Kembali ke 2 Bunga Rampai

Menakar “Harga” Perempuan

2 Bunga Rampai
Menakar “Harga” Perempuan
Judul
Menakar “Harga” Perempuan
Editor (Penyunting)
Syafiq Hasyim
Penerbit
Mizan, P3M dan The Ford Foundation, Bandung, April 1999 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Isi Buku

 

Catatan Penyunting

  • Oleh: Syafiq Hasyim

 

Prolog

  • Mencoba Mencari Titik Temu Islam dan Hak Reproduksi Perempuan
    Oleh: Lies Mercoes-Natsir

 

Bagian Pertama

  1. Perempuan di Mesir: Perspektif Budaya dan Agama
    • Oleh: Nelly van Doorn Harder
  2. Islam dan Hak-Hak Perempuan: Perspektif Asia
    • Oleh: Askiah Adam

Dialog

 

Bagian Kedua

  1. Perempuan dalam Peta Hukum Negara di Indonesia
    • Oleh: Nursyahbanu Katjasungkana
  2. Perempuan dalam Budaya: Dominasi Simbolis dan Aktual Kaum Lelaki
    • Oleh: Mohamad Sobary, M.A.

Dialog

 

Bagian Ketiga

  1. Islam dan Hak Reproduksi Perempuan: Perspektif Fiqih
    • Oleh: K.H. Sahal Mahfudz
  2. Islam dan Hak Reproduksi Perempuan: Perspektif Etika
    • Oleh: Amal Abdul Hadi

Dialog

 

Bagian Keempat

  1. Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus
    • Oleh: Indraswari
  2. Refleksi Teologis Perkawinan dalam Islam
    • Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid 

Dialog

 

Bagian Kelima

  1. Kekerasan dalam Rumah Tangga: Sebuah Kejahatan yang Tersembunyi
    • Oleh: Elli N. Hasbianto
  2. Refleksi Teologis tentang Kekerasan terhadap Perempuan
    • Oleh: Husein Muhammad

Dialog

 

Bagian Keenam

  1. Potensi Perubahan Relasi Gender di Lingkungan Umat Islam: Sebuah Proyeksi dan Pemaparan Data
    • Oleh: Andree Feilard
  2. Potensi Perubahan Relasi Gender di Lingkungan Umat Islam: Sebuah Pengalaman
    • Oleh: Masdar F. Mas’udi

Dialog

 

Epilog

  • Islam dan Hak Reproduksi Perempuan di Indonesia: Sebuah Rangkuman
    Oleh: M.M. Billah

 

Catatan-Catatan

Kepustakaan

Indeks

 

Sinopsis

Meski ada sebagian komunitas yang membicarakan isu perempuan pada masa Orde Baru, namun peran perempuan pada saat itu direduksi ke dalam ukuran domestik, melalui organisasi PKK dan Dharma Wanita. Saat era reformasi tiba, semua berubah, seperti di mana buku ini terbit. Isu perempuan makin menguat dibicarakan di ruang-ruang publik hingga lahir banyak buku tentang islam, perempuan, dan gender.

 

Faktor lain mengapa isu perempuan makin menguat, tak lain karena sistem sosial yang tidak ramah perempuan, seperti masih marak terjadinya perkawinan anak, kekerasan terhadap perempuan (KDRT maupun kejahatan seksual), hak reproduksi, representasi politik, dan lainnya. Gaungnya makin kuat dengan kehadiran Komnas Perempuan pada tahun 98, yang menandai era baru advokasi perempuan.

 

Di antara banyak kasus yang terjadi, buku ini tengah mengangkat kasus mengapa angka kematian ibu saat melahirkan masih tertinggi di Indonesia dibanding negara-negara di Asia Tenggara lainnya, mengapa kasus aborsi akibat kehamilan tidak diinginkan masih tinggi, mengapa praktik nikah muda atau di bawah umur sulit dibendung, dan mengapa perempuan cenderung diam—atau sengaja membisukan diri—atas kasus KDRT yang menimpanya.

 

Buku ini mencoba membahasnya dari sisi sistem politik, ekonomi, nilai-nilai, etika, dan agama. Berbeda dari perspektif biasanya yang memandang reproduksi dari sisi medis an sich. Harapannya agar kasus demi kasus dapat dipecahkan secara menyeluruh, dengan melihat pelbagai perspektif.

 

Menakar ‘harga’ perempuan sebagai simbolisasi seberapa jauh kita speak up terhadap isu ini: membicarakan hak reproduksi, laki-laki atau suami memiliki kesadaran keadilan gender, bisa bekerja sama dalam urusan domestik, bertanggung jawab menjadi suami siap antar jaga saat proses kehamilan dan melahirkan, yang intinya bisa berbagi peran untuk perempuan lebih berdaya.

 

Buku ditulis oleh para pakar yang memiliki concern pada isu-isu perempuan, seperti Lies Marcoes, Kiai Husein Muhammad, Indraswari, hingga Gus Dur. Dalam tulisannya, Gus Dur mengawali dengan mengkritik penelitian yang dilakukan oleh Indraswari, yang mana tidak cukup menangkap kesedihan dalam melihat kasus kawin muda, yang dilihat hanya faktor usianya. Tetapi harus memandang lebih jauh lagi seberapa besar usia perkawinan itu. Gus Dur mencontohkan kasus Nabi Saw menikahi Aisyah saat usianya masih 9 tahun.

 

Lebih jauh, Gus Dur memotret nikah muda tidak hanya sebatas faktor sosial budaya, yang dianggap wajar masyarakat, tetapi bagian dari proses patronase sosial ekonomi dan sosial politik. Sehingga pernikahan hanya dipandang sebatas akad, bukan sebagai proses menuju kehidupan.

 

Selanjutnya, agama harus mampu mendorong kemaslahatan, menghindarkan praktik-praktik yang melegalkan kemadharatan. Dampak dari nikah muda adalah kian longgarnya nilai-nilai, dengan begitu akan membentuk masyarakat yang permisif, masyarakat yang melakukan pembenaran terhadap hal-hal yang dilarang agama.