Kembali ke 2 Bunga Rampai

Mendidik Manusia Merdeka – Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun

2 Bunga Rampai
Mendidik Manusia Merdeka – Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun
Judul
Mendidik Manusia Merdeka – Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun
Editor (Penyunting)
Th. Sumartana, Ahmad Suaedy, Elga Sarapung, Banu Subagyo, Hairus Salim HS
Penerbit
Institut Dian/Interfidei, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Januari 1995 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Pengantar

Daftar Isi

 

Bagian I

Perjalanan Hidup Seorang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya

 

Bagian II

  1. Sastra-Kebudayaan
    • Kalau Bukan Romo, Mangun Mana yang Berulang Tahun
      Oleh: Arswendo Atmowiloto
    • YB. Mangunwijaya 65 Tahun 3 Mei 1994 Sumbangannya Lewat Karya Sastra bagi Kebudayaan Indonesia
      Oleh: Parakitri
    • Burung-burung Manyar Larasati
      Oleh: Toeti Heraty Noerhadi
    • Romans Mangun
      Oleh: Darmanto Jatman
    • Benang-benang Merah Pemikiran Mangunwijaya
      Oleh: Mudji Sutrisno
  2. Arsitektur
    • Paradoks Romo Mangun, Arsitek-Humanis dan Tempatnya di dalam Transformasi Mental Manusia Indonesia
      Oleh: Darwis Khudori
    • Penghayatan dan Tindakan: Suatu Renungan Terhadap Karya Arsitektur Mangunwijaya
      Oleh: Gunawan Tjahjono
    • Membangun Pemukiman dan Perumahan dengan Kelompok Masyarakat
      Oleh: Hasan Poerbo
    • Membangun
      Oleh: Yuswadi Saliya
    • YB. Mangunwijaya: Arsitek Wastu Citra
      Oleh: Andy Siswanto
  3. Pendidikan
    • Pendidikan Kerakyatan, Menyingkap Visi Romo YB. Mangunwijaya tentang Ortodoksi dan Ortropraksi Pendidikan di Indonesia
      Oleh: Frans M Parera
    • Kemitraan: Wujud Kesetaraan dalam Keluarga
      Oleh: Melly G. Tan
    • Beberapa Pemikiran Rokeach tentang Keyakinan, Sikap dan Nilai
      Oleh: A. Supratiknya
  4. Teologi-Filsafat
  5. Sosial-Politik
    • Romo Mangun dan Masyarakat Ketakutan
      Oleh: Arief Budiman
    • Sekali Lagi tentang Kedaulatan Rakyat
      Oleh: Adnan Buyung Nasution
    • Mendidik Manusia-Manusia Merdeka
      Oleh: Daniel Dhakidae

 

Bagian III

Dokumentasi Karya-karya Y.B. Mangunwijaya

 

Biodata Penulis

Indeks

Sinopsis

Latar belakang buku ini semula adalah bincang-bincang bersama dalam rangka syukuran 65 tahun Romo Mangun, yang jatuh pada 6 Mei 1994. Yang dihadiri oleh banyak sahabat sekaligus ‘pengkritik’ Romo Mangun. Arswendo Atmowiloto, Toeti Heraty Noerhadi, Darwis Khudori, Melly G. Tan, hingga Gus Dur. Dalam perbincangan hangat itu lalu diusulkan untuk diterbitkan menjadi sebuah buku supaya dapat dinikmati dan menjadi kekayaan masyarakat.

 

Perbincangan para tokoh dalam buku ini dipetakan menjadi lima bagian, yang selama ini menjadi garis perjuangan Romo Mangun. Sastra-kebudayaan, arsitektur, pendidikan, teologi-filsafat, dan sosial-politik. Banyaknya bidang yang disentuh oleh Romo Mangun—sebagai generalis—menunjukkan pengabdian beliau begitu luas walaupun dalam cengkeraman rezim Orde Baru. Ia selalu mencoba mencari jalan keluar atas segala problem yang dihadapi. Wajar jika buku ini diberi judul: Mendidik Manusia Merdeka.

 

Merdeka di sini ialah bagaimana membebaskan manusia dari segala bentuk eksploitasi dan menempatkan manusia sebagai manusia yang seutuhnya. Sebagaimana cita-cita Romo Mangun yang ingin duduk di kursi sebagai warga umat manusia, menjadi milik semua umat manusia. Ikut merasakan derita yang dialami liyan, ikut bahagia melihat kebahagiaan sesama.

 

Hal ini bisa dilihat dari karya-karyanya yang selalu berpihak pada kaum papa dan mengkritik sejarah feodalisme yang merendahkan sesama. Dalam arsitekturnya, beliau selalu menggambarkan keindahan alam dan tradisi-tradisi lokal. Pesannya adalah supaya manusia dekat dengan alam dan tidak ada ikatan yang membedakan antara kaya-miskin, semua sama sebagai umat manusia.

 

Dalam pendidikan, beliau memberikan pengajaran yang berpola pada penyadaran politik. Pendidikan yang membuat orang-orang merdeka terhadap cita-cita dan passion masing-masing. Di antara bukti, bukan sekadar teori, adalah advokasinya untuk membela kepentingan rakyat bantaran Kali Code dan Kedungombo, pendampingan terhadap masyarakat Grigak Gunungkidul, dan lainnya untuk kepentingan rakyat.

 

Kepribadian ini yang layak untuk dijadikan cermin bersama oleh para generasi penerusnya. Berjuang untuk kemanusiaan tanpa tapal batas dan tak pernah berakhir. Romo Mangun seperti manusia biasa pada umumnya, ia memiliki kekurangan dan rasa takut. Namun pandangan hidupnya yang transenden, tidak berhenti pada perilaku formal, segala aktivitasnya benar-benar diwakafkan untuk pengabdian, ketuhanan, kemanusiaan, dan keseimbangan alam, yang menjadikan ia berbeda.

 

Gus Dur sendiri mengakui. Dalam buku ini, Gus Dur menceritakan pengalaman hidupnya saat bersama Romo Mangun, dan di saat membaca tulisan-tulisan beliau. Segala tindakannya berdasarkan hati nurani atau sikap bathiniyyah. Ia lebih menekankan kejujuran moral dalam setiap tindakan dibanding sekadar mengikuti formalitas belaka. Laku hidupnya adalah gambaran kitab suci, di tengah banyak kaum agamawan yang dengan mudah mengutip ayat-ayat suci namun perilakunya tidak mencerminkan dari isi ayat yang sering dikutipnya.