Kembali ke 2 Bunga Rampai

Seni Dalam Masyarakat Indonesia – Bunga Rampai

2 Bunga Rampai
Seni Dalam Masyarakat Indonesia – Bunga Rampai
Judul
Seni Dalam Masyarakat Indonesia – Bunga Rampai
Editor (Penyunting)
Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono
Penerbit
PT.Gramedia, Jakarta, 1983 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Daftar Isi

Pengantar

 

  1. Kenyataan, Dugaan, dan Harapan: Tentang Perkembangan Satra Kita Akhir-akhir Ini
    Oleh: Sapardi Djoko Damono
  2. Beberapa Kecenderungan Angkatan Baru Seni Rupa Indonesia
    Oleh: Popo Iskandar
  3. Sekitar Bangkit dan Runtuhnya Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia
    Oleh: Jim A. Supangkat
  4. Film Indonesia Menjadi Tuan Rumah di Negeri Sendiri
    Oleh: Umar Kayam
  5. Film Dakwah: Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk
    Oleh: Abdurrahman Wahid 
  6. Wayang sebagai Sarana Komunikasi
    Oleh: Singgih Wibisono
  7. Arsitektur Tradisi dan Kemungkinan Penggunaannya dalam Pembangunan Perumahan Rakyat di Indonesia
    Oleh: Edi Sedyawati
  8. Fungsi Teater Rakyat bagi Kehidupan Masyarakat Indonesia
    Oleh: James Danandjaja
  9. Topeng Betawi
    Oleh: Muhadjir & Lukman Hakim
  10. Randai dan Beberapa Permasalahannya
    Oleh: Mursal Esten
  11. Srimulat Kesenian Kota
    Oleh: J.B. Kristanto
  12. Ngesti Pandowo: Suatu Persoalan Kitsch di Negara Berkembang
    Oleh: Umar Kayam
  13. Dangdut: Sebuah Pencarian Identitas
    Oleh: Mona Lohanda
  14. Musik Pop Indonesia: Suatu Kekebalan Sang Mengapa
    Oleh: Remy Sylado
  15. Citra Ballet Indonesia
    Oleh: Edi Sedyawati
  16. Novel-novel Populer Indonesia
    Oleh: Jakob Sumardjo

 

Daftar Karangan

Para Penulis

Indeks

Sinopsis

Kesenian dan kebudayaan adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Kesenian yang lahir di masyarakat merupakan salah satu perwujudan dari kebudayaan. Dangdut, srimulat, teater, tarian, wayang, film, dan semua jenis kesenian yang hadir di tengah kita memiliki corak kebudayaan masing-masing, tergantung di mana ia tumbuh.

 

Buku bunga rampai tentang kesenian dalam masyarakat ini semula disusun sebagai bahan bacaan mahasiswa untuk mendampingi mata kuliah Perkembangan Masyarakat dan Kesenian Indonesia. Mata kuliah wajib bagi seluruh civitas di Fakultas Sastra.

 

Namun kemudian diperluas lagi karena peminat atau pengkaji di bidang kesenian tidak hanya terpaku pada mahasiswa an sich. Bisa saja pengelola seni, politisi, jurnalis, atau bahkan para orang tua yang tengah mendampingi putra-putrinya belajar, dan masyarakat secara umum penikmat kesenian.

 

Sebab itu, buku ini terkesan seperti gado-gado, tidak sistematis, karena keluasan cara pandang dari masing-masing penulis. Justru hal itu yang menjadi letak kekayaan dalam buku ini.

 

Tulisan dalam buku ini sebelumnya sudah pernah dimuat di majalah maupun koran harian, bahkan ada juga yang sudah dipresentasikan sebagai kertas ceramah atau diskusi. Ada tulisan yang ditujukan ke hal ihwal lebih umum, untuk masyarakat Indonesia secara keseluruhan, ada tulisan yang luas tapi khusus, seperti masyarakat kota-kota besar, ada pula yang sempit dan khusus, spesifik masyarakat Betawi penggemar pertunjukan topeng.

 

Ada enam belas tulisan yang menyentuh berbagai bidang kesenian. Ada seni sastra, seni rupa, seni musik, film, teater, wayang, tari, dan seni arsitektur.

 

Tulisan Gus Dur dalam buku ini, “Film Dakwah: Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk”, tercatat pertama kali diunggah untuk diskusi mengenai film dakwah yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, pada tanggal 19 Juli 1982.

 

Paragraf demi paragraf yang ditulis Gus Dur tampak sekali kalau beliau penyuka film. Banyak referensi film yang disajikan, terutama film-film produksi luar. Seperti, The Big Knife, On The Waterfront, High Noon, The Man Who Shot Liberty Valance, dan lainnya. Menurut Gus Dur, film adalah sebuah cerminan kehidupan masyarakat dari tempat hidup sang sineas.

 

Hal ini juga berlaku pada film-film dakwah atau tema religi. Dalam analisanya, karya dari luar, seperti The Message dan Lion of the Desert, sangat berbeda sentuhannya dengan hasil kreasi dari seniman tanah air.

 

Dua karya Moustapha Akkad lebih mencerminkan dakwah Islam kepada esensinya, pesan-pesan keadilan dan nilai-nilai ketauhidan tersaji dengan apik. Sementara yang tercermin dalam film Panggilan Tanah Suci, produksi tanah air, yang ditampilkan adalah sisi kebenaran formal (ritual, simbol, ucapan formal-kalimat suci).

 

Kesimpulan Gus Dur, bahwa film-film dakwah di Indonesia pada masa mendatang akan lebih berharga jika tidak terjebak pada penyampaian pesan-pesan formal, seperti khutbah yang divisualkan. Akan tetapi lebih berani untuk kritis dan penyajiannya lebih beragam, tidak satu sisi dalam menuntaskan konflik. Tidak melulu berakhir insaf dan keluar kalimat suci.