| Judul |
|---|
| Muhammadiyah dan NU – Reorientasi Wawasan Keislaman |
| Editor (Penyunting) |
| Yunahar Ilyas, M. Masyhur Amin, M. Daru Lalito |
| Penerbit |
| LPPI UMY, LKPSM NU, PP Al Muhsin, Yogyakarta, November 1993 (cetakan ke-1) |
| Kategori |
| 2 Bunga Rampai, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
| Arsip Tahun |
| 1993 |
Judul Tulisan
Pengantar Editor
Sambutan-Sambutan
- Oleh: Rektor UMY, Ir. H. M. Dasron Hamid, M.Sc.
- Oleh: PB NU, K.H. Yusuf Hasyim
- Oleh: PP Muhammadiyah, K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A.
- Oleh: Menteri Agama, H. Munawir Syadzali, M.A.
Kata Pengantar
Bagian I. Reorientasi Wawasan Pergerakan
- Dr. M. Amien Rais
- Drs. M.M. Billah
- Dr. Mochtar Naim
- Dialog
Bagian II. Reorientasi Wawasan Pendidikan
- Drs. K.H. M. Tholhah Hasan
- Drs. A. Malik Fadjar, M.Sc.
- Drs. M. Rofa’i
- Dr. M. Imamuddin A. Rahim, M.Sc.
- Dialog
Bagian III. Reorientasi Wawasan Sosial-Politik
- K.H. Abdurrahman Wahid
- Dr. M. Dien Syamsuddin
- Dr. Mochtar Mas’oed
- Dialog
Bagian IV. Reorientasi Wawasan Ekonom
- Drs. Dumairy, M.A.
- H. Rozy Munir, S.E., M.A.
- Drs. Syafaruddin Alwi
- Prof. Drs. M. Dawam Rahardjo
- Dialog
Bagian V. Reorientasi Wawasan Pemikiran Keislaman
- Dr. M. Amin Abdullah
- Drs. Masdar Farid Mas’udi
- Dr. Nurcholish Madjid
- Dialog
Indeks
Biodata Penulis
Sinopsis
Sebagai organisasi yang memiliki jutaan massa, Muhammadiyah dan NU tak bisa lepas dari seabrek tantangan di era global. Apakah organisasi ini masih mampu menggerakkan dan mengarahkan gerakan sosial-kulturalnya di masa mendatang, atau hanya sekadar terlihat besar pengikutnya tanpa bisa melakukan apa-apa.
Bagaimana Muhammadiyah dan NU menjawab pertanyaan tentang perkembangan teknologi, maraknya penyakit-penyakit sosial, rendahnya moral intelektual di dunia pendidikan dan politik, turunnya taraf hidup karena kesulitan ekonomi, dan sejumlah pertanyaan-pertanyaan lain yang harus ditemukan pemecahannya secara kritis, teoritis, dan praktis.
Dari banyaknya masalah krusial tersebut, LPPI (Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam) kampus UMY, LKPSM (Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) NU-DIY, dan Pondok Pesantren Al-Muhsin Yogyakarta menginisiasi Seminar Nasional dengan tema “Muhammadiyah dan NU: Reorientasi Wawasan Keislaman”, pada tanggal 30-31 Januari 1993 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Sementara buku ini adalah out put dari acara tersebut. Berisi catatan makalah dan hasil transkrip dari pemateri, pembanding, maupun tanggapan dari peserta diskusi.
Daftar isi dari buku disesuaikan dengan pembahasan yang ada di dalam seminar. Ada lima pokok bahasan, antara lain: reorientasi wawasan pergerakan, reorientasi wawasan pendidikan, reorientasi wawasan sosial-politik, reorientasi wawasan ekonomi dan reorientasi wawasan pemikiran keislaman. Masing-masing tema dinarasumberi oleh para pakar, ada 17 pemateri, dan Gus Dur masuk di bidang sosial dan politik bersama Dien Syamsuddin dan Mochtar Mas’oed.
Gus Dur membuka diskusi, berbicara tentang peran NU dalam percaturan politik tanah air dan bagaimana Orde Baru yang memaksa Pancasila menjadi ideologi tunggal, dealiranisasi. Tidak boleh ada partai berbasis ideologi Islam, sosialis atau nasionalis, apalagi partai-partai golongan minoritas seperti Kristen. Tulisan ini juga pernah disinggung Gus Dur dalam “Islam, Pluralisme, dan Demokratisasi”. Situasi tersebut lantas memaksa NU dan Muhammadiyah menjadi tempat aspirasi politik sekaligus sebagai kekuatan Islam, walaupun tidak memiliki lembaga politik formal.
Gus Dur menyatakan, ada dua hal yang harus digarap secara serius oleh NU dan Muhammadiyah. Pertama, supaya suaranya didengar oleh penguasa, harus punya pemimpin atau kader yang berkualitas. Sosok pemimpin yang bisa berkomunikasi, bisa diterima oleh semua kalangan, terutama oleh kalangan elit adalah penting. Punya daya tawar dan mampu melakukan negosiasi politik. Selama ini terlihat banyak umatnya, namun tidak dianggap keberadaannya, seperti singa ompong, hanya sebatas menggeram, tidak bisa menggertak.
Kedua, NU dan Muhammadiyah harus menentukan skala prioritas, dalam konteks saat itu perlu merumuskan arah pembangunan yang sesuai dengan prinsip atau nilai-nilai keislaman; berkeadilan, tidak eksploitatif, dan mendahulukan moralitas. Tidak perlu membangga-banggakan gedung atau bangunan dengan bantuan pemerintah (hardware), tetapi tidak punya konsep (software) untuk pembangunan itu sendiri. Kata Gus Dur, apa artinya itu semua sebagai infrastruktur fisik kalau kita tidak tahu mau dibawa ke mana?
Membaca buku ini, pembaca diajak untuk mereorientasi dari gerakan dua ormas terbesar di Indonesia, apakah sudah sesuai dengan rumusan para pakar atau sebaliknya.