersama untuk memperjuangkan kembali kehidupan yang adil dan demokratis. Yakni dengan cara yang lebih mengutamakan penegakkan hak-hak rakyat daripada hanya terkonsentrasi untuk balas dendam terhadap satu dua pemimpin yang memang bersalah pada masa lampau. Tentu saja ini bukan ini dimaksudkan untuk mencari-cari kesalahan orang, melainkan ajakan untuk melupakan kesalahan itu dan kemudian lebih menatap masa depan secara sehat sambil menyelesaikan sisa-sisa masalah yang masih ada terutama di bidang finansial. Terus terang saja kalau melihat situasi saat ini, saya sangat sedih. Di antaranya ada demonstrasi mahasiswa yang menuntut untuk “menyeret” Pak Harto ke pengadilan. Di negeri beradab mana kita boleh melakukan hal itu? Amerika Serikat saja yang tidak punya Pancasila, DPR-nya dengan tertib melalui salah satu komisinya memutuskan untuk membawa Presiden Bill Clinton kepada proses persidangan.Jadi tidak dengan main seret-seretan melainkan diadili secara baik, sopan dan beradab. Saya tidak membenarkan seret-seretan. Tetapi saya paham bahwa hal itu bukan salah mahasiswa. Sebab yang mestinya mengadili tak kunjung mau mengadili dengan mempertimbangkan rasa keadilan. Selain itu juga tidak ada penjelasan yang cukup. Kalau diberi penjelasan cukup insya Allah tak apa-apa. Karena tak pernah ada penjelasan, maka mahasiwa bangun.

Inilah masanya mahasiswa kembali ke kampus. Pemerintah mengerti aspirasi mahasiswa. Kemudian kita melakukan upaya untuk mendudukkan masalah dengan memeriksa Pak Harto secara hukum, bukan dengan diseret-seret. Sebagai orang yang berasal dari kebudayaan Jawa mendengar orang tua diseret-seret itu rasanya merinding. Saya teringat diri saya sendiri yang sudah menginjak masa tua sehingga saya tidak bisa membayangkan kalau diri saya diseret-seret, rasanya kaya apa! Saya sadar apa yang kemukakan ini bisa jadi tidak populer sama sekali. Tetapi jujur saja karena semua pihak terlibat marilah kita mulai saja menjalankan tugas kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan sungguh-sungguh. Pemerintah menjalankan tugas secara sungguh-sungguh, mahasiswa melakukan upaya untuk menghentikan penyeretan Soeharto dan rakyatnya juga tak usah menonton sambil tepuk tangan. Yang wajar-wajar sajalah. Kisah Presiden Nixon yang berhenti karena harus menghadapi pengadilan oleh parlemen daripada di-impeach pun merasa lebih baik untuk memilih berhenti di jalan. Itu saja sudah merupakan sesuatu yang luar biasa–sudah menimbulkan kegoncangan besar. Apalagi sampai seret-seretan. Saya tidak bermaksud membela Pak Harto wong Pak Harto sudah cukup dewasa untuk membela diri sendiri dengan menyewa banyak ahli hukum. Tetapi marilah kita tegakkan kebenaran dan keadilan di negeri kita untuk tidak main seret melainkan dengan prosedur hukum yang benar.