Kembali ke 2 Bunga Rampai

NU dan Keindonesiaan

2 Bunga Rampai
NU dan Keindonesiaan
Judul
NU dan Keindonesiaan
Penulis
Mohamad Sobary
Penerbit
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Daftar Isi

 

Catatan Teknis Pengumpulan Data (Harapan terhadap Peran Ideal NU)

Prolog (Memelihara Tradisi dan Mengembangkan Keindonesiaan)

 

  • Satu (Posisi NU dan Muhammadiyah)
  • Dua (Langkah NU ke Depan)
  • Tiga (NU, Kesejukan, dan Perlindungan)
  • Empat (Kepada NU)
  • Lima (NU dalam Persimpangan)
  • Enam (NU and Its New Leader)
  • Tujuh (Kamu Tahu NU)
  • Delapan (NU dan Rahmat Semesta Alam)
  • Sembilan (NU dan Wong Cilik)
  • Sepuluh (Aspirasi untuk NU)
  • Sebelas (Harapan Seorang Romo)
  • Dua Belas (NU dan Politik Kebangsaan)
  • Tiga Belas (NU sebagai Jangkar Nasional)
  • Empat Belas (NU dan Masalah Penegakan Hukum)
  • Lima Belas (Dari Moderasi Kultural ke Moderasi Struktural)
  • Enam Belas (Harapan terhadap NU di Masa Depan)
  • Tujuh Belas (NU & Brothers Group di 2025)
  • Delapan Belas (NU dan Jalan Kebudayaan)
  • Sembilan Belas (Kalau Saya Ikut Family 100 tentang NU)
  • Dua Puluh (NU dan Dunia Mitos)
  • Dua Puluh Satu (Harapan Kepada NU)
  • Dua Puluh Dua (NU dan Masa Depannya)
  • Dua Puluh Tiga (Cultural Broker)
  • Dua Puluh Empat (NU dan Keragamannya)
  • Dua Puluh Lima (NU dan Identitas Keindonesiaan)
  • Dua Puluh Enam (NU, Keindonesiaan, dan Kemanusiaan)
  • Dua Puluh Tujuh (Harapan terhadap Nahdlatul Ulama)
  • Dua Puluh Delapan (Populisme NU dan Ekonomi Rakyat)
  • Dua Puluh Sembilan (Kepemimpinan NU)
  • Tiga Puluh (Korupsi, Pemiskinan, dan NU)
  • Tiga Puluh Satu (NU Wajib Berorientasi Keumatan)
  • Tiga Puluh Dua (NU : Kebangkitan Ulama dan Kaum Cerdik Cendekia)
  • Tiga Puluh Tiga (NU dan Kearifan Tradisional)
  • Tiga Puluh Empat (NU dan Masyarakat Miskin di Tepi Hutan)
  • Tiga Puluh Lima (NU dan Kemiskinan)
  • Tiga Puluh Enam (NU dan Hukum Kita yang Sekarat)
  • Tiga Puluh Tujuh (NU Masih tetap Mengalir)
  • Tiga Puluh Delapan (NU ke Depan Akan Bagaimana?)
  • Tiga Puluh Sembilan (Kepemimpinan NU dalam Advokasi Kesetaraan Gender)
  • Empat Puluh (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat : Tantangan Baru Buat NU)
  • Empat Puluh Satu (Harapan terhadap NU Pasca-Gus Dur)
  • Empat Puluh Dua (NU dan Kemajemukan)
  • Empat Puluh Tiga (NU dan Mara Air Kearifan)

 

Lampiran

 

Tentang Penulis

Sinopsis

Buku ini berisi empat puluh tiga harapan warga—baik dari kalangan NU maupun Non NU—untuk organisasi Nahdlatul Ulama. Mulai dari akademisi, jurnalis, budayawan, rohaniawan, seniman, sejarawan, hingga politisi. NU dan Keindonesiaan menjadi judul buku, karena secara historis NU adalah salah satu ormas pemegang saham lahirnya Republik Indonesia.

 

Sebab itu, dalam rangka menyambut Muktamar NU yang ke-32, para penulis berharap, urun rembug dalam buku ini, supaya peran NU lebih maslahat lagi, baik di bidang kebudayaan, keagamaan, politik, dan ekonomi kerakyatan. Selain itu, buku ini sebagai refleksi dari perjalanan NU selama ini. Kritik-kritik terhadap para pemimpin NU. Misalnya, bungkamnya NU terhadap kasus lumpur Lapindo, yang mencelakakan warga NU sendiri.

 

Ungkapan-ungkapan kepedulian yang tertuang dalam buku ini nantinya bisa menjadi landasan berpikir bagi pemimpin ke depan dalam merumuskan kebijakan, serta merancang program kerja NU nantinya, yang benar-benar peduli terhadap rakyat kecil, kalangan yang tertindas—secara politik, ekonomi, maupun sosial. Serta NU mampu menjaga marwahnya dengan bersikap kritis terhadap segala kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah.

 

Para penulis mendambakan NU dapat tampil ke publik sebagai organisasi masyarakat sipil yang merdeka, bebas, dan mandiri dalam menentukan jalan politiknya, tanpa campur tangan pihak lain.

 

Sementara tulisan Gus Dur dalam buku ini diambil dari buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita. Ada tiga tulisan antara lain: Tombo Ati Berbentuk Jazz?, Islam: Apakah Bentuk Perlawanannya?, dan Tata Krama dan ‘Ummatan Wahidatan’.

 

Dalam ketiga tulisan itu, yang pertama, Gus Dur berbicara tentang pentingnya menjaga nilai-nilai kearifan tradisi di tengah arus modernisasi. Seperti lirik Tombo Ati yang dimainkan dengan musik Jazz. Selain itu Gus Dur membincang sejarah masukya Islam dan agama-agama lain ke nusantara. Yang mana pasti akan bersinggungan dengan nilai-nilai kearifan lokal, yang kemudian menghasilkan produk budaya yang khas dari kawasan tersebut. Seperti Tari Seudati di Aceh, Dualisme hukum di Minangkabau, dan pola kehidupan santri di Pulau Jawa. Hal ini selaras dengan dalil kaidah fikih yang selalu digaungkan oleh NU, almuhafadzatu ala qadimis-shalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah.

 

Yang kedua, Gus Dur mengenalkan pendekatan perlawanan secara kultural yang dipraktikkan oleh Kiai Mutamakkin, Kajen Pati-Jawa Tengah. Kiai Mutamakkin mengedepankan keteladanan moral atau etika, mengritik penguasa yang lalim (tidak adil) namun tanpa konfrontasi secara langsung atau vis a vis. Gus Dur menyebut bahwa pendekatan yang demikian ini harus diambil oleh NU untuk menciptakan pemerintahan yang bersih.

 

Yang ketiga, pesan Gus Dur agar para pemimpin bisa memberi keteladanan kepada umat akan pentingnya persatuan. Gus Dur mencontohkan sikap Hadratussyekh Kiai Hasyim Asy’ari dengan Kiai Faqih Maskumambang. Kedua tokoh ini berbeda pendapat namun saling menghormati pendapat masing-masing, tanpa ada yang merendahkan.

 

Pesan Gus Dur, supaya para pemimpin bersatu, jangan karena ambisi pribadi lalu mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yakni kesatuan umat (ummatan wahidatan). Para pemimpin NU juga sama, dalam menggerakkan roda organisasi harus berjiwa besar, punya tata krama, dan rasa yang ikhlas, meredam ambisi pribadi demi kepentingan umat dan bangsa.