| Judul |
|---|
| Membangun Di Tengah Pusaran Hutang |
| Editor (Penyunting) |
| Jayadi Damanik, Ahmad Suaedy, Hairus Salim HS, Banu Subagyo, Sarbuji, Haitamy el-Jaid |
| Penerbit |
| Interfidei, Yogyakarta, Januari 1996 (cetakan ke-1) |
| Kategori |
| 2 Bunga Rampai, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
| Arsip Tahun |
| 1996 |
Judul Tulisan
Pengantar Penerbit
Daftar Isi
Bagian I. Hutang Luar Negeri Indonesia, Sebuah Tinjauan Historis-Politis
- Tentang Hutang Luar Negeri Indonesia
Oleh: Ryadi Gunawan - Hutang Luar Negeri Indonesia: Sebuah Tinjauan Historis-Politis
Oleh: G. Moedjanto - Tanya Jawab
Bagian II. Hutang Luar Negeri Indonesia dalam Perspektif Ekonomi-Politik
- Negara-negara Berkembang, Hutang Luar Negeri dan Kebijaksanaan Bank Dunia/IMF
Oleh: Sritua Arief - Tinjauan Ekonomi-Politik Masalah Hutang Luar Negeri
Oleh: Mohtar Mas’oed - Tanya Jawab
Bagian III.
- Hutang Luar Negeri: Tinjauan Budaya
Oleh: Loekman Soetrisno - Hutang Luar Negeri: Tinjauan Politik-Hukum Internasional
Oleh: F. Sugeng Istanto - Hutang Luar Negeri: Perspektif Hukum dan Politik
Oleh: Abdul Hakim G. Nusantara - Tanya Jawab
Bagian IV. Hutang Luar Negeri Indonesia dalam Perspektif Agama-agama
- Hutang Luar Negeri dalam Perspektif Islam
Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid - Hutang Luar Negeri dalam Perspektif Katolik
Oleh: J.B. Banawiratma - Hutang Luar Negeri dalam Perspektif Protestan
Oleh: Yosep P. Widyatmadja - Tanya Jawab
Biodata Para Penulis
Indeks
Sinopsis
Pembangunan yang terjadi di Indonesia tidak bisa terlepas dari hutang. Buku yang terbit pada tahun 1996 ini tengah menyoroti isu itu, di mana 25 tahun terakhir pembangunan di Indonesia separuhnya dibiayai hutang luar negeri (HLN). Di satu sisi banyak yang ikut merasakan dampak positif dari proyek pembangunan, namun di sisi lain masih banyak masyarakat miskin di negeri ini. Lalu siapa yang akan menanggung hutang itu semua kalau bukan rakyat Indonesia? di sini lah yang menjadi pembahasan utama terkait hutang piutang Indonesia terhadap luar negeri.
Boleh saja berhutang, asal pemerintah harus transparan dan bertanggungjawab dalam menyampaikan informasi. Rakyat juga berhak untuk mendapatkan akses data, rincian yang telah dibelanjakan. Mengapa demikian? karena faktanya, dampak dari pembangunan selama ini tidak memberikan sumbangan yang signifikan kepada pertumbuhan ekonomi dan produktivitas nasional.
Hal ini penting untuk menyadarkan masyarakat untuk mengawasi seluruh proses pembangunan itu. Indonesia pada saat itu telah menempati peringkat ke-3, rangking tertinggi di antara negara-negara berkembang di Asia. Cicilan pokok dan bunga dari hutang semakin memberatkan anggaran negara.
Buku ini adalah hasil diskusi yang diselenggarakan oleh Pokja PKPM dan INTERFIDEI. Selain menilik HLN dari perspektif politik, ekonomi, dan hukum, agama juga dilibatkan, bagaimana agamawan menyosialisasikan dampak dari hutang ini, karena mereka yang setiap hari berjumpa dengan umat yang mayoritas warga miskin. Gus Dur menjadi salah satunya, yang memberikan pandangannya dalam buku ini, Hutang Luar Negeri dalam Perspektif Islam.
Dalam kacamata Gus Dur, HLN harus dilihat dari sudut pandang yang multidisipliner. Apakah proses pembangunan yang menggunakan hutang luar negeri itu bermanfaat atau justru menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat? Ukuran ini tidak bisa dinilai hitam putih, tetapi dilihat menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat jangka panjang.
Bila dilihat dari sudut ekonomi dan politik, ternyata HLN dikuasai oleh pebisnis yang kebetulan berkuasa. Mereka ingin mengembangkan jejaringnya hingga ke luar negeri. Investasi yang masuk ke Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir kelompok yang ingin membesarkan kerajaan bisnisnya. Tidak serta merta bertujuan untuk kemakmuran rakyat. Bila demikian yang terjadi, maka HLN tidak bisa dibenarkan, karena mengorbankan rakyat sendiri demi memelihara sistem yang korup.
Sebab itu, hutang, apabila tidak membawa perbaikan atau malah justru menyengsarakan rakyat, secara moral tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bila ditinjau dari segi apa pun—ekonomi, politik, hukum, agama, dan budaya, HLN banyak menimbulkan madharat, beresiko tinggi. Sudah sewajarnya pemerintah bersikap transparan dan bertanggungjawab atas pengelolaannya kepada rakyat. Jangan sampai menimbulkan kesenjangan sosial ekonomi yang semakin besar.