2 Bunga Rampai
Ke Mana NU
Judul
Ke Mana NU
Editor (Penyunting)
Tim Wartawan Harian Surya
Penerbit
Harian Surya, Surabaya, November 1989 (cetakan ke-1)
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Judul Tulisan

Isi Buku

Sekapur Sirih

 

  1. NU, Politik, dan Tradisi Akhlaq
    Oleh: Abdurrahman Wahid 
  2. Kembali ke Khittah 26 ”Pelarian” ke Arah Pengabdian
    Oleh: KH Ali Yafie
  3. NU Tetap Jadi Kiblat Pertanyaan Politik
    Oleh: Chalid Mawardi
  4. Akses ke Semua Golongan
    Oleh: Mayjen (Purn) Moch Basofi Soedirman
  5. Otoritas Ulama Digugat
    Oleh: Masdar F Mas’udi
  6. NU, Peran Sosial dan Go Public
    Oleh: M Dawam Rahardjo
  7. Berpolitik tanpa Main Politik
    Oleh: Mohtar Mas’oed
  8. Dari Partai Baru Sampai Beragama Politik
    Oleh: Masdar F. Mas’udi, M Dawam Rahardjo, A. Malik Fadjar, William Liddle, M. Basofi Sudirman, dan KH A. Muhith Muzadi
  9. Islam, Ekspresi Spiritual atau Ajaran Kekuasaan
    Oleh: Abdurrahman Wahid 
  10. NU dan Politik, Sebuah Pseudo-dilema
    Oleh: Manuel Kaisiepo
  11. Ulama Struktural dan Ulama Fungsional
    Oleh: Anshari Thayib
  12. Isabella di Pondok Pesantren Al Munawwir
  13. Anda Mau ke Muktamar
  14. Dari Muktamar ke Muktamar

Sinopsis

Sebelum Muktamar NU ke-28 dihelat, Harian Surya menyambut acara akbar itu dengan mengadakan diskusi panel dengan topik “Ke manakah NU?”di Hotel Hyaat, Surabaya, pada Selasa 14 November 1989.

 

Dengan mengundang beberapa tokoh antara lain, K.H Ali Yaafi (Rais Syuriah PBNU), Chalid Mawardi (mantan Dubes RI di Suriah dan Yordania), Masdar F Mas’udi (P3M), M Dawam Rahardjo (LSAF), dan lainnya termasuk juga Gus Dur.

 

Ada belasan tokoh yang hadir sebagai narasumber, dengan latarbelakang profesi yang berbeda-beda. Semuanya membicarakan tentang persiapan muktamar yang akan diselenggarakan pada tanggal 25-28 November 1989 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak-Yogyakarta.

 

Kira-kira NU akan berlabuh ke mana. Kembali ke khittah yang seperti apa? Apakah khittah itu sebagai bagian mawas diri untuk menemukan jatidiri atau hanya sekadar mekanisme defensif dalam berpolitik. Berbagai spekulasi pun muncul, termasuk perbincangan peran sosial dan politik NU ke depan.

 

Hasil diskusi panel itulah yang kemudian diangkat menjadi materi buku ini. Sebagai bahan renungan peserta muktamar dan warga NU pada umumnya.

 

Dalam buku ini, gagasan-gagasan Gus Dur dijadikan dua tulisan. Yang pertama, “NU, Politik, dan Tradisi Akhlaq”. Dalam pembahasannya, Gus Dur menyampaikan bahwa NU kembali ke khittah karena dorongan tradisi keilmuan yang menegaskan dirinya dalam memelihara akhlak (moralitas) dan menghindari praktik kotor dalam politik. Kembali berdakwah, hidup bergaul dengan masyarakat, mendidik, berkhidmat, dan membantu umat. Hadir di tengah masyarakat, menjalin tali kerukunan dan menjahit ikatan sosial. Itulah kerja-kerja NU setelah kembali ke khittah; berfokus memperbaiki moral.

 

Yang kedua, “Islam, Ekspresi Spiritual atau Ajaran Kekuasaan”. Dalam tulisannya itu Gus Dur menegaskan bahwa Islam tidak harus berbentuk negara Islam. Islam bukanlah politik. Sangat berbahaya ketika Islam dijadikan sebagai alat politik untuk merebut kekuasaan. Namun ekspresi dari ajarannya (nilai spiritual) itulah yang paling penting. Jikalau politik secara terus-menerus dikaitkan dengan Islam, akan berpotensi terjadi korupsi dalam Islam, yang paling dikhawatirkan adalah Islam menjadi sekadar alat kekuasaan. Bukan moralitas yang diperbaiki namun saling berebut kursi, menghalalkan segala cara, berpolitik kotor.

 

Jika dikaitkan dengan NU saat itu, bahwa secara kelembagaan statusnya tidak terikat lagi sebagai partai atau pemain politik. Namun tetap selalu mengembangkan pandangan atau wawasan tentang politik.

 

Selain itu Gus Dur bicara tentang peran penting dari ulama dan kader NU untuk menghubungkan nilai keilmuan tradisi pesantren dan kehidupan modern, dan tantangan-tantangan internal lainnya yang perlu dihadapi. Tak lupa Gus Dur menyertakan kritik terhadap orang luar atas pandangannya yang kurang tepat terhadap NU. Sebab itu, perlunya pertukaran gagasan (cross breeding).

 

Kalau dibaca dengan seksama, kedua tulisan di atas semacam transkrip lalu dirapikan, apa yang dibicarakan Gus Dur dalam forum itu, lalu ditulis ulang.