Kembali ke 1B Rekaman Proses

Rakyat Jangan Ditipu-tipu Terus

1B Rekaman Proses
Rakyat Jangan Ditipu-tipu Terus
Judul
Rakyat Jangan Ditipu-tipu Terus
Editor (Penyunting)
Siane Indriani
Penerbit
Penerbit Pabelan Jayakarta, Jakarta, 1998 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Prakata

Pengantar

Daftar Isi: 

  • Reformasi Masih di Kulit
  • Subsidi yang keliru
  • Menteri Jangan bermewah-Mewah
  • Semua Dibawa ke Jawa
  • Tanggalkan Baju ABRI

Lampiran:

  • Hasil Jajak Pendapat telepoling RCTI Tanggal 10-14 Agustus 1998 yang Ditayangkan dalam Acara “Dialog Interaktif”

Sinopsis

Buku ini adalah transkrip dari acara dialog Bersatu Bangun Bangsa yang ditayangkan oleh RCTI pada 17 Agustus 1998, bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-53. Narasumber dalam dialog ini antara lain: Gus Dur (Ketua PBNU), Emil Salim (Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, 1978-1993), Theo L. Sambuaga (Ketua DPP Golkar), dan Muhammad Sobary (Pengamat Politik LIPI).

 

Program ini biasanya direkam di Studio 5 RCTI, namun karena pertimbangan kesehatan Gus Dur, edisi “Bersama Mengatasi Krisis” direkam dari kediaman beliau, Ciganjur, Jakarta Selatan. Sebagaimana diketahui, tahun 98, pasca Orde Baru, Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi. Untuk lepas dari kondisi saat itu, selain pemerintah, tokoh masyarakat diminta ikut berkontribusi.

 

Ada lima tema obrolan dalam dialog tersebut, antara lain: Reformasi Masih di Kulit, Subsidi yang Keliru, Menteri Jangan Bermewah-Mewah, Semuanya Dibawa ke Jawa, Tanggalkan Baju ABRI. Semuanya itu membincang isu-isu yang menyangkut pemerintahan. Harus ke mana negeri ini menghadapi situasi yang mencekam.

 

Gus Dur dan narasumber yang lain, menjawab pertanyaan yang dilempar oleh moderator (Chrys Kelana), dari kelima tema tersebut. Pertama, tentang Reformasi yang masih sebatas kulit, belum mengarah ke substansi.

 

Gus Dur mencontohkan adanya Perpu No.2/1998, yang sangat melindungi pemerintah, bukan melindungi hak rakyat bersuara. Roh otoriternya masih kuat. Aparat diperkenankan membubarkan aksi, pembatasan waktu dan tempat tertentu—semuanya harus dalam pantauan aparat (polisi). Bagi Gus Dur, pemerintah terlalu sering campur tangan dalam kehidupan sosial masyarakat, termasuk isi khutbah Jum’at yang harus diatur.

 

Kedua, pergantian pemerintahan di tingkat Gubernur, masih didominasi ABRI dan Jakarta sentris, bukannya dari DPRD Daerah. Menurut Gus Dur, Gubernur Irian Jaya (sekarang Papua), harus ditentukan oleh rakyat Irian  Jaya dan dipilih di Jayapura, bukannya di Jakarta.

 

Praktik berdemokrasi masih serba uang. Demokratisnya seolah-olah. Melihat kondisi yang demikian, Gus Dur melihat bahwa rakyat ditipu-tipu terus oleh pemerintah.

 

Ketiga, seringkali pemerintah kebijakannya tidak tepat sasaran. Satu contoh subsidi minyak goreng. Orang kaya dan miskin sama-sama bisa mendapatkan harga murah. Hal ini mendapatkan kritik dalam dialog ini, harusnya subsidi diperuntukkan kepada yang berhak, kelompok penerima, bukan kepada barangnya (produk).

 

Keempat, para Menteri dan pemerintah harus hidup sederhana. Memberi contoh kepada rakyat di tengah krisis. Bukan malah hidup bermewah-mewah. Kritik terhadap anggaran subsidi bunga kredit mobil, kunjungan kerja dan menginap di hotel mewah, dilontarkan dalam dialog ini. Gus Dur menyisipkan pesan untuk para pemimpin supaya hidup sederhana, jika terjadi krisis kepercayaan kepada pemimpin, masyarakat nanti enggan bergerak, apatis terhadap situasi yang dialami oleh negara.

 

Kelima, adalah pemerataan. Semua potensi pertumbuhan ekonomi diarahkan ke Jawa semua. Padahal di provinsi-provinsi lain harusnya diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang.

 

Selain itu, Gus Dur mengomentari dua masalah besar di Indonesia saat itu. Pertama adanya kelompok separatis yang ingin mendirikan negeri-negeri kecil, berdiri sendiri, seperti Irian, Timtim, Maluku Utara, Aceh, Kalimantan, dan lain-lain. Kedua, kelompok yang menginginkan penerapan hukum Islam di Indonesia (fundamentalis). Kedua kelompok ini sama-sama membahayakan dalam kehidupan bernegara. Gus Dur menyatakan, harus dicegah.

 

Buku ini cukup menarik bila melihat situasi negara saat ini. Aktornya berbeda, situasi dan masalah masih sama. Hal itu selalu berulang-ulang di setiap pergantian pemimpin. Yang dikehendaki Gus Dur, rakyat janganlah ditipu-tipu terus, kasihan.