Kembali ke Keluarga

Dr. (H.C) Dra. Hj. Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum

Dr. (H.C) Dra. Hj. Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum

Biografi & Sejarah Singkat

Nama: Dr. (H.C) Dra. Hj. Sinta Nuriyah Wahid, M.Hum

Anak ke: 1 dari 18 bersaudara

Nama Orangtua: H. Abdussyakur dan Hj. Siti Anisah Syakur

Tempat Tanggal Lahir: Jombang, 8 Maret 1948

 

Sinta Nuriyah lahir di Kabupaten Jombang pada tahun 1948 sebagai putri sulung dari 18 bersaudara. Ia disekolahkan di pesantren. Pada usia 13 tahun, Gus Dur -gurunya di pesantren- jatuh cinta padanya, namun Sinta Nuriyah belum memberikan respon yang positif, hingga Gus Dur pergi menuntut ilmu ke Kairo, kemudian ke Baghdad.

 

Ketika akhirnya Gus Dur melamar (melalui surat) dari Baghdad, Sinta Nuriyah menerima dan menikahinya tiga tahun sebelum Gus Dur pulang ke Indonesia, dan yang bertindak sebagai pengganti mempelai pria dalam upacara pernikahan tersebut adalah KH. Bisri Syansuri (ayah dari Ibu Gus Dur).

 

Setelah Gus Dur pulang tahun 1971, barulah mereka meresmikan pernikahan secara formal. Kemudian Sinta Nuriyah lulus S1 Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia membantu menghidupi keempat anaknya dengan membuat dan menjual kacang goreng dan es lilin.

 

Pada 14 Maret 1993, Sinta Nuriyah menjadi korban kecelakaan mobil yang melumpuhkan separuh tubuhnya. Ia menjalani terapi fisik selama satu tahun agar dapat menggerakkan lengannya. Namun sejak saat itu, ia harus beraktivitas menggunakan kursi roda. Ia kemudian melanjutkan S2 di Pusat Kajian Wanita Universitas Indonesia (sejak tahun 2011 namanya diganti menjadi Prodi Kajian Gender Sekolah Kajian Stratejik Global UI). Untuk menuju ke lantai empat gedung universitas di mana ruang kuliahnya berada, Sinta Nuriyah dibantu dengan cara ditandu dengan menggunakan kursi plastik oleh supirnya bersama Satpam kampus, dan setibanya di atas baru pindah ke kursi roda.

 

Bersama suaminya, Sinta Nuriyah adalah aktivis pendukung Islam moderat. Ia memulai tradisi buka puasa lintas agama pada bulan Ramadan saat menjadi Ibu Negara. Ia memuji keberanian Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, dan menyebut bahwa poligami selama ini tidak adil. Banser mengamankan setiap kegiatan-kegiatannya karena ia sering mendapat ancaman dari beberapa pihak.

 

Pendidikan

  • Sekolah Rakyat (SR) Jombang
  • MM (Madrasah Muallimat) Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang
  • Strata Satu (S1) Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
  • Strata Dua (S2) Pusat Kajian Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta
  • Doktor Kehormatan bidang Sosiologi Agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta (18 Desember 2019)

 

Pengalaman, Aktivitas, dan Organisasi

  • Tenaga pengajar di Pesantren Mambaul Ma’arif, Denanyar,Jombang
  • Tenaga pengajar di Universitas Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang
  • Tenaga Pengajar di Universitas Darul Ulum, Rejoso, Jombang
  • Jurnalis Majalah Keluarga Zaman tahun 1980-1985
  • Wartawan Majalah Matra
  • Dewan Penasehat Komnas HAM
  • Ketua Pelapor Khusus Kebebasan Beragama Komnas Perempuan
  • Anggota Kongres Wanita Indonesia (KOWANI)
  • Komisi Nasional Kedudukan Wanita Indonesia
  • Pendiri Yayasan Puan Amal Hayati yang bergerak dalam bidang advokasi dan konseling terhadap perempuan dan anak korban kekerasan
  • Pendiri Yayasan al-Munawaroh yang bergerak pada pemberian bantuan dana/ beasiswa kepada anak sekolah, keluarga tidak mampu, para penyandang cacat, dan korban bencana
  • Pendiri Yayasan Bani Kyai Haji Abdurrahman Wahid yang bergerak di bidang pelestarian dan pengembangan Nilai-nilai, Pemikiran dan Keteladanan Gus Dur

 

Karier dan Perjuangan

Sinta Nuriyah memang telah memiliki pemikiran yang kritis dan perhatian sangat besar terhadap kondisi perempuan di Indonesia sejak remaja. Sejak awal ia telah melihat betapa peran dan kedudukan perempuan masih banyak yang direndahkan, utamanya di komunitas masyarakat Islam.

 

Sinta Nuriyah melihat adanya penafsiran yang masih bias gender terhadap kondisi perempuan dalam ajaran Agama Islam. Kondisi ini mengakibatkan adanya anggapan di sebagian masyarakat bahwa kedudukan perempuan tidak setara dengan laki-laki. Padahal menurutnya, perempuan adalah tokoh sentral dalam kehidupan umat manusia, karena mengemban tugas suci, melahirkan, dan mendidik anak manusia. Hal ini yang mendorong Shinta Nuriyah pada tahun 2000 mendirikan Yayasan Puan Amal Hayati, dengan tujuan agar bisa lebih efektif dalam berjuang membela hak dan membebaskan kaum perempuan dari belenggu ketertindasan dan keterbelakangan. Kata ‘Puan’ itu sendiri adalah kepanjangan dari Pesantren untuk Pemberdayaan Perempuan dan Anak.

 

Meski Sinta Nuriyah berangkat dan memperoleh pendidikan dari Pesantren Tambak Beras, sebagai pesantren yang dihormati dan sangat berpengaruh di Jombang, namun oleh kedua orangtuanya ia dididik untuk berani berpikir terbuka dan kritis. Suatu kondisi yang jarang ditemui di lingkungan pesantren tradisional saat itu.

 

Karena itu, selain advokasi dan konseling, salah satu kegiatan utama Yayasan Puan Amal Hayati adalah mengkaji dan mendiskusikan Kitab Kuning, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban perempuan dalam Islam. Kitab Kuning adalah sebutan untuk kumpulan tulisan pemikiran para ulama terkemuka atas Al Quran dan Hadits yang menjadi rujukan utama di berbagai pesantren dalam mempelajari agama Islam.

 

Sinta Nuriyah merasa perlu mengkaji masalah ini dengan mendalam dan menyeluruh, karena ia memiliki keyakinan kuat bahwa Islam mengajarkan persamaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Islam sangat menghargai dan sangat menghormati perempuan karena Islam menempatkan seluruh umatnya setara di hadapan Tuhan Yang Maha Esa.

 

Keyakinan akan kesetaraan bagi semua ini pula yang mendorong tekad Sinta Nuriyah untuk selalu berada di depan dalam membela kaum yang tertindas atau marginal, tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras atau bahkan golongan orang-orang yang dianggap memiliki perilaku menyimpang dari kelaziman kehidupan sosialnya sekalipun.

 

Sinta Nuriyah yang telah menuntaskan Program Pasca Sarjana di Pusat Studi Kajian Wanita dari Universitas Indonesia ini, ingin mengedukasi masyarakat bahwa Islam tidak menempatkan kedudukan perempuan dibawah laki-laki, seperti yang selama ini dipersepsikan oleh sebagian masyarakat muslim.

 

Sinta Nuriyah, yang dahulu juga berperan sebagai partner utama diskusi suaminya tentang banyak hal, Almarhum Gus Dur; meyakini bahwa masalah persamaan gender adalah masalah serius yang perlu mendapat perhatian besar dari kita semua. Hal ini mengingat bahwa perempuan adalah seorang ibu yang menjadi muara/oase dari perjalanan panjang peradaban umat manusia.

 

Menurut ibu dari empat orang putri yang berpikiran progresif ini; perempuan jelas memiliki peran yang tak tergantikan dan sangat terhormat dalam masyarakat, sehingga sudah selayaknya perempuan memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang tidak berbeda dengan laki-laki.

 

sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Sinta_Nuriyah yang diakses pada tanggal 25 Januari 2024 dan kemudian direvisi oleh Ibu Sinta Nuriyah melalui staf pribadinya.

Daftar Karya