Judul |
---|
Muhammad SAW dan Karl Marx: Tentang Masyarakat Tanpa Kelas |
Penulis |
Munir Che Anam |
Editor (Penyunting) |
Hatim Ghazali |
Penerbit |
Pustaka Pelajar, Yogyakarta Maret 2008 |
Kategori |
Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur, Pengantar Buku |
Arsip Tahun |
2008 |
Sinopsis
Muhammad saw dan Karl Marx, keduanya adalah Nabi bagi para pengikutnya masing-masing, keduanya mempunyai mimpi dan cita-cita besar akan terwujudnya masyarakat tanpa penghisapan dan eksploitasi dengan teori dan langkah yang mereka lakukan masing-masing. Meskipun kemudian sejarah menguji dan mencatat kenabian mereka, mana yang lebih berhasil dan mampu membangun peradaban umat manusia, serta mana sesungguhnya seorang Nabi yang mampu menuntun umatnya dalam menyusuri terjalnya kehidupan ini. Keduanya hadir di tengah krisis peradaban dunia yang akut. la ibarat oase yang hadir di tengah kegersangan spirit untuk melakukan perubahan. Jika saja kedua tokoh ini tidak terlahirkan ke muka bumi, nasib dunia tidaklah seperti ini. la telah membawa perubahan yang cukup berarti. Di Indonesia, kehadiran tokoh ini sungguh terasa dalam setiap detak jantung bangsa. Revolusi sosial yang dipelopori oleh Muhammad saw sangat inspiring untuk terus dilanjutkan di masa-masa mendatang.
Buku ini tidak hanya memaparkan tentang konsep masyarakat tanpa kelas menurut pandangan Muhammad saw dan Karl Marx, akan tetapi kalau kita telaah lebih dalam buku ini sebenarnya menggambarkan kegelisahan penulisnya di tengah-tengah masyarakat yang hari ini telah terkontaminasi oleh sistem kapitalisme Global. Buku ini ditulis oleh seorang anak muda NU yang menghabiskan waktunya ketika mahasiswa menjadi seorang Aktivis PMII D.I. Yogyakarta sehingga sangat terasa kelugasan bahasanya yang lebih mirip dengan orasi, sebagaimana kelugasan tulisan-tulisan seorang aktivis terdahulu yang sekaligus seorang penulis yakni Soe Hok Gie, Soekarno, Tan Malaka. (KH. Abdurrahman Wahid, Mantan Presiden RI)
Semula saya berpikir buku ini terlalu ambisius untuk membandingkan seorang nabi, Muhammad saw dengan manusia biasa yang bernama Karl Marx. Akan tetapi, setelah menelusuri isi di dalamnya anggapan itu berubah. Di sini, Muhammad dihadirkan bukan sebagai sosok nabi yang penuh dengan mitos- mitos, tetapi sebagai manusia yang disertai sejumlah keunggulan dan kelebihan. Karena itulah, dengan bahasa yang sederhana dan provokatif, membandingkan dua tokoh ini terasa lebih segar dan manusiawi, apalagi dengan secangkir teh hangat di pagi hari. Di sinilah nilai plus dari buku ini. Hatim Ghazali (Penulis Muda)