Kata Pengantar: Pengamat yang Terlibat

Sumber Foto: https://thecolumnist.id/artikel/agama-dan-nilainilai-budaya-lokal-1984

Oleh: K.H. Abdurrahman wahid

Saya mengikuti dengan rajin, jika dimungkinkan, rubrik Letter from Samenca dari Alistair Cook dalam acara mingguan World Service BBC sejak dua puluh tahun yang lalu. Dalam siaran mingguannya itu, Cocok mengupas berbagai hal yang bersangkut-paut dengan kehidupan di Amerika Serikat. Dari soal-soal politik kenegaraan hingga soal-soal kecil seperti kebiasaan makan daging ayam kalkun di hari besar Thanks giving Day. Yang menarik bagi saya bukanlah deretan hal-hal yang dibicarakan, tetapi pendekatan simpatik yang digunakan Cook, seorang warga negara Inggris, terhadap kehidupan di negeri Paman sam itu. Pendekatan simpatik itu membuatnya mampu menangkap nuansa kehidupan yang tidak terjangkau pengamat lain.

Hal sama juga terjadi pada pengamatan Mark Tully atas India, juga dalam siaran mingguan dari BBC. Belasan tahun saya ikuti siaran itu, jika keadaan memungkinkan. Tully telah memperlihatkan melalui laporan-laporannya dari India, bagaimana ia telah menyatu dengan negeri besar berpenduduk hampir satu milyar itu (sepuluh tahun lagi, atau dua puluh tahun?). Namun, semuanya itu dilakukan tanpa kehilangan obyektifitas, karena ia memang menjaga jarak dari masalah-masalah yang diamatinya.

Buah dari kedua pengamat itu sama: kemampuan membedah sasaran pengamatan, tanpa membunuhnya. Sama dengan buku Frank Moraes Repot From China, yang ditulis awal tahun-tahun lima puluhan, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (kapan lagi ada laporan seperti ini diterbitkan di negeri kita, di tengah sampah-sampah seperti karya-karya Harold Robbins?). Atau seperti karya mutakhir VS. Naipul, India: a Country of a Million Mutinies.

Kunci dari pendekatan simpatik itu adalah rasa keterlibatan yang dimiliki para pengamat tersebut. Cook dua puluh lima tahun berada di Amerika Serikat. Tully mungkin sama lamanya di India. Dan Naipul berkeliling kian-kemari mengamati sasarannya dari waktu ke waktu (termasuk ke Indonesia, menghasilkan Among The Believers, yang memang sejak semula sudah salah didekati). Tradisi pengamatan seperti ini sebenarnya juga sudah dimiliki para antropolog yang meneliti masyarakat-masyarakat yanga ada, seperti Castaneda dengan seri Indian. Pueblo-nya, atau Oscar Lewis tentang masyarakat miskin di Puertol Rico. Juga Clifford Geertz tentang “agama orang Jawa”. Atau Mitsuo Nakamura dengan gerakan-gerakan Islam di Indonesia. Dan Martin van Bruynessen dengan sasaran pengamatan kaum tarekat sufi.

Namun, ada perbedaan antara keduanya. Pengamatan “non-disipliner” cenderung melebar perhatiannya, sedangkan pengamat dari sudut disiplin tertentu akan membatasi wilayah pengamatannya hanya pada hal-hal yang dianggap relevan dengan bidang studinya.

*****

Mohammad Sobary adalah peneliti ilmiah dari pendekatan antropologis tetapi juga pengamat “non-disipliner”, dalam arti mengamati keadaan secara umum. Sifat “non-disipliner” itu adakalanya berupa penglihatan multi-disipliner atas sasaran pengamatannya, tetapi yang terbanyak adalah tanpa pendekatan disipliner apa pun. la berangkat dari kesadaran akan masalah-masalah kemanusiaan yang dihadapi oleh masyarakat kita. Kesadaran itu dapat saja muncul dalam berbagai wujud keterlibatan.

Shobary sering merasakan diri terlibat dengan pergulatan orang kecil untuk memahami kehidupan dari etika tertentu, seperti yang dilakukan Kang Jamono, Buruh-cum-pesuruh ini harus menjaga kelangsungan hidup dengan cara sendiri: adaptasi tanpa kehilangan “jatidiri” kerakyatannya. Pada saat hal itu dimungkinkan, ia menjadi abangan, yang beragama tanpa menjalankan ajaran agama itu sendiri. Di waktu hal itu tidak dimungkinkan, ia menjadi “santri yang baik”. Etika yang digunakan Kang Jamono disemboyankan oleh truk-truk perusahaan rokok Gudang Garam: Utamakan Selamat. Sewaktu menjadi orang abangan, Kang Jamono menertawakan cara hidup para santri di balik punggung mereka. Sewaktu ia “harus bersantri”, mungkin ia menertawakan diri sendiri dalam hati. “Etika marginal” seperti yang diperlihatkan Kang Jamono itu adalah etika yang memiliki keindahannya sendiri, dan juga keabsahan yang tidak dapat ditolak oleh siapa pun, kecuali agamawan berpandangan sempit yang tidak dapat menerima selain “kebenaran mutlak dari agama yang dipeluknya.

Dilihat sepintas lalu, seolah-olah tampak Sobary terlalu menerima relativitas kebenaran cara beragama yang konvensional. Seolah-olah ia tidak melihat perlunya kedalaman rasa dan pikir dalam menjalani kehidupan beragama. Apalagi hal itu diperkuat dengan sinisme dan, terkadang sarkasme, yang diperlihatkannya kepada kehidupan beragama. konvensional yang dilaksanakan secara kaku. Namun, kebanyakan tulisannya tentang cara orang kecil menghayati dan mengamalkan agama mereka justru memperlihatkan kedalaman pemahaman dan komitmen orang kecil kepada agama mereka. Kang Sejo yang bermodal doa “Tuhan tidak pernah tidur, tukang pijat tunanetra yang memiliki komitmen begitu utuh kepada Tuhan, adalah salah satu saja dari contoh yang digali Sobary dari kehidupan metropolitan ibukota kita, Jakarta.

Begitu juga seorang “tokoh” lain, penarik becak Kang Parmin, yang hanya bisa berdoa “wolo wolo kuwato”, versi Jawa dari salah satu ungkapan-sekaligus-doa bahasa Arab La haula wala quwwata illa billah (tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dari Allah). Tetapi “modal paspasan” itu disertainya dengan penuh keyakinan hati akan kebesaran dan kekuasaan-Nya. Tiada rasa khawatir atau pesimisme dalam dirinya. Juga tidak ada ketamakan dan keserakahan, dan segala sesuatu dijalani sebagaimana sebenarnya (keharusan bagi orang kecil, tentu saja). Kepasrahan yang tidak fatalistik, melainkan penyerahan diri dengan upaya memperbaiki nasib…. suatu sikap hidup yang dituju oleh Theologia Asy’ariyah yang dulu (dan sampai sekarang masih) dicela orang. Bagaimana mungkin dari kepasrahan muncul ikhtiar? Dapatkah dua hal saling bertentangan itu dipertemukan? Ternyata hal itu dilakukan, oleh orang kecil seperti Kang Parmin. Bukankah kearifan (wisdom) orang kecil lalu menjadi sama nilainya dengan metodologi para ideolog dan theolog?

Dialog antara Sobary dan kemapanan hidup beragama itu menyembulkan sesuatu yang sangat menarik: vitalitas kehidupan yang sudah melampaui batas-batas konvensionalitas agama itu sendiri. Seolah-olah Sobary menyimpulkan, bahwa agama adalah alat menuju kepada Tuhan, bukan tujuan hidup itu sendiri. Pencarian dan pengenalan akan Tuhan-lah yang menjadi wahana utama kehidupan beragama, bukannya penganutan ajaran agama secara “sempurna”. Kalau pengenalan akan Tuhan dapat dilakukan melalui cara beragama konvensional yang tuntas, hal itu tentu saja sangat baik. Katakanlah kondisi ideal dalam kehidupan beragama. Tetapi kalau para pelaku tidak mampu, melainkah hanya “beragama sekenanya” belaka, hal itu tidak mengurangi sedikit pun keabsahan hidup beragama mereka. Dari dahulu juga sudah ada elite dan orang awam dalam segala bidang, juga dalam kehidupan beragama.

“Tafsiran” atas pagelaran Sobary tentang cara hidup beragama orang kecil itu membawa kita kepada sebuah dimensi lain dari tulisan-tulisan Sobary: kesalehan atau asketisme macam apa yang harus dikembangkan dalam kehidupan beragama? Sebuah pertanyaan pelik, yang dicoba untuk diperoleh jawabannya oleh Sobary dalam beberapa kasus. Seperti kasus Haji Saleh, yang bersifat ritualistik, dalam bentuknya yang sangat ideal. Akhlaq tanpa cacat, pergaulan. sangat manusiawi dan hangat, ibadah sempurna dan ketaatan total kepada ajaran agama. Tetapi ada kekurangannya: asketisme itu tidak mendorong Haji Saleh melepaskan egoisme yang teridap dalam dirinya. la harus menjadi pemimpin, harus dituakan dan harus “didepankan”. Kesalehan lahir tidak diikuti kesalehan batin. Sebaliknya Haji Asnen, dengan doa dan kesalehan “pas-pasan saja. Mengapakah berdoa pendek-pendek saja? Karena rasa malu. Kepada siapa? Kepada Tuhan. Mengapa? Karena sudah banyak diberi, bukannya lalu bersyukur tetapi malahan nglunjak minta lebih banyak lagi. Daripada begitu, lebih baik menekankan usaha memperbaiki tingkat kehidupan, living standard. Jenis ini adalah, menurut Sobary, kesalehan sosial. Kesalehan yang meluluhkan ego ke dalam kerja.

*****

Dengan melihat beberapa sisi “garapan” Sobary tentang kehidupan beragama itu, tentu menarik pula untuk dilihat unsur-unsur garapannya. Pertama, logika yang digunakannya. Logikanya sederhana saja: orang harus konsisten sikap lahirnya dengan sikap batinnya. Religiositas yang tuntas ini adalah keutuhan holistik yang dicitakan Sobary, dan terpancar dari para pelaku tulisan-tulisannya. Gugatannya kepada kesalehan ritual Haji Saleh, adalah karena keseluruhan akhlaqnya, kerukunan hidupnya dengan sesama dan ketaatannya kepada ajaran agama berdasarkan keinginan “didepankan”, bukannya keinginan murni untuk menyerahkan diri kepada Tuhan. “Logika kepasrahan” ini tentu sangat berbeda dari logika konvensional yang mengemukakan kesempurnaan konvensional tentang bentuk dan tata cara peribadatan.

Unsur lain dari penolakan Sobary terhadap formalisme keagamaan yang kaku adalah kecendrungannya yang sangat kuat untuk melakukan “pribumisasi terhadap bentuk-bentuk ritual keagamaan, seperti doa dalam bahasa Arab dan lain-lain yang bercirikan ke-Arab-an. Itu berarti pembahasaan Jawa dari doa-doa, tetapi lebih penting lagi adalah penyerapan pandangan hidup orang Jawa ke dalam wawasan ke-Islam-an para tokoh yang ditampilkan oleh Sobary dalam tulisan-tulisannya. Penyerapan visi “hamba hanya menjalani kehendak Tuhan” (kawula namung dermi nglampahi kersanipun Gusti) ke dalam konsep wahdatus syuhud (kesatuan dalam penyaksian) kaum sufi, jelas memperkaya khazanah kultural kita sebagai bangsa, tidak hanya bagi kaum muslimin belaka. Hanya karena orang tidak mengerti tasawwuf sajalah yang menyebabkan kesalahfahaman terhadap visi orang Jawa tentang manunggaling kawulo lan Gusti (kesatuan hamba dan Tuhan), seolah-olah itu adalah “pen-Jawa-an” konsep wahdatul wujud dari aliran-aliran sempalan tasawwuf. Padahal, sebenarnya kesatuan hamba dan Tuhan itu lebih dekat (dan dengan sendirinya berwawasan) wahdatus syuhud atau kesatuan dalam penyaksian. Betapapun tingginya kesatuan antara makhluk dan pencipta-Nya (al-khaliq), tetap ada jarak tak terjembatani antara keduanya. Dengan demikian tertolaklah kemungkinan penyerapan visi polytheistik Jawa ke dalam Islam, sebagaimana ditakutkan banyak “kaum santri”. Mungkin Sobary sendiri tidak menyadari hal itu, tetapi dalam menyajikan orthopraksis kehidupan beragama orang jawa seperti Kang Sejo, Kang Suto, Kang Parmin, dan Kiyai Bejo, ia telah membantu kita semua untuk mendudukkan kaitan budaya bangsa kita dalam konteks lokalnya dan Islam, dalam cakupan universalnya.

Cukup berharga untuk disimak selanjutnya. Mampukah kita memahami kandungan seperti itu dari buku in?