Judul |
---|
The Wisdom of Tolerance – A Philosophy of Generosity and Peace |
Penulis |
Abdurrahman Wahid and Daisaku Ikeda |
Penerbit |
I.B. Tauris & Co. Ltd, London - New York, 2015 |
Kategori |
1B Rekaman Proses, Bahasa Inggris, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
2015 |
Judul Tulisan
- The Mission of All Religions – Peace
- A Bridge of friendship to the World
- The Struggles of Youth and the Search for Answers
- Toward a Century of Human Rights
- Cultural Exchange is the Source of Creativity
- The Spirit of Tolerance
- Education, the Golden Pillar of Siciety
- The Vital Roles of Women and Youth
Sinopsis
The Wisdom of Tolerance is a dialogue between the late Abdurrahman Wahid (1940–2009), eminent Islamic leader and first democratically elected president of the Republic of Indonesia, and Daisaku Ikeda, Japanese Buddhist thinker and president of the SGI. The book chronicles a series of discussions that took place during the opening decade of the twenty-first century, beginning in 2002, the year following the 9/11 terror attack on the United States. It arises from the authors’ shared belief in the need to advance dialogue among religions and civilizations as an active form of resistance against the prevailing mood of fear, prejudice and isolationism that is characteristic of the times.
Samuel Huntington, in his book The Clash of Civilizations, wrote that whereas in the postwar era the greatest division facing the West was the Iron Curtain, now it is the difference between Western Christianity and Islam. In response to this, and as an advocate of a liberal, reforming Islam, Wahid asserts: “It is not a question of whether differences between civilizations create clashes; such clashes are not caused by differences in lifestyles but by political and economic interests. The problem arises when one civilization attempts to impose its values on another, which never succeeds. There is no necessity for civilizations to clash just because they are different. And if they do clash, it is usually a result of misunderstandings or prejudices rather than actual differences . . . . The important thing is to respect our mutual differences and accept the diversity and plurality of the existing reality”.
Offering a definition of tolerance, Ikeda states: “True tolerance is one and the same with the refusal to accept any form of violence or injustice that threatens the worth and dignity of human life, and is exemplified by a life in which we do not ignore the plight of others but traverse upon the path to happiness together”.
How are we to overcome the narrow-minded intolerance that underlies war and conflict? How can we broaden the bonds of our humanity that unites us? These and other questions are addressed through conversations that traverse the history of Buddhism and Islam and the pathways of cross-cultural and religious exchange through the centuries that led to the making of Indonesia and Japan. Their dialogue, which reads like an open conversation between longtime friends, is also a personal one, in which the discussants candidly share childhood memories, reflections on the people and artists that most impacted their growth, anecdotes from their respective marriages and family lives, and lessons learned from their decades-long careers in the service of human rights, women’s empowerment, education, democracy, and cultural and religious reform. In doing so, they set out to restore the spirit of tolerance as the path to peace in the twenty-first century.
https://www.daisakuikeda.org/sub/books/books-by-category/dialogues/the-wisdom-of-tolerance.html
______________________________________________________________________________________
Buku ini adalah versi bahasa Inggris dari buku Dialog Peradaban untuk Toleransi dan Perdamaian. Yang memuat dialog antara Gus Dur dan Daisaku Ikeda. Daisaku Ikeda adalah seorang penggerak perdamaian dan pendiri Soka Gakkai International, organisasi Buddhis tingkat global, yang memiliki jutaan umat di ratusan negara.
Dialog yang ada di buku ini merupakan seri dialog yang diterbitkan sejak 2009 secara berseri di Majalah Ushio, majalah bulanan Jepang bertiras 400 ribu eksemplar. Sejak September 2010, dialog itu lalu diterbitkan ke dalam buku berbahasa Jepang.
Pertemuan Gus Dur dan Daisaku Ikeda bermula saat Gus Dur mendapatkan gelar Honoris Causa dari Universitas Soka pada tahun 2002. Sejak saat itu, kedua tokoh yang mempunyai perhatian pada isu perdamaian dan toleransi ini muncul untuk melakukan dialog, dijembatani oleh Soka Gakkai Indonesia. Kalau era sekarang dialog beliau berdua bisa dibilang semacam podcast.
Buku ini telah ditata rapi dan diklasifikasikan dalam bab-bab penting yang menarik untuk dibaca. Delapan bab atau seri diskusi tersebut antara lain: Perdamaian Merupakan Misi Agama, Persahabatan sebagai Jembatan Dunia, Perjuangan dan Pencarian di Masa Remaja, Tantangan Menuju Abad Hak Azasi Manusia, Persahabatan Antarbudaya sebagai Sumber Kreativitas, Belajar Toleransi dari Sejarah Islam dan Buddha, Pendidikan Pilar Emas Masa Depan, dan Membuka Zaman Baru.
Keduanya walaupun berbeda keyakinan (agama), namun sefrekuensi dalam isu-isu kemanusiaan, memiliki kesamaan visi misi dalam menyuarakan ajaran-ajaran luhur tentang perdamaian, toleransi, dan hak asasi manusia.
Dialog menjadi jalan kebudayaan. Jalan utama menuju peradaban. Peradaban membuat manusia mencintai kehidupan dan menjaga perdamaian. Sementara jalan politik dan ekonomi sudah terlalu pengap dan memberatkan.
Di setiap bab banyak pesan-pesan penting. Petuah atau kalam hikmah dari keduanya. Seperti Daisaku Ikeda menyatakan bahwa semua agama harus bekerja sama menuju satu tujuan, yakni perdamaian. Karena agama ada untuk kebahagiaan manusia. Begitu juga dengan Gus Dur, menyatakan bahwa dalam dialog dapat menciptakan wajah manusia yang tidak memandang perbedaan suku, budaya, latar belakang sejarah serta membuka jalan untuk meningkatkan nilai-nilai universal.
Keduanya saling berbagi pengalaman selama ini dalam menyuarakan perdamaian. Gus Dur berkeliling ke Amerika dan negara-negara lain, tak lain supaya menyuarakan ajaran Islam yang benar, yakni perdamaian. Bukan kekerasan maupun peperangan, sebagaimana terjadi kesalahpahaman di negara-negara Barat terhadap Islam.
Selain membagikan nilai-nilai yang dipahami dalam ajaran Islam dan Buddha, keduanya juga berbagi kearifan dan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia dan Jepang—tentang tradisi, budaya, alam—yang menjadi daya tarik oleh banyak negara.
Dialog keduanya mengalir, saling melempar pujian atas kerja-kerja kemanusiaan yang selama ini dilakukan.