Refleksi Teologis Perkawinan dalam Islam

Sumber Foto: https://says.com/my/seismik/fasa-sebelum-menikah

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Hasil penelitian tentang kawin muda dan aborsi yang dilakukan Indraswari et al., cukup menarik untuk dikomentari dengan satu pernyataan bahwa penelitian ini sangat dini karena hanya menangkap potret sesaat dari perempuan-perempuan yang kawin di usia muda, yang ketika diwawancarai tampaknya juga masih muda. Dalam penelitian itu mestinya juga diwawancarai perempuan yang kawin muda, namun diwawancarai dalam usia yang sudah dewasa. Seandainya itu dilakukan, maka hasilnya akan bisa terbagi menjadi dua. Pertama, mereka yang tetap pada perkawinannya. Kedua, mereka yang berakhir dengan perceraian. Kalau berakhir pada perceraian, juga akan diketahui pada usia berapa berapa perceraian itu terjadi. Kalau misalnya perkawinan belia itu ternyata hanya bisa bertahan kurang dari tiga tahun, maka itu boleh dikatakan sangat parah dan perlu dihindari. Untuk itu, menurut saya, penelitian itu perlu ditingkatkan dan dilanjutkan secara lebih mendalam.

Jika penelitian tersebut berhenti hingga di sini, maka gambaran yang ada sekarang saya kira tidak bisa berbicara banyak hal. Paling-paling hanya berbicara tentang potret sedih mereka yang kawin muda, tak ada lebihnya. Misalnya dikaitkan dengan perkawinan Nabi dengan Aisyah, kalau hanya dilihat bahwa Nabi mengawini Aisyah di usia 9 tahun, maka yang ada seakan memang hanya potret sedih. Akan tetapi, ketika dilihat lebih jauh, yakni setelah sekian tahun perkawinan itu berjalan, maka yang hadir adalah potret yang menggembirakan. Karena belakangan Aisyah menjadi pemimpin, pintar, menjadi jagoan.

Kawin dan Patronase Sosial Ekonomi

Dilihat dari spektrumnya, terjadinya kawin muda itu disebabkan oleh pelbagai persoalan yang sangat luas. Sebagai Ketua NU, saya sering ditawari untuk kawin lagi dengan anak-anak yang masih muda. Menanggapi semua itu, saya hanya bisa tertawa sambil menyadari bahwa budaya yang berkembang memang masih seperti itu.

Kalau dikatakan bahwa ada faktor sosial-budaya dalam praktik kawin muda, menurut saya justru lebih dari itu. Kalau kita lihat, kawin muda juga merupakan bagian dari proses patronase sosial-ekonomi dan sosial-politik. Misalnya, di kalangan para pejabat atau mereka yang memiliki uang dan kedudukan tinggi secara sosial dan ekonomi sekarang hampir semuanya mempunyai istri simpanan yang muda dan cantik.

Ada kepincangan dalam pola perkawinan yang terjadi sekarang, yaitu lelakinya sudah tua, sedangkan perempuannya masih muda. Meski hal ini dulu juga terjadi, ada perbedaan. Pada masa dulu, meski usianya berbeda jauh, perkawinan tetap dipahami sebagai proses menuju kehidupan (for life) bukan untuk sementara. Bapak dan ibu saya, sebagai misal, melakukan perkawinan dengan keterpautan usia sekitar 10 tahun, tetapi tidak masalah karena dipahami untuk selamanya. Sekarang, cara pandang demikian tampaknya sudah tidak lagi terjadi. Sekarang, perkawinan muda menjadi bagian dari proses menciptakan ikatan sosial-ekonomi dan sosial-politik.

Akibat dari proses patronase sosial ekonomi di atas, sendi perkawinan sekarang menjadi tidak kukuh. Mengapa demikian? Karena model perkawinan demikian hanya didasarkan kepada kepentingan sosial ekonomi. Ketika kepentingan telah terpenuhi, maka terjadilah kemunduran. Tidak ada lagi usaha yang sungguh-sungguh untuk memelihara perkawinan. Dampak dari hal ini adalah tingkat angka perceraian sangat tinggi. Hal ini misalnya terjadi di daerah Karawang, Subang, dan Indramayu. Di daerah-daerah ini, ada kesan bahwa kalau belum janda, perempuan justru tidak menarik. Oleh karena itu, perempuan lalu dinikahkan di usia muda agar bisa menjadi janda di usia yang pas. Kalau ada perempuan yang belum kawin hingga usia 20-an, justru akan sulit mendapat jodoh karena dianggap pasti ada apa-apa.

Akan tetapi, kalau di kalangan keluarga para pemuka, memang tidak ada masalah. Masyarakat akan paham bahwa kelompok pemuka ini memang sengaja menahan anaknya untuk tidak kawin muda. Kalau itu dilakukan oleh kelompok masyarakat awam, justru dianggap aneh dan diduga ada yang tidak beres. Oleh karena itu, di beberapa daerah, kawin muda dianggap biasa dan sangat umum terjadi.

Pada sisi lain, kawin muda dengan pola di atas juga mengakibatkan semakin kuatnya konsentrasi sumber daya ekonomi pada kelompok yang berpunya, dan yang tidak berpunya menjadi semakin lemah. Orang yang memiliki basis sosial-ekonomi kuat dengan sendirinya akan mencari pasangan hidup yang setaraf dan sederajat. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki basis sosial ekonomi kuat akan mencari pasangan yang sama-sama tidak kuat. Hal ini sangat penting kita ingat, yakni bahwa faktor sosial-ekonomi dan sosial-budaya saling menopang. Dengan kata lain, perkawinan usia muda malah memperluas jalur kemiskinan.

Agama sebagai Pembenar

Dalam kasus kawin muda, peranan agama menjadi dasar pembenaran. Pertama, dalam agama tidak dikenal batas umur perkawinan. Pokoknya begitu seseorang tamyiz (pintar), maka sudah diperbolehkan kawin. Oleh masyarakat yang kecenderungan fiqih atau legalistiknya sangat kuat, hal ini yang menjadi patokan Karena NU itu berfiqih ria, maka praktik ini menguat di basis-basis masyarakat NU. Oleh karena itu, hal ini harus diperhatikan dalam-dalam karena pengukuhan fiqih secara formalistik ternyata mengakibatkan pengorbanan kelompok masyarakat lemah, khususnya perempuan. Kalau hal ini dibiarkan, berarti fiqih terlibat dalam proses penganiayaan terhadap suatu sektor masyarakat yang memang sangat lemah.

Sisi fiqih ini, menurut hemat saya, yang perlu dibenahi. Bukan fiqih yang diubah, tetapi pengertian penerapan yang harus dipertimbangkan. Fiqih itu hukum. Dan hukum bergantung pada bagaimana melaksanakannya. Hukum tidak harus dilaksanakan begitu saja. Hukum merupakan perangkat yang akan menjamin tercapainya suatu sasaran. Dan sasaran itu sudah ada dalam pengertian agama, yaitu demi kemaslahatan rakyat (maslahah al-ra’iyyah).. Kalau kita berani menarik ke sini, maka tanggung jawabnya bukan lagi orang per seorang warga masyarakat, melainkan menjadi tanggung jawab kelompok. Berarti juga tanggung jawab pimpinan, termasuk pimpinan agama. Sedangkan mengenai peranan dan tugas seorang pemimpin dalam fiqih dikenal kaidah tasharruf al-imâm manûthun bil maslahah, kebijakan imam harus disesuaikan dengan kebutuhan rakyatnya.

Karena pemimpin harus selalu memperhitungkan kesejahteraan rakyat, maka dalam hal ini juga harus memperhitungkan perempuan-perempuan muda yang merupakan bagian dari masyarakat. Persoalannya, beranikah kita mengaitkan persoalan ke kaidah yang sangat umum ini?

Sisi kedua yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa pada proses terjadinya pemiskinan itu terjadi pula proses kerenggangan sosial karena lapisan yang mapan mencoba mengambil keuntungan optimal dari lapisan masyarakat yang menderita. Proses ini mengakibatkan kelonggaran, dalam arti tidak adanya rasa tanggung jawab membela yang lemah. Jadi, hubungan itu hanya kontraktual semata. Atau sekadar mengikuti anjuran agama, yaitu akad nikah.

Padahal, perkawinan diperintahkan agama bukan sekadar akad nikah, melainkan memiliki dimensi-dimensi yang jauh ke belakang. Dalam nasihat perkawinan, saya selalu bilang bahwa ada dua dimensi yang tidak boleh hilang dalam perkawinan, yaitu dimensi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Harus ada ikatan kasih sayang dan ikatan sosial yang kukuh. Rahmah di sini bukannya kesejahteraan, melainkan pengikat. Lalu yang kedua dimensi fisis, termasuk biologis. Dimensi fisis ini misalnya menyangkut reproduksi atau pengembangan keturunan.

Oleh karena itu, kita harus melihat fiqih dengan cara pandang yang utuh, tidak parsial. Kalau tidak, maka akan lahir lingkaran setan, yang fiqih hanya dipakai sebagai alat pembenaran. Dengan demikian berarti fiqih diperalat. Padahal maksudnya fiqih adalah sebagai hukum. Sedangkan hukum, selalu harus bermaksud mengatur, bukan diatur untuk kepentingan tertentu. Harus dilihat apa tujuan semula dari hukum itu. Dalam kaidah fiqih disebutkan al-umúr bi maqâshidihâ, setiap melakukan pekerjaan harus ada tujuannya.

Jadi, kita melihat adanya ketidaklengkapan dalam memahami peranan agama di dalam masalah usia perkawinan muda. Kecenderungan seperti ini terjadi di banyak tempat. Karenanya, fiqih dijadikan legitimasi pembenaran berbagai tindakan sosial-budaya yang sebenarnya salah.

Longgarnya Nilai-Nilai

Sisi berikutnya yang harus kita pahami juga adalah bahwa dampak dari kawin usia muda adalah kian longgarnya nilai-nilai. Bukan ikatan sosial saja yang longgar. Dengan longgarnya nilai-nilai, berarti kita mengarah pada bentuk masyarakat yang permisit. Salah satu bentuk masyarakat permisif adalah adanya pembenaran terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh agama. Orang yang mengalami cerai, bisa mudah melakukan hal-hal yang dilarang agama. Mengapa? Karena posisi sosial-ekonomis mereka rendah. Misalnya saja, ada seorang perawan yang dikawini oleh orang kaya. Lalu ia dicerai. Setelah cerai, tentu ia akan mengalami kesulitan. Kalaupun ia mendapat suami lagi, biasanya dari kelas ekonomi yang tidak setinggi suaminya pertama.

Jadi, menurut saya, kawin muda –khususnya yang membawa perceraian– membuat longgarnya nilai-nilai. Untung kalau bisa kawin lagi. Kalau tidak, tentu lebih gawat lagi karena orang yang sudah kenal dengan aktivitas seksual, tentu akan terus membutuhkan itu. Ada lelucon Sunda: seorang gadis ditanya dalam bahasa Sunda yang artinya begini, “Kenapa pakai kerudung?” Jawab si gadis, “Malu sama Allah.” Lalu si pemuda bertanya lagi, “Bagaimana kalau dicium?” Jawab si gadis, “Insya Allah.” Pola budaya seperti ini tampaknya sudah menjadi hal yang lumrah.

Jadi, inilah bentuk-bentuk pergeseran dari pola penerapan nilai sosial-budaya yang didukung oleh penerapan hukum agama yang legal-formalistis. Padahal hukum itu dibuat untuk membuat masyarakat agar tidak permisif. Akan tetapi, karena hukum agama diterapkan secara formalistis, maka menimbulkan dampak pada kondisi yang bisa merangsang sikap hidup permisif.

Pertanyaannya sekarang adalah, bisakah kita berpangku tangan melihat perkawinan usia muda berlangsung di masyarakat kita? Padahal kita sekarang ini belum masuk era globalisasi. Kalau sudah masuk era globalisasi, barangkali kawin kontrak akan banyak terjadi, khususnya dengan pekerja dari luar negeri. Kita tahu, kawin kontrak itu umumnya dilakukan seorang lelaki dengan perempuan muda. Di Lombok misalnya dikenal istilah yang katanya ada di Malaysia, yakni Jamal, yang berarti janda Malaysia karena ditinggal suaminya kerja di Indonesia dan kawin di Indonesia.