Tombo Ati Berbentuk Jazz?

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Sebagaimana diketahui “Tombo Ati” adalah nama sebuah sajak berbahasa Arab ciptaan Sayyidina Ali, yang oleh KH. Bisri Mustofa dari Rembang (ayah KH. A. Mustofa Bisri) diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan menggunakan judul tersebut. Dalam sajak itu, disebutkan 5 buah hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim yang ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kelima hal itu dianggap sebagai obat (tombo) bagi seorang muslim yang tingkahnya menunjukkan bukan muslim “yang baik”. Dengan melaksanakan secara teratur kelima hal yang disebutkan dalam sajak tersebut, dijanjikan orang itu akan menjadi muslim “yang baik”, dianggap demikian karena ia melaksanakan amalan agama secara tuntas. Sajak ini sangat populer di kalangan para santri di Pulau Jawa, terutama di lingkungan pesantren.

Karenanya sangatlah penting untuk mengamati adakah sajak itu tetap digemari oleh kaum muslimin Sunni tradisional? Hal ini menjadi penting karena sebuah faktor, kalau ia tetap dilestarikan, maka hal itu menunjukkan kemampuan muslimin Sunni tradisional menjaga budaya kesantrian mereka di alam serba modern ini. Jadi kemampuan sebuah kelompok melestarikan sebuah sajak bukan sekedar “peristiwa lumrah”. Peristiwa itu justru menyentuh sebuah pergulatan dahsyat yang menyangkut budaya kelompok Sunni tradisional melawan proses modernisasi yang dalam hal ini berbentuk westernisasi (pembaratan). Bahwa sajak itu, dalam bentuk sangat tradisional dan memiliki isi kongkrit lokal (Jawa), justru membuat pertarungan budaya itu lebih menarik untuk diamati.

Sebuah proses maha besar yang meliputi jutaan jiwa warga masyarakat, sedang terjadi dalam bentuk yang sama sekali tidak terduga. Demikian juga dengan sajak tersebut yang berisi “perintah agama” untuk berdzikir tengah malam, mengerti dan memahami isi kandungan kitab suci al-Qur’ân, bergaul erat dengan para ulama dan berpuasa untuk menjaga hawa nafsu, adalah hal-hal utama dalam asketisme (khalwah) yang merupakan pola hidup ideal bagi seorang muslim, yang menempa dirinya menjadi “orang baik dan layak” (shaleh). Jika anjuran itu diikuti oleh kaum muslim dalam jumlah besar, tentu saja keseluruhan kaum muslimin akan memperoleh “kebaikan” tertentu dalam hidup mereka. Gambaran itu sangat ideal, namun modernisasi datang untuk menantangnya.

*****

Dalam sebuah perhelatan perkawinan di Kota Solo, penulis mengalami sendiri hal itu. Ketika sebuah kelompok band menampilkan permainan lagu “Tombo Ati” itu secara modern. Penulis sangat tercengang. Pertama, oleh kenyataan sebuah produk sastra yang sangat kuno (walaupun berupa terjemahan) dapat disajikan dalam irama yang tidak terduga sama sekali. Mungkin irama jazz itu bercampur dengan langgam Jawa, namun ia tetap saja sebuah iringan jazz. Mungkin tidak semodern permainan Sadao Watanabe, namun bentuk jazz dari “Tombo Ati” itu tetap tampak dalam sajian sekitar 5 menit itu.

Di sini kita sampai kepada sebuah kenyataan, munculnya berbagai bentuk dan sajian tradisional dengan mempertahankan “hakikat keaslian” di hadapan tantangan modernitas. Tidak hanya penampilan alat-alat musiknya saja, melainkan dalam perubahan fungsi dari sajak itu sendiri. Kalau semula sajak itu dimaksudkan sebagai pesan moral sangat ideal bagi kaum muslimin, namun dalam pagelaran tersebut berubah peran menjadi sebuah hiburan.

Tentu saja kita tidak dapat menyamakan pagelaran musik yang menggemakan “Tombo Ati” dengan Debus dari Banten, yang memperagakan manusia tidak berdarah ketika ditusuk benda tajam. Dengan mudah kita mengatakan “penari” Debus seperti itu, sebagai orang yang belasan tahun lamanya menahan diri dari memakan sejumlah makanan dan membatasi kebiasaan yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak menyadari, sebenarnya untuk melakukan pertunjukan Debus itu, seseorang secara “tirakat” haruslah menahan diri dari kebiasaan-kebiasaan itu.

Dengan demikian untuk menjalankan pertunjukan itu terdapat keyakinan agama dan mereduksi kebiasaan keseharian menjadi latihan-latihan biasa. Ini memiliki arti perjumpaan serius (encounter) antara peradaban tradisional dengan peradaban modern. Ini adalah kenyataan hidup yang harus dihadapi bukannya dihardik atau disesali (seperti terlihat dari sementara reaksi berlebihan atas pagelaran “ngebor” dari Inul). Sudah tentu ini adalah kenyataan yang tidak dapat dihindari, karena di sinilah letak hubungan langsung antara kesenian dan dunia pariwisata.

*****

Perjumpaan antara yang tradisional dan yang modern itu dimungkinkan oleh kerangka komersial yang bernama pariwisata. Dengan demikian jelas bagi kita bahwa dalam tradisionalisme ada juga mengandung watak-watak yang tidak komersial, namun harus didorong untuk maju. Contohnya penampilan sajak (Tombo Ati) itu dalam sajian jazz adalah sesuatu yang sangat menarik untuk diamati. Jelas dari proses penampilan (Tombo Ati) itu terjadi sebuah proses yang oleh para pengamat perkembangan masyarakat disebut sebagai “proses tawar menawar” (trade off) yang sering terasa aneh, karena menampilkan sesuatu yang tidak tradisional maupun modern. Kemampuan melakukan tawar-menawar seperti itulah, yang sekarang  dihadapi kebudayaan kita.

Bahkan hal itu juga terjadi dalam perjumpaan antaragama. Ketika agama Buddha dibawa oleh Dinasti Syailendra ke Pulau Jawa dan bertemu dengan agama Hindu yang sudah terlebih dahulu datang, hasilnya adalah agama Hindu-Buddha (Bhairawa). Agama Islam yang masuk ke Indonesia juga mengalami hal yang sama. Perjumpaan antara ajaran formal Islam dengan budaya Aceh misalnya melahirkan “seni kaum Sufi” seperti tari Seudati, yang dengan indahnya digambarkan oleh James Siegel dalam Rope of God. Berbeda dari model Minangkabau yang mengalami perbenturan dahsyat bidang hukum agama, antara hukum formal Islam dan ketentuan-ketentuan adat. Hasilnya adalah ketidakpastian sikap yang ditutup-tutupi oleh ungkapan “Adat Basandi Sara’ dan Sara’ Basandi Kitabullah”. Di Gua (Sumatera Selatan) yang terjadi adalah lain lagi, yaitu ketentuan adat jalan terus sedangkan hal-hal tradisional pra-Islam juga dilakukan. Di Pulau Jawa yang terjadi adalah hubungan yang dinamai oleh seorang akademisi sebagai “hubungan multikeratonik”. Dalam hubungan ini kaum santri mengembangkan pola kehidupan sendiri yang tidak dipengaruhi oleh “adat pra-Islam” yang datang dari keraton.

Perkembangan keadaan seperti itu, mengharuskan kita menyadari bahwa setiap agama di samping ajaran-ajaran formal yang dimilikinya, juga mempunyai proses saling mengambil dengan aspek-aspek lain dari kehidupan budaya. Di sinilah kita harus selalu menerima adanya perkembangan empirik yang sering dinamakan studi kawasan mengenai Islam. Dalam hal ini, penulis melihat perlunya studi kawasan itu untuk setidak-tidaknya kawasan-kawasan Islam berikut: Islam dalam masyarakat Afrika-Utara dan negara-negara Arab, kawasan Islam di Afrika Hitam, Islam dalam masyarakat Turki-Persia-Afganistan, Islam di masyarakat Asia Selatan, Islam di masyarakat Asia Tenggara dan masyarakat minoritas Islam yang berindustri maju. Kedengarannya mudah membuat studi kawasan (area-study) Islam, tapi hal itu sebenarnya sulit dilaksanakan.