Hutang Luar Negeri dalam Perspektif Islam

Sumber Foto: https://mediaindonesia.com/ekonomi/641003/rasio-utang-luar-negeri-indonesia-masih-dianggap-aman

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Pembahasan masalah hutang luar negeri sebenarnya mencerminkan suasana real persoalan kita, yaitu persoalan yang jumlahnya sangat besar. Inilah suasana konkret yang kita hadapi. Baru-baru ini saya diberitahu bahwa hutang luar negeri Indonesia telah mencapai US$ 94 milyar. Dan pemerintah tidak pernah mengumumkannya secara resmi. Hanya karena ditanya lalu mau mengakui. Dan pengakuan itu pun tidak mencerminkan realitas sesungguhnya. Saya mendengar dari mereka yang masih jujur di dalam birokrasi mengatakan, hutang yang dalam bentuk Yen saja sudah mencapai US$ 90 milyar. Dan total hutang kita sekarang kira-kira sebanyak US$ 117 milyar.

Jadi, kita sudah masuk dalam event dunia. Tentu ini sangat menarik untuk kita lihat bagaimana kelanjutannya. Karena, hutang luar negeri itu membawa konsekuensi yang sangat besar, di antaranya, bagi negara lain, dan bukan hanya bagi kita sendiri. Tiga negara penghutang terbesar di dunia (Brazil, Argentina, dan Meksiko) sekarang menjadi “beban” Amerika. Negara-negara tersebut berada dalam jaringan ekonomi Amerika Latin dan Amerika Utara (NAFTA).

Kalau jaringan ekonomi ini berjalan, maka Amerika harus menanggung beban hutang luar negeri yang sangat besar. Untuk itu, Amerika siap-siap mencari kawan untuk memeratakan beban itu. Pemikiran itulah sebenarnya yang melatarbelakangi didirikannya APEC, yaitu dalam jangka panjang ia akan dapat ikut serta menyerap beban hutang luar negerinya AS yang besar itu. Yang menarik adalah bahwa proses penyerapan hutang itu juga melibatkan calon-calon penghutang besar, seperti Indonesia. Jadi, di samping memeratakan beban hutang, APEC juga sekaligus menangani beban baru. Pantaslah negara-negara lainnya seperti Jepang agak ogah-ogahan dengan APEC. Hanya, karena sudah diikat oleh jaringan liberalisasi perdagangan internasional (GATT), mereka harus mau dengan APEC. Kita melihat hal semacam ini sebagai sebuah perkembangan internasional yang saya rasa paling menarik dalam penutup abad ini dan permulaan abad yang akan datang. Artinya, bagaimana secara internasional hutang-hutang luar negeri kita dan hutang negara-negara lainnya dapat diselesaikan atau dapat diserap beban-bebannya.

Melihat kenyataan ini, sebagai seorang yang melihat segala sesuatu dari sudut pandang agama, saya memang sudah lama membuat refleksi tentang moralitas dari persoalan hutang luar negeri, bukan bagi kita saja tetapi bagi semua pihak. Karena bagaimana pun juga, kalau kita sudah berbicara tentang agama, maka sisi agama yang paling jelas atau menonjol adalah moralitasnya. Moralitas ini dibentuk melalui pandangan-pandangan teologis yang biasanya juga mencerminkan norma-norma etis dari kehidupan mereka yang mementingkan iman sebagai dimensi yang mengatur kehidupan. Sebab, bagi seorang agamawan, iman merupakan segala-galanya, walaupun orang Indonesia suka salah kaprah dalam menyebut iman sebagai imam. Kalau yang terakhir tadi tentu bukan segala-galanya. Iman yang segala-galanya adalah iman yang memang iman.

Bila keimanan kita dihadapkan pada persoalan etis untuk dapat diwujudkan dalam moralitas, yaitu moralitas sebagai gugusan pandangan, sikap dan pemikiran yang mencerminkan totalitas diri kita, maka saya rasa persoalannya menjadi tidak mudah untuk dirumuskan begitu saja. Sebab, walaupun kita memiliki norma-norma yang bersumber pada keimanan kita, Tetapi iman seseorang, apakah itu agamawan atau bukan, tidak bisa diredusir menjadi sejumlah formulasi baku. Karena keimanan kita mengalami perbenturan dengan kenyataan, dan dia harus meredefinisikan diri secara terus-menerus.

Ini yang harus selalu diingat. Karena kalau kita bicara tentang hutang luar negeri, pertama-tama kita berangkat dari asumsi kata “hutang” yang dalam pandangan keimanan sudah menunjukkan adanya reduksi atau berkurangnya kemampuan manusia untuk mengatur kehidupan dirinya, meletakkan manusia pada posisi yang tidak menguntungkan dirinya. Dalam ajaran agama Islam misalnya, hutang memang tidak pernah dilarang, bahkan diatur dalam kitab-kitab hukum agama (fiqih). Di sana ada bagian yang khusus mengatur transaksi hutang-piutang yang juga secara prosedural diatur secara rumit dan kompleks. Ini berarti agama mengakui keberadaan dan kehadiran hutang. Dalam Alquran disebutkan, “Kalau anda berhutang-piutang, maka tulislah transaksi itu.” Artinya, bikinlah perjanjian tertulis kalau transaksi hutang-piutang. Kitab suci yang demikian agung saja masih membahas prosedur berhutang. Yaitu, apakah transaksi cukup dengan kata-kata atau harus ditulis dalam bentuk perjanjian. Apalagi kalau mengenai substansi hutang itu sendiri: apakah harus memakai agunan atau tidak? Apakah boleh kalau pakai agunan yang lebih besar dari jumlah hutang yang diberikan? Dan seterusnya.

Jadi, dari pertimbangan-pertimbangan teknis mengenai hutang-piutang yang walaupun diatur seperti tersebut di atas, secara keseluruhan masalah hutang, gampangnya, kalau bisa, hendaknya dihindari Sebab, seluruh semangat ajaran agama menghendaki kalau bisa, tidak usah berhutang. Karena hutang itu akan menciptakan stelsel. Dalam agama Islam, stelsel berbentuk pemberian pertolongan. Ada zakat, hibah, wasiat dan wakaf. Sebetulnya semua itu dimaksudkan untuk menghindarkan supaya orang tidak gampang berhutang. Kalau toh ada pertolongan, maka pertolongan itu harus diberikan benar-benar dalam konteks memberikan pertolongan, bukan meminjamkan uang. Nah, ini yang secara umum menjadi bagian dari ajaran agama Islam yang melihat hutang sebagai sesuatu –yang kalau memang bisa– harus dihindari.

Dengan uraian tersebut menjadi jelas bahwa pihak yang menerima pertolongan termasuk dalam kategori “tangan bawah.” Nabi Muhammad dalam sebuah ungkapannya mengatakan, “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah, tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima (al-yad al-‘ulya khoirun min al-yad al-sufla)”. Ungkapan ini mencakup soal hutang. Karena itulah dalam hutang, orang diharuskan untuk tidak berorientasi eksploitatif, tidak memanipulasi kondisi yang menyebabkan transaksi hutang demi kepentingan pemberi hutang. Maka itulah sebabnya, dalam hukum agama Islam dikatakan, riba, yusri, yaitu kompensasi keuangan yang diperoleh dari peminjaman uang itu dilarang, harus dijauhi. Bahkan lebih keras lagi, sebab rumusannya dalam hukum agama berbunyi sebagai berikut: “Setiap transaksi kredit yang memberikan kompensasi adalah transaksi riba (kullu qordin jarron naf an fahuwa al-riba).” Sedangkan riba oleh kitab suci Al- quran jelas dilarang. Karena itu, semangat agama Islam menolak manipulasi kondisi ekonomi untuk kepentingan satu pihak saja (baca: kepentingan pemilik uang).

Semangat ini berlaku pada level hutang-piutang perorangan (pribadi) maupun juga pada level institusi (negara). Jadi, antara orang dengan orang, dan orang dengan institusi, seperti bank dan sebagainya. Tetapi dengan susah payah para ulama Islam mencari rumusan untuk mengatakan bahwa bunga bank bukanlah riba, Tetapi pencarian itu tidak berhasil meyakinkan semua orang. Malahan, ajaran agama masih mereka anggap sebagai terlalu manipulatif. Mereka yang terpaksa berhutang ke bank, dianggap imannya tidak kuat. Melanggar-langgar sedikit, tidak apalah, begitu kira-kira. Memang sekarang ini, jangankan yang halal, untuk mencari yang haram pun susah. Jadi dalam hal ini, hukum agama mengenai bank interest (bunga bank) menjadi bersifat kontroversial. Ada yang tetap pada anggapan bahwa setiap transaksi yang memberikan kompensasi adalah riba, karena itu mereka menolak berurusan dengan bank-bank yang ada dan mereka bersikeras harus mendirikan bank Islam, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI).

Dengan demikian, ada penolakan terhadap proses transaksi kredit bank pada kehidupan pribadi (baca: pada kehidupan ekonomi mikro kaum muslimin), walaupun cukup besar juga jumlah ulama yang berpandangan sebaliknya. Mereka berpandangan bahwa yang dimaksudkan dengan pinjaman yang berkompensasi, yang haram, yang harus dijauhi itu adalah pinjaman yang manipulatif, pinjaman yang tidak produktif yang bersifat konsumtif. Ini adalah pandangan yang dikedepankan oleh Yusuf Qardlowi dari Al-Azhar, Mesir.

Dalam pandangan terakhir ini, berhutang kepada bank untuk tujuan produktif adalah sesuatu yang lain sama sekali dari yang digambarkan oleh ketentuan mengenai kompensasi kredit tadi. Bunga bank semata-mata dalam konteks profit-sharing dari upaya produksi. Seseorang dapat meminjam uang dan menggunakannya untuk memproduksi sesuatu, (apakah itu jasa-jasa, barang, teknologi atau apa saja), dan uang yang digunakan (diputarkan) itu untuk kepentingan produksi (menghasilkan keuntungan) yang dikembalikan dalam bentuk profit-sharing yang merata, dengan mmemperhtungkan ongkos-ongkos administrasi dan resiko-resiko yang jumlahnya memang kecil.

Nah, dalam logika ini, tidak dikenal adanya bunga paron bank. Sebab, mereka harus menghitung keuntungan, pajak, ongkos-ongkos eksploitasi, dipotong lagi dengan jaminan-jaminan sosial (asuransi), dan lain sebagainya. Toh belakangan, masih harus dipotong lagi dengan penyediaan dana-dana guna melanjutkan usaha. Oleh karena itu, profit-sharing itu menghasilkan bunga bank yang sangat kecil, Tetapi tetap saja berwatak profit-sharing. Inilah yang membuat kompensasi tidak lagi diharamkan. Begitulah kata Yusuf Qardlowi yang saya rasa dianut oleh kaum muslimin pada umumnya di dunia, termasuk para kiai yang mempunyai rekening bank, termasuk saya. Seandainya hal itu haram, maka haram terpaksa dan jumlahnya kecil. Bukan dimaksudkan untuk penumpukan kekayaan melainkan dengan pertimbangan menjaga agar tidak hilang.

Jadi, dari sudut pandang ini, hutang merupakan sesuatu yang problematik bagi kaum muslimin, apalagi menggunakan instrumen bank dalam bentuk transaksi kredit melalui bank.

Kalau pandangan ini kita buat makro (bersifat antar bangsa), maka dengan sendirinya dimensi etis yang tadi telah diuraikan sebelumnya menjadi lebih rumit. Yaitu, pandangan kalau bisa, hendaklah menghidari hutang” Apalagi kalau dalam bentuk transaksi kredit yang di dalamnya ada bunga bank yang mengandung kompensasi. Maka hal itu akan lebih rumit.

Hutang pada level makro (hutang suatu bangsa atau sebuah negara) bisa berupa hutang nasional kepada warganya sendiri. Ini merupakan suatu persoalan yang cukup berat. Apalagi kalau hutang itu secara agregatif dihitung sebagai hutang kepada bangsa lain. Dari sini muncul pertanyaan, apakah “tangan yang memberi lebih baik daripada tangan yang menerima, tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah (al-yad al-‘ulya khoirun min al-yad alsufia)?” Kalau ini betul berlaku, maka apakah tindakan mengambil hutang luar negeri dari negara atau institusi-institusi keuangan negara lain juga layak? Ataukah hutang itu harus dihindari sambil kita menerima bantuan luar negeri? Mana yang lebih baik? Sebab kalau berupa bantuan luar negeri, maka berarti tangan kita mutlak di bawah, karena memang diberi. Istilahnya saja gagah: grant. Tetapi sebenarnya adalah sedekah.

Lalu apakah kita menjadi orang yang mencari sedekah? Kalau tadi al-yad al-sufla, tangan yang di bawah itu kita lihat bertingkat-tingkat, maka posisi yang paling bawah adalah saa’ilin (peminta-minta), mereka tergolong sudah mepet di bawah, sudah tidak ada lagi yang lebih bawah. Apakah kita ini, sebagai bangsa, boleh menjadi bangsa peminta-minta? Inilah masalahnya. Jawabnya tidak gampang. Sedangkan peminta-minta, saya rasa dalam ajaran agama mana pun, adalah makhluk yang harus mendapat santunan sosial, bukannya atas pertimbangan ekonomi lagi. Di mana-mana, kalau peminta-minta memang harus dikasihani. “Kasihanilah mereka.” Santunan tersebut bersifat sosial, sama dengan anak piatu, janda-janda melarat, orang melarat, fuqara’, atau orang-orang fakir, masaakiin (orang-orang miskin) Fuqara’ itu lebih melarat dari orang-orang miskin. Mereka hanya mampu untuk makan hari ini, tidak lebih dari itu. Apa yang akan dimakan besok, belum tahu! Di atas mereka sedikit sudah termasuk golongan menengah, tentu tidak miskin lagi. Besok makan apa, sudah tidak lagi berpikir. Mereka berpikir, besok makan di mana. Lain lagi dengan konglomerat, mereka selalu berpikir, besok makan siapa?

Apakah bangsa-bangsa dapat dikategorikan dalam kategori yang demikian, hanya karena berhutang atau tidak berhutang? Dalam Alquran dikatakan, “… dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir [yang memerlukan pertolongan] dan orang-orang yang meminta-minta…” (wa ‘aata al-maala ala hubbihi dzawi al-qurba wa al-yataama wa al- masaakiin wa ibn as-sabiil wa as-saailiin wa fi ar-riqoob [Q,S: 2 Albaqarah, 177])”. Jadi, saailin di sana ada kategorinya sendiri.

Hutang luar negeri, bila dilihat sebagai sebuah kondisi, perlu diselesaikan secara baik dan bertahap dalam jangka panjang, tanpa mengurangi kehormatan dan derajat kita. Masalahnya adalah, bagaimana mendefinisikannya. Ini adalah persoalan yang tidak mudah diformulasikan. Seorang agamawan, karena sudut pandangnya adalah etis, maka ia berangkat dari norma-norma keimanan. Maka, saya mengatakan jawabannya tidaklah mudah, Tetapi harus dijawab.

Sebagai seorang agamawan, saya melihat, jawabannya terletak pada sebuah konteks keutuhan proses (terjadinya) dan sekaligus penyelesaian hutang luar negeri itu sendiri. Jadi, bagaimana pun, hutang luar negeri merupakan beban untuk anak-cucu kita, betapa pun ringannya. Saya selaku seorang muslim berpendapat, hutang luar negeri adalah penundaan atau pengurangan terwujudnya kewajiban meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam kaidah hukum agama Islam dikatakan, “Tindakan dan kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus terkait sepenuhnya dengan kesejahteraan rakyat (tasarruf al-imam ala ar-ro’iyah manuutun bi al-mashlahah).” Jadi, tingkat kesejahteraan yang dicapai merupakan pertimbangan paling utama bagi kesahihan tindakan dan kebijakan seorang pemimpin, apakah pemimpin negara, pemimpin bangsa, pemimpin apa saja. Kewajiban ini tidak bisa dinomorduakan. Itu tercermin dalam penerimaan para pemimpin gerakan Islam atas pembukaan UUD kita, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.

Kata “makmur” di situ mencerminkan kesejahteraan rakyat pada tingkat yang sangat tinggi. Ini kewajiban. Kewajiban ini, bagaimana pun juga, sedikit banyak akan terkurangi atau tertunda terwujudnya oleh hutang-hutang luar negeri. Karena hutang luar negeri, bagaimana pun juga, ada komponen angsuran pembayaran hutang serta bunganya, karena harus membayar bunga. Jadi, kewajiban pengembalian lebih besar daripada penerimaan yang diperoleh dulu waktu perjanjian hutang itu dibuat.

Dengan kata lain, kalau kita mempertimbangkan dari sudut agama, sebagai seorang agamawan, boleh tidaknya melakukan hutang luar negeri, kita melihat dari sudut: apakah hutang itu menyengsarakan dalam jangka panjang atau merupakan bagian dari proses mensejahterakan kehidupan rakyat. Di sini hutang luar negeri menjadi sangat rumit, karena dimensinya sangat banyak. Umpamanya, apakah dengan tujuan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi yang memerlukan hutang luar negeri itu, kita boleh membayar dengan penebangan hutan secara massif? Sebab penebangan hutan, bagaimana pun, merupakan bagian dari proses penundaan kemakmuran bahkan sebagai pengurangan kemakmuran. Karena kemakmuran atau kesejahteraan, dalam ukuran yang sangat luas, menyangkut juga kelestarian alam dan sumber-sumber daya ekonomi, misalnya tanah.

Walaupun ukurannya menjadi sangat rumit, Tetapi masalah menjadi jelas bahwa, apakah hutang luar negeri tersebut lebih membawa penunaian kewajiban melestarikan dan menyejahterakan kehidupan rakyat, ataukah sebaliknya? Dan itu berarti ada kebutuhan untuk menentukan ukuran-ukuran Apa ukurannya bahwa tindakan kita menyejahterakan rakyat dalam jangka panjang? Apakah perusakan sumber-sumber daya alam dan sumber-sumber daya ekonomi itu bagian darı proses penyejahteraan atau justru proses penurunan kesejahteraan rakyat? Ini satu hal yang sangat menarik, karena akan menyangkut dimensi yang sangat luas.

Misalnya, kalau kita baca sebuah skripsi dari ITB di bidang kimia mengenai penggunaan pupuk, menunjukkan bahwa untuk menanam bibit unggul (baca: bibit padi PB dan IR) diperlukan pupuk kimia. Tetapi ternyata, kalau dibuat indeks (misalnya dengan indeks 100), dengan adanya bibit unggul, maka dalam 25 tahun terakhir pada mulanya memang ada peningkatan indeks penghasilan, yaitu menjadi 106. Tetapi karena keharusan untuk menggunakan pestisida terus-menerus, maka biaya bertanı menjadi lebih mahal Jika dihitung total dalam jangka 25 tahun, ternyata indeks itu justru tidak menjadi 100 Bahkan indeks penghasilan rata-rata petani justru menurun menjadi hanya 93. Artinya, kalau cara menanam padi dengan cara tradisional bisa mencapai hasil 100%. Tetapi sekarang justru hanyalah 93%. Jadi, penggunaan bibit unggul dengan konsekuensi penggunaan pupuk yang banyak itu ternyata tidak efektif sama sekali. Oleh karena itu harus dicari cara lain yang berbeda untuk memelihara hasil pertanian yang tinggi tanpa ada beban-beban ekonomi yang menurunkan tingkat perolehan petani. Di sini kita ditantang untuk membuat ukuran-ukuran.

Agamawan tidak bisa hanya memakai ukuran-ukuran filosofis atau normatif, melainkan juga harus memakai ukuran-ukuran yang konkret dari dunia pertanian, dunia kimia, dan dunia lainnya. Ukuran-ukuran yang dibuat oleh Pak Sajogjo misalnya, mestinya juga diperhitungkan. Jadi, di sini kita melihat, agamawan tidak bisa melepaskan diri dari keharusan untuk melihat permasalahan secara multidisipliner. Inilah kesimpulan kita yang pertama. Hanya dengan pendekatan multidisiplinerlah seorang agamawan baru dapat mengetahui secara tuntas apakah seluruh proses pembangunan yang menggunakan hutang luar negeri itu bermanfaat atau justru menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat. Ini yang harus diketahui dalam jangka panjang. Kalau sudah kita ketahui, maka baru kita dapat memberikan penilaian. Kalau yang terjadi adalah proses penurunan kesejahteraan dalam jangka panjang, maka hutang luar negeri tidak layak dari sudut pandangan etika yang berlandaskan keimanan.

Dari sinilah kita baru bisa berangkat kepada penilaian umum terhadap moralitas dari proses hutang-hutang luar negeri. Itu pun, dalam menilainya kita masih harus memperhitungkan ukuran-ukuran lainnya. Misalnya, dengan menggunakan ukuran ekonomis, kita bisa memperhitungkan adanya peningkatan kesejahteraan rakyat dari proses pertumbuhan atau kegiatan ekonomi yang menggunakan hutang luar negeri. Tetapi apakah mungkin secara politis? Di sini kita melihat bahwa dimensi politik, dimensi ekonomi, dimensi security (keamanan) juga merupakan bagian-bagian yang harus disentuh oleh moralitas, bila seorang agamawan melihat proses hutang luar negeri.

Masalah ini tidak bisa dilihat dengan cara hitam-putih begitu saja, melainkan lebih banyak menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat jangka panjang. Terutama, menurut saya, ukuran itu sebetulnya simple. Sebagai seorang muslim, saya tentu melihatnya dari agama saya. Para nabi dalam pandangan Islam, missinya hanya satu membawa perbaikan. “Kami ini adalah orang-orang yang membawa perbaikan (Innama nahnu mushlihhuun).” Semua itu bisa berupa inovasi, penyempurnaan dan sebagainya, yang terpenting adalah perbaikan, perbaikan dalam tata kehidupan kita. Nah, apakah hutang-hutang luar negeri ini membawa perbaikan atau justru sebaliknya? Inilah yang harus kita ukur. Cara mengukurnya adalah dengan tingkat kesejahteraan rakyat, dan di situ kita menggunakan ukuran-ukuran ekonomis, politis dan sebagainya.

Mengenai membawa perbaikan memang sesuatu yang sangat umum dan relatif sifatnya. Karenanya secara moral perlu kejujuran, kejujuran sikap dan kejujuran pandangan. Seorang agamawan bisa melakukan refleksi bila betul-betul jujur. Dengan kejujuran itu dia bisa menetapkan apakah hutang luar negeri itu sungguh-sungguh membawa perbaikan atau justru membawa kerusakan. Ada konsep ishlah (perbaikan) dan konsep fasad (perusakan) kehidupan dalam Islam. Menurut saya, konsep mashlahah (kesejahteraan atau perbaikan hidup) ini sesuatu yang sentral dalam pandangan Islam. Karena, “Tindakan dan kebijakan seorang pemimpim terhadap rakyatnya harus terkait dengan kesejahteraan dan kebaikan kehidupan rakyat yang mereka pimpin (tasarruf al-imam ala arro’iyah manuutun bi al-mashlahah)”. Dalam hal ini, agamawan juga termasuk pemimpin.

Dari sudut inilah saya melihat masalah hutang luar negeri. Dan saya tidak bisa mengatakan bahwa hutang luar negeri itu baik atau buruk, atau sekaligus. Tetapi kecenderungan saya, kalau kita sekarang merenungkannya, jelas bahwa hutang luar negeri kita sebetulnya banyak sekali yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Karenanya, secara moral tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mengapa? Karena proyek-proyek yang dibiayai dengan hutang itu masih dubious.

Ambil contoh, hutang luar negeri kita sekarang ini banyak yang digunakan untuk membiayai jalan tol di Jakarta, dan bukan di seluruh Indonesia. Kalau ukurannya adalah jumlah penduduk, maka ibukota (Jakarta) memang kota metropolitan. Untuk sebuah kota metropolitan yang jumlah penduduknya jutaan jiwa, maka tidak dapat bersandar hanya pada transportasi kendaraan bermotor, Tetapi harus dengan kereta bawah tanah. Atau, kalau pun berupa kendaraan bermotor, maka harus berupa transportasi publik, yaitu bus. Padahal, kita memecahkan masalah di Jakarta itu dengan menambah jalan terus menerus. Akibatnya, ini justru menjadi insentif untuk membeli mobil. Maka hal itu melahirkan eskalasi keruwetan transportasi, karena policy-nya dari awal memang sudah salah.

Maka dalam pandangan seorang agamawan, keputusan untuk mengambil hutang luar negeri guna membangun jalan tol di Jakarta, jelas suatu keputusan yang secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan. Lebih baik melakukan hutang lebih banyak, Tetapi untuk membuat kereta api bawah tanah yang bisa menjamin sekali berhutang, sesudah itu tidak berhutang lagi. Tetapi justru jalan tol terus-menerus dibangun. Belum lagi kita melihat bahwa jalan tol itu dimiliki oleh swasta. Maka profit motive-nya sangat tinggi. Pada kenyatannya sesuatu yang sebenarnya tidak perlu, seperti jalan tol, justru terus menerus dibangun. Padahal siapa yang menikmati jalan tol itu? Banyak sekali hal-hal yang tidak perlu yang dibiayai dengan hutang luar negeri. Sebagai seorang agamawan yang melihat realitas kehidupan ini, hutang-hutang luar negeri kita sebagian besar sebenarnya tidak layak.

Tadi kita sudah melihat masalah penggunaan pestisida dan pupuk. Hal ini cukup jelas. Dari sudut kimia, kalau kita masih terus menerus berhutang luar negeri untuk pembuatan pabrik-pabrik pupuk, pestisida, dan sebagainya, sementara hasil-hasil kajian yang ada justru menunjukkan sebaliknya, maka secara moral hal ini tidak bisa dipertanggungjawabkan Belum kalau diingat bahwa kemungkinan kebocoran hutang luar negeri itu sangat besar

Ada seorang ekonom yang secara pribadi membuat perhitungan tentang hal ini, Tetapi tidak bisa dipublikasikan. Karena kalau dipublikasikan, maka dia akan kehilangan pekerjaan. Dia memberitahu saya, bahwa menurut perhitungan matematisnya, hutang luar negeri kita ternyata 30% kembali lagi ke luar negeri. Jadi, hutang-hutang yang besar itu tidak dihabiskan untuk pembangunan di dalam negeri, melainkan lari kembali ke luar, dan nantinya akan kembali dalam bentuk penanaman modal dari luar atau investasi asing. Dengan kata lain, 30% dari hutang luar negeri kita adalah fiktif. Kalau yang fiktif ini dianggap kebocoran, maka menjadi jelas alangkah tidak bermoralnya kebiasaan atau kecenderungan berhutang luar negeri yang membuat kita tergantung kepada pihak lain, dan ketergantungan itu harus dibayar mahal dengan dua hal.

Pertama, yang tensible (segera tampak) saja, ongkos produksi yang merendahkan martabat para pekerja kita yang sudah sama dengan kuda beban. Artinya, mereka cukup hanya diberi makanan rumput, dedak, dengan sedikit gula tetes. Pekerja kita sama dengan kuda beban itu. Mereka diberi sedikit di atas rumput. Kedua, pengurasan sumber-sumber alam tanpa mengingat bahaya di kemudian hari bagi kehidupan kita di bumi.

Dua hal ini saja sudah merupakan kompensasi yang sangat jelek bagi kita. Karena itu, selaku seorang agamawan saya memandang bahwa hendaknya kita segera mengerem kecenderungan untuk berhutang luar negeri secara besar-besaran. Karena, kalau dilihat dari sudut moralitas agama, jelas hal-hal itu tidak tepat, tidak benar dilakukan.

Belum lagi kita bicara dari sudut hal yang paling penting, menurut saya, yaitu dari penciptaan orientasi kehidupan kita. Kehidupan kita hendaknya diorientasikan kepada kesanggupan memikul beban kehidupan itu sendiri. Kita jangan memikul beban yang kita tidak mampu. Kalau kemampuan kita memang baru menciptakan income (penghasilan) rata-rata per penduduk sekitar US$650 per tahun (sekitar Rp 100.000,- per bulan per orang), itulah yang harus dilakukan dulu. Kalau range pendapatan dari petani belum sampai sekian, mestinya yang lainnya jangan terlalu jauh di atas itu.

Padahal, yang dikatakan kelas menengah kita sebetulnya belum ada. Ini hebatnya kita. Kelasnya belum ada, gaya hidupnya sudah ada. Mereka, yang disebut bergaya hidup kelas menengah, kebutuhannya tidak cukup Rp5 juta per bulan. Dari sudut penciptaan solidaritas sosial yang kokoh bagi kemajuan bangsa di masa yang akan datang, kesenjangan sosial semacam ini tidak bisa dibiarkan. Karenanya, hutang-hutang luar negeri yang hanya menambah lebarnya jurang pemisah di antara kita juga merupakan suatu hal yang harus kita pertanyakan keabsahannya. Apakah kita boleh melakukan hutang luar negeri, kalau ia justru menimbulkan kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin besar? Inilah refleksi dari saya. Terima kasih.