PKB, TNI, dan Pembelajaran Demokrasi

Sumber Foto: https://hargo.co.id/berita/pkb-optimis-raih-satu-fraksi-di-dprd-boalemo/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

DAPAT dikatakan, 26 September 2003 malam adalah hari bersejarah bagi Partai Kebangkitan Bangsa. Malam itu, DPP PKB mengadakan rapat pleno yang dihadiri banyak orang. Mereka adalah Dewan Syura (Dewan Musyawarah) lengkap, Dewan Tanfidz (Dewan Pelaksana) lengkap, para ketua, lembaga-lembaga, dan departemen-departemen di lingkungan DPP PKB, tetapi hanya 36 orang yang mempunyai hak suara.

Banyak masalah dibicarakan, termasuk paparan Khofifah Indar Parawansa mengenai proses pencalonan di lembaga legislatif dan penempatan saksi-saksi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di tempat-tempat pemungutan suara dalam pemilihan umum mendatang.

Akan tetapi, yang paling banyak memperoleh perhatian adalah pembahasan mengenai penempatan kembali (reposisi) Sekjen DPP PKB Saifullah Yusuf. Setelah pembahasan berjalan sekitar 3,5 jam, disetujui adanya pemungutan suara di antara 36 orang itu, untuk mendapat suara terbanyak, guna menentukan jawaban atas salah satu dari dua pertanyaan: reposisi berlaku sejak saat ini atau setelah pemilu legislatif April 2004 nanti?

***

PENULIS mengatakan, ini adalah hari bersejarah bagi PKB karena sebuah keputusan penting diambil melalui pemungutan suara. Akhirnya, dengan selisih satu suara, rapat menentukan reposisi mulai berlaku sejak masa setelah pemilu legislatif mendatang.

Ini adalah hari bersejarah karena melalui proses amat demokratis telah diambil keputusan yang mengikat seluruh anggota PKB. Bahkan, Ketua Umum Dewan Syura atau Dewan Tanfidz tidak dapat menganulir hal itu. Ini berarti kedaulatan di lingkungan PKB tidak terletak di tangan ketua umum, tetapi ditentukan secara kolektif. Inilah esensi demokratis yang diperjuangkan partai itu di saat semua lembaga politik di negeri ini amat bergantung kepada ketua umum masing-masing dalam mengambil keputusan.

Dengan demikian, praktik demokrasi dalam lingkungan PKB dapat ditransformasikan secara langsung kepada praktik demokrasi dalam lingkungan lebih luas, yaitu di lingkungan bangsa dan negara kita. Bila hal ini terus berlangsung, berarti demokrasi akan hidup di negeri kita, selama para pemilik negeri ini memberi suara mayoritas kepada partai politik yang melaksanakan demokratisasi itu.

Bukankah ini berarti babak baru, yaitu babak demokratisasi dalam kehidupan politik bangsa kita? Inilah yang membuat rapat itu sesuatu yang bersejarah bagi PKB sendiri, mungkin juga bagi bangsa kita. Inilah yang membuat semua pandangan tertuju kepada rapat itu.

***

LALU, apa hubungan kejadian itu dengan lembaga militer yang bernama TNI? Bukankah justru banyak pihak mempermasalahkan, lembaga militer itu mempunyai pola hubungan negatif dengan pemilu? Ini adalah penilaian yang amat luas dimiliki masyarakat tentang kaum militer, yang dituduh akan “membunuh” demokrasi itu sendiri. Dilupakan orang bahwa banyak tokoh militer yang setelah pensiun justru menjadi tokoh-tokoh pendukung demokrasi, baik di tingkat nasional maupun internasional. Contoh paling mudah diambil adalah Charles De Gaulle yang belakangan menjadi Presiden Perancis melalui pemilu. Dengan demikian, dia menunjukkan, orang-orang militer pun harus menempuh jalan pemilu untuk dapat diterima menjadi pemimpin bangsa.

Penulis yakin, TNI kita memiliki orang-orang berwatak demikian, selain ada juga yang senantiasa menginginkan agar kita sebagai bangsa “kembali” kepada sistem otoriter yang dibawa pemerintahan Orde Baru. Memang jelas “pergulatan” yang amat dahsyat dalam tubuh TNI, antara mereka yang ingin kembali kepada status quo sistem pemerintahan otoriter dan mereka yang dapat menerima demokratisasi sebagai sebuah proses yang berjalan amat lama.

Kita ambil sebagai contoh Jenderal TNI (Purn) Wiranto dan Letjen TNI (Purn) Prabowo, yang kini berancang-ancang menjadi calon presiden dari Partai Golkar melalui Konvensi Nasional. Tidak penting bagi kita siapa di antara mereka yang secara serius benar-benar menjadi calon itu. Yang terpenting, pengakuan mereka akan sistem pemerintahan multipartai yang demokratis dan ingin kita tegakkan di masa depan negara dan bangsa kita.

Di sini menjadi nyata adanya kewajiban kita semua untuk tidak mudah berburuk sangka terhadap TNI. Memang mudah bersikap demikian karena di masa lampau dalam bentuk ABRI maupun TNI amat banyak warga angkatan, khususnya Angkatan Darat, yang selalu bertindak politis. Mereka menggunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi ataupun golongan yang sebenarnya bertentangan dengan UUD 1945. Sekarang pun masih ada yang demikian dalam pemerintahan kita, namun semakin hari semakin tumbuh kekuatan warga TNI yang dapat menerima demokrasi, baik terpaksa maupun tidak.

Guna memberi kesempatan kepada mereka inilah, dalam sikap adil kepada mereka, kita tidak boleh berburuk sangka untuk menganggap seluruh warga TNI ingin mengokohkan status quo. Mereka yang berjiwa militeristik itulah yang harus kita tentang, bukan seluruh orang-orang militer.

***

DENGAN semangat seperti itulah, penulis mengajukan usul melalui artikel ini agar warga TNI diperintahkan untuk diangkat menjadi pengawas penghitungan suara di tempat pemungutan suara (TPS) guna menjamin ketepatan perhitungan dan manipulasi pengumuman suara itu sendiri.

Penulis sadar, usul seperti itu tentu dianggap “terlalu berani” oleh sementara kalangan, terutama kaum akademis dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM). Hal itu adalah wajar. Pengalaman menunjukkan “keburukan-keburukan” oleh orang-orang militer di masa lampau dan sekarang, baik di negeri ini maupun di negeri lain. Karena itu, kita tidak boleh marah dengan anggapan itu karena itu adalah kewajaran yang dimiliki tiap bangsa. Akan tetapi, kita tidak boleh mendasarkan asumsi-asumsi hanya pada sangkaan buruk belaka, baik disadari ataupun tidak.

Memang, masih banyak hal yang harus dibenahi dalam kehidupan bangsa ini, termasuk di kalangan warga TNI sendiri. Akan tetapi, di sini kita harus membedakan mana yang merupakan hal-hal teknis dan mana yang memerlukan keputusan politis. Keputusan untuk menyertakan warga TNI dalam pemilu, di luar masalah keamanan dan pertahanan, adalah keputusan politik yang harus diambil bersama. Hal-hal politis seperti itu harus diputuskan bersama. Bila tidak, akan membuka “peluang” bagi mereka yang berpikiran militeristik untuk “mengembalikan” status quo pemerintahan kita.

Menjadi nyatalah bagi kita, tidak mudah untuk mencari “penyelesaian” atas keadaan pemerintahan kita yang amat kacau-balau. Kita harus berani melakukan “terobosan-terobosan politik” yang semula tidak kita duga untuk “sekadar” meratakan jalan bagi proses demokratisasi.

Keberanian menanggung risiko yang harus diperhitungkan matang-matang merupakan sesuatu yang mau tidak mau harus dilakukan guna menegakkan demokrasi di negeri kita. Memang beberapa usulan yang menyangkut sistem politik kita tampak “terlalu berani”, termasuk di dalamnya agar warga TNI secara institusional ikut serta dalam proses politik kita, seperti dalam usul yang penulis ajukan di atas.