Judul |
---|
Kang Sejo Melihat Tuhan |
Penulis |
Mohamad Sobary |
Editor (Penyunting) |
Suwandi S. Barata |
Penerbit |
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Juli 1995, (cetakan ke-3) |
Kategori |
3 Kata Pengantar, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
1995 |
Judul Tulisan
Daftar Isi
Pengantar: Pengamat yang Terlibat (Abdurrahman Wahid)
Bagian Pertama
State of Being-State of Becoming
Perjalanan Mencari Jati Diri
- Saya Cuma Kamino
- Ayah dan Pici
- Muhammadiyah
- Kiai Bejo
- Kuitansi
- Sandal Jepit Kesederhanaan
- Rendra, Adawiyah dan Bima
- Dunia Kecilku di Desaku
Bagian Kedua
Menyelami Islam
- Tuhan Tersenyum
- Kang Sejo Melihat Tuhan
- Saleh dan Malu
- Wolo-Wolo Kuwato
- Naik Mercy Uro-Uro
- Doa Kang Suto
- Orang-Orang Berjubah
- Sumur Kering
- Dialog
- Menakar Kewibawaan
- Sekali NU Tetap NU
- NU Masih Tetap Mengalir
- Pesantren Antara Birokratisasi Santri dan Santrinisasi Birokrasi
Bagian Ketiga
Orthodoksi-Orthopraksis
- Menyelam Dalam
- Terserah Tuhan
- Doa yang Tak Membebaskan
- Kesalehan Sosial, Kesaloehan Ritual
Bagian Keempat
Menyelami Realitas Politik dan Kekuasaan
- Klangenan
- Mantan
- Rakyat dan Ratu Adil
- Golput
- Kemiskinan dalam Isu Politik
- Sang Pemberani
- Bertahan dalam Garis
- Kumbo Karno dan Bung Hatta
- Padepokan Pandito Ratu
- Telepon
- Bayangan Bapak Pers Kita
- Kita Punya Harga Diri
Bagian Kelima
Menyelami Realitas Budaya Masyarakat
- Wanodya
- Dagelan
- Penjara
- Nonsektarian
- Kotak Sosio-Kultural
- Bunglon
- Bungkuk dan Kentut
- Masyarakat Kagetan
- Guru
- Tanah
- Virus N-Ach
- Cermin Buat Tetangga
- Individu vs Masyarakat
- Pagar
- Mapan
- Cermin dan Goro-Goro
- Gengsi
- Wong Cilik
- Wong Dagang
- Kurungan
- Bang Kasim
Sumber Karangan
Indeks
Penulis
Sinopsis
Buku ini adalah potongan-potongan tulisan seorang antropolog, Mohamad Sobary, dalam melihat realitas sosial, keberagaman. Dia memperkenalkan nama tokoh-tokoh di desa, yang mewakili cara beragamanya rakyat biasa, seperti Kang Kamino, Kang Jamono, Kang Parmin, termasuk Kang Sejo—yang ceritanya menjadi judul sampul buku.
Cara beragamanya yang luwes, sesuai dengan kearifan lokal yang dimiliki. Lebih mendalam, penuh dengan penghayatan, dan komitmen mereka terhadap agamanya.
Tulisan Kang Sejo Melihat Tuhan menjelaskan bahwa seorang yang tunanetra, tidak tahu apa-apa tentang dunia yang metropolitan, ndakik-ndakik, namun dia lebih peka dalam melihat sosok Tuhan. Dia tidak tahu doa berbahasa Arab yang fasih, doanya: Duh Gusti, Gusti Allah Ora Sare, begitu zikir yang selalu ia lafalkan di mana pun. Setiap hari tak terhitung berapa kali ucapan Duh Gusti, Duh Gusti, dalam hati atau bibirnya.
Saking yakinnya akan kasih sayang Allah yang Maha segalanya itu, ia bahkan bisa pergi haji ke tanah suci tanpa mengeluarkan uang, alias dibayari. Lain cerita, suatu ketika Kang Sejo hendak diberi zakat oleh seseorang, namun ditolaknya, karena Kang Sejo merasakan rumahnya panas. Setelah ditelisik, ternyata uang zakat itu adalah uang haram. Kang Sejo tahu dari mana? jawabannya, Gusti Allah ora sare. Tuhan tidak pernah tidur. Bahasa lainnya, ia merasakan itu dari Tuhan secara langsung.
Walaupun Kang Sejo tertutup matanya, gelap, tidak bisa melihat apa pun, namun mata batinnya mampu melihat keagungan Tuhan.
Cerita-cerita yang ditulis oleh Mohamad Sobary ini, atas pengamatannya terhadap realitas wong cilik dalam menjalani ritualnya sehari-hari. Bagi Gus Dur—dalam pengantarnya—Sobary sebagai seorang antropolog non disipliner. Ia mengkritik formalisme agama dan menyoroti religiusitas wong cilik, cara mengenal Tuhannya itu seperti apa.
Gus Dur sangat serius dalam memberikan pengantar. Ia membandingkan Sobary dengan antropolog seperti Frank Moraes, Naipul, Clifford Geertz, dan Castaneda. Pengamat-pengamat luar tersebut, bagi Gus Dur, dalam melihat realitas sosial secara akademis, fokus, dan mendalam. Sementara Sobary, sebaliknya. Ia lebih melebar, multi disiplin, tidak ada pendekatan akademis tertentu, cerita pun bisa kemana-mana, ngalor-ngidul, namun ia fokus pada pendekatan antropolognya.
Di sisi lain, Sobary ingin menampilkan wajah Islam yang pribumi. Islam yang dikenal oleh masyarakat awam, abangan, yang tidak bisa mengucapkan lafal Arab fasih, seperti Laa haula walaa quwwata illa billah, namun yang diucapkan ialah wolo-wolo kuwato, dan lainnya. Pun demikian, doa atau zikir berbahasa Jawa oleh wong cilik ini, telah memperkaya khazanah budaya Indonesia tanpa melupakan esensi Islam.
Agama sebagai bentuk ketundukan, alat untuk menuju Tuhan yang bisa didekati dengan cara apa pun. Tidak saklek. Seperti cara-cara yang dilakukan oleh Kang Sejo, Kang Parmin, atau Kang Jamono. Cara yang ia gunakan dalam melihat Tuhan penuh dengan filosofi, mendalam, dan berakar pada kehidupan rakyat kecil.
Singkatnya, bahwa religiusitas atau keimanan yang diamalkan oleh rakyat kecil ini sama sah nilainya dengan cara-cara yang dilakukan oleh para pemuka agama.