Judul |
---|
Kitab Kuning – Pesantren dan Tarekat |
Penulis |
Martin Van Bruinessen |
Penerbit |
Mizan, Bandung, Januari 1995 (cetakan ke-1) |
Kategori |
3 Kata Pengantar Buku, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
1995 |
Judul Tulisan
Sinopsis
Namanya tidak asing di kalangan akademisi dan intelektual tanah air. Ia adalah pakar studi islam, banyak meneliti sosial keagamaan di Indonesia, khususnya tentang dunia pesantren.
Lahirnya buku ini berawal dari tugas Martin van Bruinessen saat di LIPI Jakarta, pada tahun 1986-1990. Saat itu ia menjadi konsultan, meneliti tentang sikap dan pandangan hidup ulama Indonesia. Dari sana, ia kenal dengan budaya pesantren, dan bertemulah Martin dengan Gus Dur.
Gus Dur menjadi salah satu narasumber Martin, termasuk memberikan pengantarnya pada buku ini. Gus Dur mengenalkan Martin ke sejumlah kiai atau ulama terkemuka. Selain Gus Dur, ada juga nama Masdar Farid Mas’udi yang menjadi teman diskusinya.
Berbicara pesantren, kita tidak bisa lepas dari materi pembelajarannya (kitab kuning) dan tarekat (jalan spiritual) untuk mendekatkan diri pada Allah Swt melalui bimbingan mursyid (guru tarekat). Ketiganya saling terkait dan berkembang di kalangan Nahdlatul Ulama, organisasi muslim tradisional di Indonesia. Penelitian Martin ini sangat dekat dengan pesantren-pesantren NU.
Bagaimana proses transmisi kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren, dan apa saja pengaruhnya terhadap aktivitas dan pemikiran para santri, tersaji dalam buku ini. Buku ini semacam masterpiece bagi peneliti, pewarta, dan juga politisi yang ingin mendalami tentang dunia kepesantrenan. Hingga hari ini, penelitian tentang pesantren tak pernah padam, dan buku Kitab Kuning, Pesantren dan Taretkat selalu menjadi rujukan ilmiah.
Buku ini di bagi ke dalam tiga bagian. Pertama, jaringan ulama dan dampak transnasionalisme. Di mana jaringan ulama di Timur Tengah berkontribusi pada penyebaran Islam di Nusantara. Kedua, Pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Dari proses belajarnya para ulama Nusantara dari Timur Tengah, sepulangnya lalu mendirikan pesantren. Proses tranmisi kitab-kitab kuning inilah mulai terbentuk. Ketiga, Tarekat-tarekat dan perkembangannya di Indonesia. Berbicara asal usul, ajaran, dan gerakan politik para kaum tarekat dalam melawan kolonial.
Dalam pengantarnya, Gus Dur berbicara dua hal. Yang pertama sosok dari peneliti, Martin van Bruinessen. Dari meneliti ke empati. Keseriusannya dalam melakukan kajian akademik yang kemudian mampu membuat pemetaan terhadap problem yang dihadapi muslim Indonesia. Yang kedua tentang penelitian Martin sendiri.
Gus Dur memberikan pembuka bahwa penelitian Martin ini berawal dari tarekat Naqsyabandiyah yang ada di daerah Kurdistan. Bagaimana dampak gerakan ini dan interaksinya terhadap modernisasi dan politik.
Lalu Martin menelusuri juga jaringan keilmuan islam yang ada di Asia Tenggara, yang disebarkan oleh ulama Kurdi. Martin lalu menemukan bahwa kurikulum yang ada di pesantren, yakni kitab-kitab kuning yang diajarkannya, adalah pengaruh dari ulama Kurdi, yang terbentuk sejak abad 19. Bukti itu berdasarkan sumber literatur seperti serat centhini dan beberapa arsip yang dimiliki oleh Belanda.
Tokoh-tokoh yang disebut oleh Gus Dur, seperti Syekh Arsyad al-Banjari, Syekh Abd Al-Shamad Palembang, Syekh Saleh Darat Semarang, Syekh Abd Al-Muhyi Pamijahan, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Khalil Bangkalan, dan Syekh Hasyim Asy’ari Jombang, adalah sederet ulama yang terpengaruh dengan tradisi intelektual Kurdi.
Kajian-kajian seperti fikih (Syafi’i), tradisi tarekat dan dominasi tasawuf dalam materi pengajarannya adalah corak yang sampai hari ini lekat dalam dunia pesantren. Hal itu bisa dibaca pada ratusan kitab kuning yang telah dikumpulkan oleh Martin.
Atas kedalaman penelitian Martin ini—yang lintas sektoral (sejarah, sosiologi, dan antropologi), dapat menjadi refleksi umat Islam di Nusantara. Sehingga bisa menjadi daya tahan dalam menghadapi tantangan umat Islam ke depan.