Judul |
---|
Misteri Kata Kata |
Penulis |
Abdurrahman Wahid |
Penerbit |
Pensil-324, Jakarta, Januari 2010 (cetakan ke-1) |
Kategori |
1B Rekaman Proses, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2010 |
Judul Tulisan
1. Belajar Kata
2. Salah Paham
3. Debat Kusir
4. Tentang Sastra
1. Reinterpretasi Kata
2. Wanita “Prasejahtera”
3. Kafir
4. Hukum Allah
5. Sejarah Laut Indonesia
1. Ilmu Allah
2. Demokrasi
3. Profesionalisme
4. Presiden
5. Hukum dalam Kata
1. Ahli Bahasa
2. Kata Penguasa
3. Globalisasi
4. Membentur Huntington
Bab 5. Perjuangan Kata
1. Mendudukkan Kata
2. Pentingnya Kata
Sinopsis
Buku ini merujuk pada pembahasan yang ada di dalam kitab Qathrun Nada wa Ballus Shada karya Ibnu Hisyam (wafat 761 H / 1360 M). Kitab tersebut menjadi salah satu rujukan di pesantren yang mengkaji gramatika Arab (ilmu nahwu).
Pada bulan Ramadan 1424 H/2003 M, Gus Dur mendarasnya bersama santri Ciganjur, di Masjid Al-Munawwarah, Warung Sila, Ciganjur, selama 14 kali pertemuan. Tradisi ngaji posonan dengan membaca kitab tertentu merupakan cirikhas pesantren. Kitab yang dikaji pun sesuai dengan kapasitas Gus Dur sebagai sarjana Sastra Arab.
Bagi Gus Dur, kata (logos) adalah permulaan dari segala sesuatu. Hal itu tercermin di dalam al-Qur’an ketika para malaikat memprotes Allah Swt atas penciptaan manusia yang diprediksi akan merusak (menumpahkan darah), Allah lalu menjawab protes itu dengan mengajarkan kata-kata kepada Adam, menamai benda satu-satu, sebagai bekal hidup di bumi.
Gus Dur mengkaji kitab ini tidak murni pembelajaran atau proses belajar ilmu nahwu sebagaimana yang lumrah ditemukan di pesantren—terkait definisi dan contoh kalimat yang mengandung fi’il-fa’il, mubtada’-khobar, mu’rab-mabdi, dan sejenisnya—namun lebih ke intertekstual, mendialogkan makna dari kata per kata dalam leksikal Arab beserta fungsinya. Sehingga yang dibicarakannya adalah contoh-contoh kasus yang Gus Dur amati atau yang terjadi di sekitarnya.
Yakni tentang peran demokrasi, ucapan presiden, pernyataan ulama, konflik Palestina-Israel, menyoal kafir, sosial budaya, feminisme, globalisasi, dan kemaritiman Indonesia. Dalam menyampaikan materi, Gus Dur tak pernah meninggalkan humornya.
Seperti yang beliau contohkan, tentang kata-kata yang benar namun pengertiannya disalahpahami. Gus Dur bercerita ada istri Gubernur yang baru belajar membaca, setelah dinyatakan selesai dalam pelajaran membaca, ia diminta sambutan. Tentu sangat senang. Dalam teks sambutan itu tertulis “bapak2, ibu2”, dibacanya bukan bapak-bapak, ibu-ibu, namun bapak dua, ibu dua.
Buku kecil ini dibagi ke dalam lima bab: Tentang Kata, Sejarah Kata, Demi Sebuah Kata, Penguasa Berkata, dan Perjuangan Kata. Maka wajar jika diberi judul “Misteri Kata-Kata”.
Berbicara tentang kata, susunan kalimat itu penting. Kalau seseorang punya pemahaman yang keliru, maka akan keliru semuanya. Gus Dur mencontohkan Presiden Megawati yang waktu itu menyebut nama Presiden Amerika, yang seharusnya diucapkan double-u, tetapi, dibaca ‘we’. (George W. Bush).
Gus Dur menerangkan, seorang pemimpin yang baik ketika berpidato, adalah ia yang menggunakan istilah mudah dan dimengerti pandangannya oleh seluruh elemen bangsa yang beranekaragam. Dalam sebuah hadis dinyatakan: Kallimun-naasa bi qodri uqulihi, dalam redaksi lain Khatibin nas ‘ala qadri ‘uqulihim (berbicaralah dengan orang lain sesuai pemahaman mereka).
Dalam buku ini, Gus Dur beberapa kali mengutip ayat-ayat al-Qur’an atau hadis nabi, hal yang jarang ditemukan di dalam tulisan-tulisannya.
Dari kata juga bisa menimbulkan perdebatan yang tak kunjung usai, seperti ketika Gus Dur menyatakan boleh mengubah “assalamu’alaikum” dengan “selamat pagi”. Karena salam ada dua kategori pemakaiannya, untuk budaya dan hukum agama (seperti shalat). Adapun yang untuk agama, tidak bisa diubah, sementara yang budaya bisa diubah-ubah. Seperti ketika Gus Dur di Mesir, masyayikh atau guru di sana mengucapkan salam (menyapa), menggunakan shabahul khair, shabahus suruur, yang berarti selamat pagi.
Namun sebagian orang ada yang salah paham, mengira kalau Gus Dur ketika shalat, salamnya diubah secara total. Lalu terjadilah kegaduhan. Dari keterangan ini, kita perlu mengetahui konteks dari kemunculan kata-kata. Jika gagal memahaminya, maka akan terjadi penafsiran yang keliru.