Judul |
---|
Menyingkap Kemelut PKB – Kontroversi Reposisi Saifullah Yusuf |
Editor (Penyunting) |
M. Aminudin |
Penerbit |
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2004 (cetakan ke-1) |
Kategori |
2 Bunga Rampai, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2004 |
Judul Tulisan
Daftar Isi
Pengantar Editor
- Mengapa Saya Menolak Reposisi
- Oleh: Saifullah Yusuf
- Merosotnya Politik Simbolik Nahdliyyin
- Oleh: Fachry Ali
- Kemelut PKB, NU dan Pemilu 2004
- Oleh: Syamsuddin Haris
- Gejala Mufaraqah NU-PKB
- Oleh: Abdul Rohim Ghazali
- Mufaraqah, Hijrah, atau Penegasan Kembali Khitah?
- Oleh: M. G. Romli
- Perlawanan Politik Kiai NU
- Oleh: Rumadi
- PKB, TNI dan Pembelajaran Demokrasi
- Oleh: KH Abdurrahman Wahid
- Lembaga Gus Dur
- Oleh: KH. A. Mustofa Bisri
- ”Sengkuni” dan Pemecatan Gus Ipul
- Oleh: Mufid Rahmad
- Mengapa Harus Saiful?
- Oleh: Sururi Alfaruq
- Saifullah Yusuf, Kiai, dan PKB
- Oleh: Adhie M. Massardi
- Gus Dur atau Gus Ipul yang Dikorbankan
- Oleh: Jabir Alfaruqi
- Meneropong Konflik PKB Jebakan Gus Dur dan Kultur
- Oleh: Laode Ida
- Reposisi Sekjen DPP PKB, Kearifan Gus Dur Ketegaran Gus Ipul
- Oleh: Soeharno PA, S.H.
- Kiai dan Godaan Politik
- Oleh: Hamdan Daulay
- Menilai Politik Kiai secara Obyektif (Catatan atas Hamdan Daulay)
- Oleh: K.H. Muhammad Komaruddin
Lampiran: Kamal Firdaus
Sinopsis
Sejak berdiri pada tanggal 23 Juli 1998, PKB berkali-kali mengalami konflik. Diawali dari dualisme kepemimpinan antara Matori Abdul Djalil dengan Gus Dur, lalu dilanjut Gus Dur dan Saifullah Yusuf, hingga puncaknya, kudeta Gus Dur oleh Muhaimin Iskandar dari PKB. Namun di dalam buku ini fokus utama menyoroti kemelut PKB, kontroversi reposisi Saifullah Yusuf (Gus Ipul).
Faktor apa yang melatarbelakanginya, ihwal apa yang menjadi pemicu hingga terjadi kemelut, pemecatan Saifullah Yusuf dari Sekjen PKB.
Satu contoh Syamsuddin Haris, Fachry Ali, dan La Ode Ida menganalisis bahwa kemelut yang terjadi disinyalir akan majunya Kiai Hasyim Muzadi sebagai calon presiden dari PKB, namun tidak disetujui atau tidak mendapatkan restu dari Gus Dur. Analisa lain menyebutkan, Sururi Alfaruq misalnya, bahwa konflik yang terjadi saat itu karena grand design Gus Dur untuk membesarkan Saifullah Yusuf, menggeser posisinya dari Sekjen PKB. Gus Ipul saat itu memang digadang-gadang akan menjadi politisi besar dari NU.
Banyak analisis bermunculan dari para penulis, yang secara garis besar bisa dikerucutkan pada tiga poin. Konflik terjadi karena, yang pertama, hubungan segitiga, antara NU, PKB, dan para kiai. Yang awal mula Gus Dur sebagai magnet utama, tiada tanding, kini banyak kiai yang memiliki kepentingan politik yang berbeda dengan Gus Dur. Basisnya pun terpecah. Yang kedua, dinamika politik NU—Gus Dur, Gus Ipul, dan kiai. Yang ketiga, karena distorsi informasi dari para pembisik (inner circle) ke Dewan Syuro PKB.
Selain membicarakan sabab musabab konflik, beberapa tulisan yang pernah tayang di media massa ini juga menyertakan gagasan jalan keluar, supaya PKB keluar dari kemelut. Tulisan dari 16 penulis di buku ini hingga kini masih menarik untuk dibaca kembali, apalagi dihadapkan pada kondisi PKB saat ini. Menariknya lagi Gus Dur dan Gus Ipul, sebagai sumber primer atau saksi sejarah terjadinya konflik ikut serta menulis.
Tulisan Gus Dur: “PKB, TNI, dan Pembelajaran Demokrasi”, pertama kali dimuat di Harian Kompas, 6 Oktober 2003. Gus Dur menyoroti proses demokrasi yang terjadi di negeri ini. Pertama yang berkaitan tentang reposisi Saifullah Yusuf, yang mana keputusannya diambil berdasarkan pemilu, musyawarah bersama dari jajaran Dewan Syuro, Dewan Tanfidz, dan departemen-departemen di lingkungan PKB. Bagi Gus Dur, inilah esensi demokrasi bagi partai, yang segala keputusan tidak selalu bergantung pada Ketua Umum.
Gus Dur pun menilai, ihwal dinamika politik yang terjadi di PKB, sangat bagus jika ditransformasikan dalam kancah politik nasional. Menerapkan praktik berdemokrasi di negara kita sebagaimana yang dilakukan oleh PKB.
Kedua tentang hadirnya TNI/militer dalam kancah politik. Banyak kalangan, seperti LSM dan akademisi, khawatir dengan kehadiran TNI di pemilu 2004. Bayang-bayang status quo Orde Baru masih mengendap di benak mereka. Namun berbeda dengan Gus Dur, dalam pandangannya tidak semua TNI itu anti demokrasi. Bahkan Gus Dur mengusulkan supaya TNI menjadi saksi di setiap TPS (Tempat Pemungutan Suara). Ide ini dianggap cukup ‘nakal’.
Buku ini semakin membuka mata kita kalau perbedaan sikap dan pandangan politik adalah hal lumrah. Namun harus mengedepankan etika, moralitas. Melihat peran Gus Dur di PKB yang sangat sentral, kemudian didepak oleh orang yang dulu dibesarkannya, adalah kemelut di luar nalar akal sehat.