Romo Mangunwijaya dan Moral Absolut

Sumber foto: https://www.katolikana.com/2020/10/21/romo-mangun-tidak-mengkristenkan-kampung-code/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

PEMBICARAN tentang Romo Mangun di sini tidak hanya saya ambil secara acak dari bacaan terhadap tulisan-tulisannya, tetapi juga akan saya ambil dari pengalaman saya bergaul dan berteman dengannya selama ini. Saya akan menggambarkan Romo Mangun dari apa yang saya pahami, baik dari statemen-statemen dalam tulism-tulisannya, maupun juga —terutama sekali— dari sikap-sikap dan pendirian-pendirian yang ditunjukkannya selama ini. Sikap-sikap dan pendirian-pendirian itu ada yang dinyatakan secara terbuka dan eksplisit melalui tulisan dan lain sebagainya tetapi ada juga hanya terlihat dari cara-cara hidup dan cara-caranya mensikapi sesuatu dengan tindakan kongkrit.

Inti dari pandangan-pandangan Romo Mangun, saya rasa, adalah bahwa tindakan-tindakannya ditentukan oleh hati nurani dan oleh sikap kejiwaannya. Romo Mangun tampil secara utuh sebagai orang yang menentang feodalisme, termasuk di dalamnya feodalisme Gereja. Posisinya sama dengan saya, yang –sebagai orang Islam– menentang ‘feodalisme Masjid’. Jadi penentangan terhadap feodalisme mestilah dimulai dari penentangan terhadap feodalisme agama itu sendiri. Memang, secara eksplisit ungkapan Romo Mangun dalam masalah ini sangat sedikit, namun hal itu dapat dilihat dari sikapnya sehari-hari. Suatu sikap yang secara independen mengambil jarak dari pengumuman-pengumunan resmi lembaga agama dan juga mengambil jarak dari Kitab Suci.

Banyak para agamawan yang senang mengutip ayat Kitab Suci secara serampangan, asal akur dan dicocok-cocokkan saja, kendati ayat itu tidak mencerminkan hidup dan sikapnya sendiri. Dalam Islam misalnya, ada sementara pemimpin agama yang senang mengutip ayat Al-Qur’an tetapi tindakannya bertentangan dengan Al-Qur’an itu sendiri. Hal ini memperlihatkan adanya kecenderungan untuk mengimbangi ekstrimitas hawa nafsu di satu Sisi dengan cara mencari pengakuan keagamaan. Ini adalah sikap hidup yang inkonsisten. Romo Mangun menentang inkonsistensi ini. Yang penting dari sikap konsisten ini adalah sikap dan tindakan keagamaan yang tidak hanya mengambil dari pengumuman-pengumuman resmi saja. Pada hal sikap keagamaan yang dengan diikuti dengan sikap konsisten itu pun sudah penuh kerumitan.

Ada sebuah kasus yang menunjukkan betapa rumitnya sikap konsisten seperti ini. Alkisah ada seorang kiai di sebuah kecamatan di Jawa Timur yang diminta oleh Camat di daerahnya untuk secara rutin memberikan bimbingan keagamaan kepada para WTS (Wanita Tuna Susila). Meskipun setiap Minggu bertemu dengan para WTS untuk memberikan bimbingan rohani, tetapi kiai itu tetap konsisten. la tidak pernah berbuat sesuatu yang melanggar tata susila bahkan bersalaman dan melirik WTS-WTS pun ia tidak mau. Tetapi suatu sore menjelang maghrib, saat para WTS itu sedang menunggu langganannya di depan warung-warung, sang kiai lewat di depan WTS-WTS itu. Sebagai orang yang ingin menunjukkan rasa hormat dan terima kasih kepada seorang kiai, WTS itu bilang kepada kiai yang sedang lewat: “Pak kiai monggo pinarak (Pak kiai mari mampir).” Kasus itu menunjukkan betapa rumitnya orang beragama yang ingin bersikap konsisten sekalipun.

Jadi, dengan membawakan agama dalam bentuknya yang formal kita bisa terjebak kepada kerumitan-kerumitan dan kompleksitas yang sangat tinggi. Dan inilah yang oleh Romo Mangun coba ditembus. Karena memang sangat sulit menjadi orang beragama, padahal menjadi orang yang baik secara konsisten saja sudah berarti menjadi orang beragama yang baik. Sikap seperti inilah yang bagi saya sangat mengesankan dari Romo Mangun: suatu teologia yang paling kongkrit dari Romo Mangun. Bahwa beriman itu adalah suatu sikap hidup yang harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang tidak hanya mencerminkan ajaran formal agama tetapi suatu yang mencerminkan tujuan-tujuan baik dari agama. Tujuan-tujuan mulia dari beriman itu sendiri yang menentukan kadar keagamaan kita, bukannya sikap-sikap formal di dalam beriman dan beragama.

Karena itu, bagi saya, wajar saja kalau Romo Mangun merasa perlu sumbang saran kepada orang Islam, karena sikap beriman dan beragama di sini sudah menjadi sesuatu yang utuh, sudah melintasi batas-batas dan sekat-sekat kehidupan kita. Termasuk sekat-sekat agama itu sendiri sudah hilang. Sikap dasar demikianlah yang menurut saya mendasari atau menjiwai pandangan Romo Mangun yang tidak bisa menerima feodalisme. Inti dari feodalisme adalah pembedaan. Orang dibedakan satu dengan yang lain karena berbagai faktor. Teologia yang menentang pembedaan manusia inilah yang saya pandang sebagai sumbangan sangat berharga dari Romo Mangun kepada kehidupan kita sebagai bangsa.

Sebagai bekas serdadu, Romo Mangun tidak pernah melebih-lebihkan militer. Tapi sebaliknya sebagai orang sipil, Romo Mangun juga tidak selalu memojokkan militer. Kalau kita mendengar Romo Mangun menguraikan tentang militer dia tidak bermaksud memojokkan militer, biasa-biasa saja. Tetapi orang militer yang sering merasa terpojok dengan sendirinya.

Misalnya Romo Mangun pernah berbicara bahwa TNI (Tentara Nasional Indonesia) pernah tiba-tiba ambruk, yaitu ketika Belanda menyerbu Yogyakarta 19 Desember 1948. Semua perwira tinggi dan perwira menengahnya berganti baju: ada yang jadi pedagang, petani, kusir andong dan lain sebagainya. Yang ada adalah orang lati. Bahwa mereka kemudian di daerah perlawanan di desa-desa, di pucuk gunung, jauh dari musuh, membangun struktur baru, itu sudah merupakan bentukan baru bukan yang asli berasal dari rakyat dulu. Ini fakta penting.

Juga perangkat-perangkat untuk membedakan seseorang dari yang lain, apalagi membedakan dalam tatanan moral dan dalam cara hidup yang melapisi manusia, satu lebih baik dari yang lain secara etnis atau apapun, adalah bertentangan dengan keimanan kita. Masalah inilah yang saya lihat dibangun betul oleh Romo Mangun dengan sekian banyak karya-karyanya. Kalau kita mengenal masalah ini maka kita dapat melihat mengapa Romo Mangun, pada tahap berikutnya, selalu mengaitkan agama dengan praksis. Teologia tidak ada artinya dirumuskan muluk-muluk kalau tidak bisa dilihat dan dipraktekkan dalam kenyataan tindakan.

Teologia seperti inilah yang oleh Romo Mangun dibawa ke Kali Code, ke Kedung Ombo dan sekarang dibawa ke Mrican dengan pendidikan dasar (DED – Dinamika Edukasi Dasar). Praksis yang timbul dari kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang tidak feodalistik pada akhirnya merupakan taraf perkembangan yang wajar dan seharusnya.

Pada tahap ketiga, tidak perlu lagi ada ribut-ribut tentang kebenaran ideologis. Karena itulah dia tidak pemah mempersoalkan masalah ideologi. Bagi Romo Mangun, yang saya ikuti dan saya makmumi, tidak lagi peduli apakah ideologi itu dalam bentuk pandangan agama seperti kemapanan, keinginan mengadakan perubahan, keinginan membentuk struktur baru yang larinya kepada ideologi. Hal ini adalah sesuatu yang timbul dari terlalu banyaknya memberi tekanan kepada konsep-konsep yang sifatnya ideal. Konsep-konsep yang ideal itu akan menghasilkan ideologi yang berperang satu sama lain. Bahkan peperangan itu mengalami tahap-tahap pengembangan yang tambah lama tambah canggih. Akhimya manusia terjebak pada kerangka-kerangka ideologi dan tidak punya belas kasihan kepada manusia yang lain. Kalau Anda tidak cocok dengan ideologi saya maka Anda tidak manusia lagi di mata saya. Apalagi kalau ideologi itu adalah ideologi resmi, ideologi negara seperti yang sekarang lagi diberlakukan pada Pancasila, dijadikan piala yang digosok tiap hari dan ditaruh di atas almari. Orang yang tidak senang piala maka dianggap bukan manusia. Padahal soal senang dan tidak senang adalah perkara yang wajar-wajar saja. Namanya saja manusia. Dalam sebuah keluarga yang sudah meniti perkawinan 20 tahun pun bisa saja tiba-tiba tidak senart& apalagi hanya perkara piala dan ornamen. Ideologi, ketika dipertentangkan dan dikembangkan dalam konsep ideal akhirnya hanya menjadi ornamen bagi kehidupan. Alangkah sayangnya, bahwa ornamen itu kemudian mendorong atau memotivasi orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang buas yang tidak mengenal belas kasihan kepada manusia lain, yang sanggup memenjarakan, membunuh dan melenyapkan sejumlah besar manusia.

Ketika agama diideologikan, ketika politik diideologikan dan juga budaya diideologikan, yang muncul bukanlah struktur yang lebih baik melainkan korban-korban yang berserakan. Pesan teologis dari Romo Mangun dalam hal ini adalah marilah umat manusia kita jauhkan dari kemelut seperti itu. Bahwa ada komponen non-ideologis dari manusia yang harus kita gunakan untuk menjinakkan ideologi. Ini tidak berarti ideologi tidak ada gunanya. Ideologi penting. Apalagi ideologi kerakyatan. Tetapi jangan sampai ideologi ini dibiarkan lari sendiri, harus diimbangi dan dibatasi langkah-langkahnya oleh faktor-faktor kultural, psikologis, keagamaan dan lain sebagainya. Kunci semua ini ada pada ekspresi keimanan kita yang memuliakan manusia sehingga manusia tidak menjadi alat apa pun termasuk alat ideologi. Manusialah yang justru harus dilayani. Ini hal yang sangat fundamental. Ketika kita mencoba membentuk struktur-struktur makro dalam kehidupan kita cenderung mengabsolutkan konstruk-konstruk yang kita bikin, Bangunan-bangunan teori yang kita bikin, kita mutlakkan begitu rupa dan kita hadapkan pada konstruk orang lain. Yang terjadi lalu adalah perbenturan-perbenturan dan bukan proses saling belajar.

Padahal tanpa itu pun sebenarnya sudah terjadi perbenturan yang berlarut-larut. Memang ada yang bisa dihindari dan ada yang tidak usah dihindari. Kalau perbenturannya terjadi ketika kita ingin menegakkan keadilan karena itu kita harus mengambil sikap dan mengambil tindakan maka apa boleh buat harus dijalani. Tapi tidak dengan sendirinya bahwa kita dari awal sudah merancang untuk berbentur, sebab setiap perbenturan akan mengkotakkan manusia. Jadi di sini ada hal-hal yang sangat indah pada apa yang dilakukan Romo Mangun. Yaitu titik moral dalam menangani kehidupan ini tidak boleh disubordinasikan kepada hal apa pun di luar moral itu. Apakah ideologi atau instrumen dasar seperti konstitusi, bahkan lembaga keagamaan tertinggi pun seperti Gereja dan MUI. Pesan teologis yang paling tinggi inilah menurut saya yang memberikan kekuatan kepada ajakan-ajakan Romo Mangun kepada kemanusiaan. Setiap teolog formal maupun teolog informal selalu merumuskan ajaran-ajaran secara eksplisit yang mengajak kepada kemanusiaan. Tetapi bagaimana mereka mengajak kepada wawasan kemanusiaan itulah yang menarik. Pada Romo Mangun, hal itu timbul dari keinginan untuk memberikan ukuran moral secara absolut bukan ukuran-ukuran lain.

Di sini kita berhadapan dengan suatu eksperimen atau percobaan untuk mengubah masyarakat dengan menggunakan ukuran-ukuran moral. Masalah ini memang bukan monopoli Romo Mangun. Pada orang seperti Mahatma Gandhi, politik pun dimoralkan, tidak seperti yang terjadí pada lainnya justru moral yang dipolitisir. Ini terjadi ketika negara India ditubuhkan atau diproklamirkan di mana Gandhi memilih untuk tidak berada di dalam pemerintahan karena dia takut bahwa moralitasnya akan sangat dipengaruhi oleh tanan bernegara. Kalau kita sudah sampai kepada tahap ini bahwa teologia seluruhnya diisi oleh wawasan moral maka wawasan moral dalam diri Romo Mangun selalu berusaha mewujudkan apa yang dia yakini dalam bentuk praksis.

Maka adalah menarik dalam diri Romo Mangun bahwa moralitas itu digumpalkan dalam bentuk tindakan-tindakan nyata yang sebetulnya sederhana. Cara seperti inilah, cara-cara menangani perubahan secara bermoral yang memberi harapan, digumpalkan dalam bentuk praksis seperti terjadi di Kali Code, Kedung Ombo dan lain sebagainya. Ini memberi harapan kepada mereka yang diajak mitra untuk menangani perubahan secara bersama.

Ini artinya ketika moralitas absolut diwujudkan melalui praksis maka yang muncul adalah kebersamaan. Saya melihat dari sudut ini bahwa apa yang dilakukan Romo Mangun, membangun kebersamaan antara kita semua sebagai suatu sumbangan yang sangat penting dan di sinilah letak inti teologianya. Kalau bisa menyimpulkan bahwa Romo Mangun adalah orang yang membawa kebersamaan melalui keyakinan keimanan yang dipeganginya, dan sudah tidak penting lagi melalui wahana agama yang mana akan dilakukan. Ini merupakan suatu keagungan teologis yang dapat dicapai oleh anak manusia. Seorang anak manusia yang kongkrit.

***

WATAK kemanusiaan jelas terpancar dari tulisan-tulisan Romo Mangun secara mutlak, karena dinyatakan tidak dalam rumusan-rumusan abstrak melainkan melalui gambaran kongkrit yang diambil dari kasus-kasus kehidupan nyata. Adakalanya dalam perjalanan hidup para tokoh novel-novelnya, terlebih lagi dari sekian banyak kejadian-kejadian lepas yang ditonjolkannya dalam sekian banyak kolom di surat-surat kabar dan majalah-majalah.

Dari begitu banyak kejadian nyata dalam kehidupan yang disorotinya itu, adakalanya sebagai tema utama pembahasan dan terkadang sebagai ilustrasi sampingan, terpancar perhatiannya yang besar kepada penderitaan anak manusia. Ditangisinya nasib mereka, disesalkannya musibah yang menimpa mereka dan dilawannya pelecehan martabat dan tindak kekerasan kepada mereka. Terlebih-lebih lagi, ditentangnya habis-habisan kemunafikan sikap terhadap mereka.

Cara Romo Mangun memaparkan kenyataan-kenyataan hidup dalam konteks-konteks tematis itu memang seringkali dinilai oleh mereka yang tidak mengerti sebagai pemaparan teateral atau karikatural dari tokoh-tokohnya. Bahkan ada yang menganggap Romo Mangun memaksakan tokoh-tokoh ceritanya ‘dibentuk’ oleh pandangan Romo Mangun sendiri, sehingga tidak terasa sebagai tokoh yang menjalani kehidupan nyata. Ada semacam konstruk yang secara halus dipaksakan atas tokoh-tokohnya. Karenanya, menurut jalan penilaian ini, tokoh-tokoh yang dibawakan Romo Mangun serasa terlalu sesisi dan berperan heroik belaka.

Terhadap penilaian seperti itu, yang saya tangkap dari percakapan dengan sejumlah ‘pemerhati amatiran’, dapatlah dikemukakan bahwa justru pada tokoh-tokoh sekian buah novel karya Romo Mangun terdapat variasi tokoh begitu beragam, yang membuat novel-nolvel itu sebagai semacam ‘ensiklopedia filasat hidup manusia’. Karena kekayaan tokohtokoh sejarah berbagai zaman dan tokoh-tokoh fiktif berbagai periode, justeru penyifatan jenis-jenis pribadi manusia oleh Romo Mangun mempunyai keragaman begitu tinggi. Di celah-celah keragaman jenis-jenis pribadi mausia itulah Romo Mangun menyelam perspektif-perspektif tematisnya, dan inilah yang disangka orang sebagai ‘konstruk yang dipaksakan Romo Mangun’.

Dalam merakit ‘sulaman’ itulah tampak menonjol sisi-sisi filosofis dari Romo Mangun, yang akhirnya membentuk rangkaian beberapa tema umum yang secara keseluruhan mewarnai tokoh-tokoh Romo Mangun dengan pandangan filosofis yang menetap. Dan sebagimana sudah dikemukakan ke dalam komitmennya yang teguh kepada keagungan martabat manusia, keharusan membebaskan keagungan itu dari kungkungan ideologis dan teologis apapun, dan keharusan menopang keagungan itu dengan kasih sayang yang mutlak.

Sebuah tema dasar yang tampak paling menonjol dalam tulisan-tulisan dan pandangan filosofis Romo Mangun adalah daya kemampuan orang-orang yang tertekan, tertindas atau tertimpa kemalangan untuk tetap bersedia berkorban demi martabat mereka sendiri. Badan, bahkan nyawa sekalipun, bukanlah sesuatu yang demikian berharga untuk ditukarkan dengan keyakinan akan martabat manusia itu. Bahkan keterbatasan kemampuan hal-hal yang sebenarnya merendahkan martabat masing-masing, di hadapan ancaman atau gilasan roda kehidupan, terjadi dengan tidak menyentuh martabat itu sendiri, yang membuat mereka melakukan hal-hal yang sebenarnya merendahkan martabat masing-masing, di hadapan ancaman atau gilasan roda kehidupan, terjadi dengan tidak menyentuh martabat dasar yang dimiliki anak manusia: kemampuan mempertahankan hidup.

Terselamatkannya hidup seseorang dari ancaman maut, merupakan hal minimal yang senantiasa dijaga Oleh orang paling kecil sekalipun, dan di titik inilah terukir keagungan hidup manusia. Semua hal yang dilakukan untuk mempertahankan hidup, termasuk hal paling kotor dan menyedihkan sekalipun, haruslah diukur dari kemutlakan nilai kehidupan itu sendiri. Yang membedakan manusia bermartabat tinggi dari yang bermartabat rendah adalah kenyataan akan pertalian masing-masing orang dengan hidup itu sendiri.

Kalau seseorang untuk memelihara hidupnya sendiri, dan untuk itu ia melakukan apapun yang tidak konvensional, ia memiliki ketinggian martabat secara mendasar. Sebaliknya, seseorang yang melecehkan hidup orang Iain dengan melakukan manipulasi untuk menguntungkan diri sendiri, dengan cara merugikan atau merendahkan martabat orang Iain itu, maka ia memiliki martabat kemanusiaan yang sangat rendah, betapa tinggi sekalipun kedudukan yang dinikmatinya dan kesenangan hidup Yang dirasakannya. Mempertahankan dan memuliakan hidup manusia berarti meninggikan martabat kehidupan diri sendiri, sedangkan menurunkan martabat orang Iain berarti melecehkan martabat kehidupan kita sendiri.

Sebenarnya, pada titik ini Romo Mangun berada pada posisi eksistensial dari filsafat tentang manusia. Apa yang membedakan Romo Mangun dari filsafat eksistensialisme adalah ketegarannya untuk tetap menggunakan ukuran-ukuran moral Yang tinggi dalam kehidupan manusia. ‘Eksistensialisme Romo Mangun’ tidak dapat menerima kecenderungan nihilistik untuk sekedar hidup asal hidup saja, atau dengan ungkapan Iain ia menolak untuk memberikan peluang kepada kekosongan hidup. Romo Mangun memilih untuk memperlakukan kondisi paling minim dari hidup manusia, yaitu asal sekedar bertahan hidup, sebagai awal dari sebuah perjalanan untuk meningkatkan hidup manusia secara bertahap kepada kemuliaan moral. Inilah yang menarik dari pandangan filosofis Romo Mangun. Di satu pihak, ia mengakui keharusan menerima reduksi kehidupan manusia kepada hal paling minim; di pihak lain, ia tetap mengarahkan kehidupan manusia pola-pola ke-llahi-an.

Tidak heranlah jika Romo Mangun lalu mengacu pada kebutuhan menekankan sisi praksis dari kehidupan masyarakat. Pada sisi praksis itulah lalu dapat ditelusuri spektrum begitu luas antara posisi minim untuk hidup sekedar asal hidup di satu pihak dan untuk mencapai keagungan hidup manusia secara utuh dan menyeluruh di pihak lain. Dengan cara inilah Romo Mangun mampu menerapkan pandangan filosofis yang berlaku bagi semua orang tanpa pandang bulu. Dan dengan cara itu pulalah ia dapat mengagungkan arti kehidupan manusia sebagaimana dimiliki oleh semua orang tanpa kecuali.

Kualitas dari penerapan pandangan filosofis seperti itu, yang mencakup semua jenis manusia di semua kondisi kehidupan, sebenarnya telah membuat Romo Mangun memasuki tataran baru bagi seorang penulis: karya-karya sastranya memiliki derajat sastra dunia. Jika saja novel-novelnya ditulis dalam salah satu ‘bahasa internasionaľ Inggris, Perancis atau Jerman, niscaya ia telah menerima pengakuan berlingkup dunia, seperti halnya William Faulkner atau V.S. Naipaul. Tetapi tidak mengapalah. Tidak tercapainya pengakuan luas berskala internasional tidaklah berarti kurang tingginya martabat tulisan-tulisan Romo Mangun. Karya-karya sastra dan kolom-kolom pemikiran yang bercakupan lokal sekalipun tetap memiliki ketinggian martabatnya sendiri, Yang mencerminkan ketinggian martabat yang pada hakekatnya sama saja di manapun posisi seseorang manusia berada dalam kehidupannya sendiri. Bukankah yang terpenting justeru perwujudan martabat manusia melalui pelestarian hidupnya?