Film Dakwah: Diperlukan Keragaman Wajah dan Kebebasan Bentuk

Sumber Foto; https://www.tribunnews.com/seleb/2021/10/19/sinopsis-3-alif-lam-mim-aksi-abimana-aryasatya-dan-cornelio-sunny-usut-kasus-pengeboman

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

I

Film adalah pencerminan dari sebuah masyarakat, yaitu masyarakat tempat pembuatan film itu sendiri, dalam arti tempat sang sineas, pendukung dan awak produksi hidup di dalamnya. Ini berlaku baik untuk film-film yang sulit dimengerti karena abstraknya penampilan film yang dihasilkan, seperti The Big Knife, maupun film yang begitu setia menggambarkan kehidupan yang ada secara realiatis dan visual, secara apa adanya, seperti On The Waterfront. Kalau ingin dilihat kebenaran diktum bahwa film adalah pencerminan kehidupan masyarakat tempat hidup sang sineas, dapat dilihat contoh Rashomon karya Akira Kurosawa. Masyarakat masa lampaunya Kurosawa itu jelas bukan masyarakat yang benar-benar terpentas pada kurun zaman penceritaan film itu, melainkan penggambaran dari masyarakat masa Kurosawa sendiri hidup, masyarakat setelah Perang Dunia II, walau seberapa jauhnya sekalipun sang sineas sendiri mencoba dengan sangat setia menggambarkan pola, ciri, dan kebiasaan masyarakat yang diangkatnya ke layar putih. Ada sebuah hal yang “tidak dapat dicuri”: watak kehidupan yang digambarkan. Perkecualian hanya dapat dilihat pada satu jenis film saja, yaitu film-film epik yang mencoba menggambarkan sejarah pada zaman cerita film itu sendiri berlangsung, seperti Quo Vadis. Atau film yang tidak berpesan apa-apa, jadi tidak bertitik tolak dari ekspresi jiwa tertentu yang berwatak kreatif.

Kebesaran seorang pembuat film justru terletak pada kemampuan “lintas waktu” tersebut: universalitas gagasan yang dipesankannya, yang bertitik tolak dari kurun waktu pembuatan film, ternyata dapat diproyeksikan ke dalam sebuah kurun waktu penceritaan masa lampau (atau masa datang, dalam konteks film-film science fiction dan parodi). Bahkan masih terdapat kepahlawanan di tengah mediokritas sikap hidup masyarakat di abad kedua puluh ini, terdapat sama jelas dan sama penuhnya antara High Noon dengan setting abad kesembilan belas dan Bad Day and Black Rock yang ber-setting abad ini, atau yang ber-setting sama tetapi dengan titik tolak berlainan (walaupun masih sama inti pesannya), seperti antara The Man Who Shot Liberty Valance dan film komedi Dynamite Jack. Kepalsuan sikap manusia sama jelas seperti Wages of Fear, maupun dalam bentuk tragi-komedi seperti Billy Liar. Juga Swashbuckling mentality (mental asal jagoan) dari film-filmnya Errol Flynn yang sama “keberanian konyolnya” John Travolta dalam The Urban Cowboy.

Watak dasar yang mendukung keberhasilan proyeksi pesan sebuah film itu langsung membawa kita kepada jantung permasalahan dalam meninjau film-film dakwah kita. Film-film dakwah kita ternyata tidak lain adalah pencerminan masa pembuatannya, tidak lebih dan itu kenyataan dasarnya. Dan dari sudut inilah kita berangkat ke alam pengembaraan film-film tersebut.

II

Masyarakat Muslim (betapa belum sempurnanya sekalipun ia disebut demikian) abad ini di negeri kita adalah sebuah masyarakat yang masih bergumul dengan sebuah kenyataan obyektif yang tidak dapat diingkari: kecenderungan untuk memperlakukan (dan dengan demikian menampilkan) Islam secara formalitas. Statement umum ini dapat diuji kebenarannya baik kalau film-film dakwah kita diteropong secara keseluruhan, dalam arti film sebagai medium komunikasi maupun kalau di-“bedah” aspek-aspek parsial yang mendukungnya.

Pendekatan pertama, yaitu film sebagai sebuah medium visual dalam keutuhannya, menyajikan perbedaan sangat jauh dalam penanganan “pesan keagamaan” antara film-film dakwah kita dan sejumlah film asing yang menggarap bidang yang sama, seperti The Message dan Lion of the Desert, dua-duanya karya Moustapha Akkad. Pada kedua film terakhir ini jelas sekali pesannya sebagai penggambaran “apa itu Islam”. Juga sama-sama menggunakan beberapa bentuk ungkapan formal keagamaan, seperti “sebutan” Allahu Akbar dan sebagainya. Namun totalitas kedua film itu adalah penggambaran Islam sebagai suatu keyakinan atas kebenaran esensial dari Islam, bukannya kebenaran formalnya, seperti tercermin dalam Panggilan Tanah Suci-nya trio Djamaluddin Malik-Usmar Ismail-Asrul Sani. Atheis pun, yang dalam versi bukunya tidak begitu meributkan perangkat formal agama, dalam versi film ternyata disudahi dengan “pernyataan resmi” Hasan di ujung hayatnya: ucapan berbahasa Arab La ilaha illallah. Seolah-olah tanpa itu ia akan tetap kafir dan tidak akan diterima Tuhan di sisi-Nyal

Apalagi kalau perbandingannya kita teruskan dengan film-film yang menggambarkan pesan agama lain. The Priest of St. Pauli mempersoalkan moralitas dalam bentuknya yang paling akut: pergulatan segi tiga antara Curt Jurgens sebagai pastor dan dua unsur di luar dirinya yang saling berhadapan. Di satu pihak ia harus memegang kemerosotan moral agama di sarang kejahatan dan kebobrokan di wilayah St. Pauli itu, di lain pihak cibiran warga-warga gereja yang salah di luarnya. Formalitas agama bukanlah apa yang ditampilkan dalam film ini, melainkan justru dipersoalkan kebenarannya. Boys Town, walaupun di situ tampak betapa vitalnya penampilan dan kehadiran bapak pastor, ternyata lebih terasa sebagai “film karitas” dan peragaan keterampilan psikologis daripada sebuah film keagamaan. Our Lady of Fatima yang nyata-nyata mempersoalkan masalah formal (kebenaran klaim sang gadis yang telah melihat Tuhan) dalam kehidupan beragama kaum Katolik, terasa lebih berwatak historis daripada peragaan formalitas agama itu sendiri. Juga jauh benar bedanya dengan pendekatan “mempersoalkan kebenaran agama itu sendiri” yang menjadi tema penggarapan The Singer Not The Song. Pengorbanan pendeta John Mills untuk membela bajingan Drik Bogarde akhirnya hanya membawa sebuah pengakuan “formal”: sang bajingan menghembuskan nafas penghabisan dalam pelukan agama Kristen bukan karena kebenaran agama itu, melainkan karena ia takluk kepada pembawanya, sang pendeta.

Kalau film seperti Atheis saja harus dituntut untuk berakhir pada sebuah pernyataan resmi keagamaan seperti itu, padahal ia berangkat dari sebuah karya sastra yang jarang dianggap sebagai “sastra agama”, maka dapat dibayangkan betapa besar desakan untuk membuat penggambaran filmis atas kebenaran agama dalam bentuknya yang paling formal. Lucunya, hanya ada satu genre yang dapat melepaskan diri dari pola ini, yaitu film-film action seperti film-film silat. Mungkin karena memang ia tidak berangkat dari kerangka acuan sebagai film agama, melainkan sebagai sebuah film yang lebih menekankan aspek hiburan.

III

Pendekatan secara parsial atas film-film dakwah lebih memperkuat hasil pengamatan di atas. Tidak ada satupun yang tidak merasakan “kebutuhan” menampilkan wajah formal agama dalam bentuk sangat menonjol: close up masjid dan surau, ucapan secara formal menunjukkan kadar “kemusliman”, lokasi cerita di pesantren atau di lingkungan keluarga sangat beragama, peragaan berbagai jenis peribadatan ritual, itu semua adalah “ciri khas” film-film dakwah kita.

Sudah itu adegan-adegan yang memperlihatkan “kebenaran formal” agama itu tidak urung masih dibebani pula oleh sebuah hal lain yang membelenggu penampilan film-film kita sebagai ekspresi seni: pendekatan satu sisi saja yang dilakukan dalam menggarap masalah. Yang belum yakin nantinya akan menjadi orang beriman penuh pada akhir film, yang menghina kebenaran agama nantinya akan insyaf pada ujung cerita, dan yang menentang agama nantinya akan menerimanya dengan tulus pada kesudahan kisah, itu semua adalah pendekatan yang diambil. Proses kejiwaan yang begitu kompleks yang digambarkan Achdiat K. Mihardja dalam novel Atheis, oleh Sjuman Djaya diredusir menjadi tema usang di atas: Rusli yang mati “mencari kebenaran” yang dibawakan (dan di layar putih dilambangkan oleh teriakannya memanggil nama) Hasan, sinisme terhadap kebenaran agama yang diperlihatkan Anwar berkesudahan pada kekalahan di hadapan kebenaran (digambarkan oleh Hasan yang merobek tenggorokan Anwar dengan pisau cukur) dan penemuan kebenaran agama yang dilambangkan oleh ucapan “tiada Tuhan melainkan Allah” yang keluar melalui mulut Hasan sebelum ia tersungkur tertembak tentara Jepang.

Bahkan keraguan seseorang, yang dapat mencerminkan pertentangan antara tuntutan akal dan ilmu pengetahuan di satu pihak akan otonomi penuh dari “kungkungan agama” seperti digambarkan dengan indahnya sebagai subtema dalam sejumlah film non-agama. (Dr Zhivago, War and Peace, The Stranger, The Brothers Karamazov dan disentuh dengan ringan oleh genre “film ekstensialis”, seperti Vivre pour Vivre dan Un Homme et une Femme karya Lelouch), dalam film-film dakwah kita menjadi forum khotbah akan subordinasi ilmu pengetahuan kepada kebenaran agama. Panggilan Tanah Suci adalah contoh dari penanganan sesisi seperti itu. Dari semula, dokter yang memuja kebenaran ilmu pengetahuan dan meremehkan kebenaran agama sudah diletakkan dalam kedudukan “sekuen pertama” sebuah perjalanan panjang yang berujung pada pernyataan formal “menemukan kebenaran”. Tidak heran jika tidak terpancar secara kuat kepribadian pembangkang dan tokoh “rewel yang harus dituntun sedikit demi sedikit” ke jalan yang benar ini! Tidak ada dialog antara dua pandangan yang sama-sama kuat, tetapi kemudian yang satu mampu menundukkan yang lain melalui kesulitan yang luar biasa, melainkan hanya sebuah monolog sebuah pandangan sangat kuat dengan “teman berlatih” (sparring partner) lemah. Tidak heran kalau lalu menjadi hambar, sehambar menyaksikan latihan petinju melawan karung pasir! Stalag 17 yang diandalkan hanya menjadi tontonan action belaka, ternyata masih lebih mampu mencerminkan pertarungan dua sikap jiwa yang sama kuat, tetapi kemudian “dimenangkan oleh kebenaran”.

IV

Jelaslah dari penggambaran situasi film-film dakwah kita di atas, bahwa para ‘karyawan film’ kita masih harus bergulat dengan dua hal utama: formalisme agama dan penyajian kebenaran secara sesisi belaka. Ini jelas merupakan hambatan kolosal kalau kita inginkan penampilan tema-tema secara lebih meyakinkan dalam dunia perfilman kita.

Untuk itu, diperlukan sebuah sikap yang berani dari kalangan film kita, justru untuk mempertanyakan validitas penyajian agama dalam bentuknya yang paling formal itu. Fenomena terakhir ini tidak hanya terasa dalam dunia film, melainkan di hampir sektor kehidupan. Dengan intensitas sangat tinggi, desakan demi desakan diajukan oleh para “aktivis keagamaan” (yang umumnya bukan agamawan) agar Islam dilaksanakan secara tuntas. Formalisme ini, terutama di kalangan angkatan muda golongan elite, berkumandang dalam forum apapun, tidak mau berbagi tempat dengan kekurangajaran sikap terhadap agama. Kegiatan masjid-masjid kampus, terutama dalam bulan Ramadhan, menyajikan sebuah contoh sederhana dari “kebangkitan Islam” secara formal tersebut.

Bukankah fenomena yang terpampang begitu konkret dalam hampir semua sektor kehidupan itu justru menjadi “makanan empuk” bagi dunia perfilman kita, untuk membuat film bertema dakwah yang mampu berbicara secara kompleks dan demikian meyakinkan? Bukankah telah sah gagasan untuk mengolah formalisme agama itu sendiri sebagai tema garapan? Asrul Sani yang begitu sesisi dalam Panggilan Tanah Suci, ternyata mampu berkembang menjadi penyaji cerita menarik secara filmis dan mengolah sajian film dengan keragaman wajah mengagumkan tentang Tigor dan kawan-kawan dalam Bulan Di Atas Kuburan. Mengapakah ia tidak mencoba menggumuli kembali tema dakwah dengan kekayaan penyajian film yang semakin kompleks penanganannya dengan beragam wajahnya.

Dapat disimpulkan di sini, bahwa film-film dakwah di masa datang hanya akan menjadi tontonan yang berharga kalau mampu mengembangkan keberanian untuk melepaskan diri dari bentuk penyampaian formalitas belaka, di samping mampu membebaskan diri dari pelemparan dan penanganan masalah secara sesisi belaka. Kebebasan “bentuk penggarapan masalah” dan keragaman “penyajian masalah” adalah keharusan mutlak, kalau kita merasa ikut terlibat dengan masa depan film sebagai medium dakwah agama Islam.