Islam, Ekspresi Spiritual atau Ajaran Kekuasaan

Sumber Foto: https://fpscs.uii.ac.id/blog/2021/12/03/memahami-hubungan-islam-dan-kekuasaan/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

SAYA ingin melihat masalah NU dan politik dari sudut yang lain. Sekarang ini telah muncul kesadaran di antara kaum muda dan kaum tua bahwa Islam tidak dengan sendirinya berarti negara Islam. Karena itu tidak dengan sendirinya Islam membawa cita-cita politik Islam.

Itulah konsekuensi logis dari sikap kita menerima Pancasila sebagai dasar bersama. Pancasila tidak kita yakini sebagai akidah, tapi sekadar urusan dunia. Kita sadar melakukan penduniaan-penduniaan politik.

Kalau politik terus-menerus dikaitkan dengan Islam, akan terjadi korupsi terhadap Islam. Artinya, Islam tidak akan menjadi ekspresi spiritual, tetapi akan merupakan ajaran tentang kekuasaan.

Apakah ini karena pengaruh ajaran Barat, atau pengaruh kesadaran sendiri? Hal ini mengerikan. Baik Nurcholis Madjid atau saya sendiri di NU, seperti juga sejumlah teman-teman muda lainnya, ngeri kalau Islam dipolitikkan.

Kalau Islam terus-menerus dikaitkan dengan politik, bisa terjadi “korupsi” terhadap Islam itu sendiri. Artinya, Islam tidak menjadi ekspresi spiritual, tetapi lebih merupakan ajaran tentang kekuasaan

Kalau itu yang terjadi, Islam akan menjadi alat untuk merebut kekuasaan. Yang tercapai adalah lembaga politik Islam dan bukannya komunitas politik Islam. Bagaimana memelihara lembaga politik Islam dan bukannya fungsi politik Islam dalam kehidupan komunitas.

Dari orang seperti Mas Dawam Rahardjo, saya memperoleh kejernihan pikiran semacam itu. Dulu kalau saya ngomong-ngomong dengan Mas Dawam, dia mengatakan Islam harus dilepas dari politik dalam arti kelembagaan. Nah yang muncul di NU saat ini adalah seperti itu: melepaskan diri dari kelembagaan politik.

Tak bisa diabaikan, kalangan muda yang punya wawasan seperti itu cukup banyak. Seperti dikatakan Mochtar Mas’ud, melepas politik secara kelembagaan tapi mengembangkan wawasan politik. Jadi mengembangkan artikulasi pandangan politik dan bukan menjadi pemain politik. Kalau di Amerika, misalnya, menjadi seperti political action committee.

Kalau Islam dipolitikkan, Islam akan menjadi alat untuk merebut kekuasaan. Dan yang akan terwujud adalah lembaga politik Islam dan bukannya komunitas politik Islam. Yang dikembangkan adalah lembaga politik Islam dan bukannya fungsi politik Islam dalam kehidupan komunitas Islam.

Muhammadiyah mempunyai orang-orang seperti Mas Malik Fadjar atau Amin Rais yang memiliki kesadaran politik tapi tidak antipolitik. NU juga mempunyai orang seperti Lukman Harun-nya Muhammadiyah, yaitu seperti Mas Chalid Mawardi. Saya memang membenarkan. legitimate orang-orang NU beraspirasi politik, tapi tidak boleh menyamakan hal itu merupakan kepentingan NU.

Meletakkan pandangan semacam itu, merupakan hal yang sangat penting tapi sering kurang disadari. Suatu contoh. bulan Desember 1988 lalu NU mengirim Bung Gaffar Rahman ke Kabul, untuk menghadiri konferensi tentang Afghanistan. Konferensi itu melihat, konflik Afghanistan tak bisa diselesaikan secara militer saja. Jika diselesaikan secara politik, diperlukan political settlemen. Tapi kalau konsepnya begitu, diperlukan persamaan basis pandangan, Mujahiddin harus menerima paham kebangsaan, dan rezim-rezim Najibullah harus menerima paham keagamaan.

Nah, perbincangan politik seperti itu, sangat menarik. Sehingga kalau saya bertemu Kuasa Usaha Afghanistan, selalu Ghaffar yang ditanyakan.

Yang dibutuhkan sebenarnya adalah melepaskan politik secara kelembagaan, tapi mengembangkan wawasan politik. Jadi mengembangkan artikulasi pandangan politik dan bukan menjadi pemain politik.

Menarik sekali seminar tentang On human being according to different spiritual perspective yang saya ikuti di Malaysia. Para spiritualis di sana tak merasa ada perlunya mengharuskan masalah spiritualitas masuk ke dalam lembaga kenegaraan. Cukup kontroversial, memang. Tapi bagi Indonesia, hal itu cukup menjadi sebuah eksperimen yang unik.

Jadi, kalau kita ngomong tentang NU yang berpolitik, ya, hal itu wajar-wajar saja. Kalau mas Chalid Mawardi terus terang mengatakan tetap di PPP, ya, saya kira dia juga tetap NU-Khittah.

SERING saya bertanya-tanya, jika orang berbicara tentang NU, atau bahkan tentang diri saya, nampaknya seperti tuduhan. Saya kira beberapa hal memerlukan kualifikasi. Kalau kita hanya berbicara generalisasi, nuansa-nuansa yang ditampilkan akan tersembunyi.

Saya ini orang pesantren dan dididik dengan kitab kuning. Sekacau-kacaunya saya, bagian kitab kuning yang saya pegang, dalam hal-hal yang sifatnya ritual worship, saya ikut. Kalau mau tahu, kegemaran saya sekarang ini melacak silsilah tokoh-tokoh ulama.

Kegemaran saya demikian itu, merupakan titik temu dari sekian banyak ulama yang sama perhatiannya. Lewat titik temu itu, banyak nilai-nilai baru yang bisa saya tularkan.

Di NU, selama lima tahun ini, kita sudah melatih orang-orang agar memahami betul masalah masyarakat. Cara itu efektif. Sekarang, ada sekitar 10.000 orang NU yang mengerti nutrisi dan kelangsungan hidup anak. Jadi rata-rata kita telah melatih 2.000 orang setiap tahun selama lima tahun ini.

Saya berusaha memengertikan orang-orang NU bahwa organisasi bukan tujuan, tapi alat Cara untuk melakukan hubungan ke bawah. Namun masih banyak ketergantungan mereka pada macam-macam sekte, dan itu memerlukan bimbingan dari atas.

Jangan dimatikan kreasi mereka. Saya berbicara dengan mereka ketika saya keluyuran ke kuburan. Saya ketemu dengan segala macam orang. Memang saya tak pernah ketemu Mas Dawam Rahardjo di sana. Dan tidak berarti semua orang NU begitu.

Memang, dalam agreement yang akan datang banyak sekali orang yang berasal dari LSM semacam itu. Ada Fahmi Syaifuddin, Achmad Bagja dan sebagainya. Saya tidak ingin mengeraskan bicara soal itu. Kalau efeknya memang belum terasa, saya susah ngomong begini. Kaya pemerintah, jadinya.

Saya senang, dulu pernah terlibat dalam LSM. Jadi tahu persis bagaimana bicara soal keadilan dan kesejahteraan yang bisa dimengerti oleh rakyat. Saya tidak melebih-lebihkan, saat ini saya termasuk public speaker.

***

TAPI mengatur massa itu tak gampang. Jawa Timur saja kewalahan mengaturnya. Coba bagaimana kalau orang ranting saja langsung ke Jakarta. Belum lagi di Madura. Saya tak bisa bahasa Madura sedikit pun.

Padahal, kepada mereka saya harus menjelaskan mengenai program-program kongkrit.

Yang penting kini, seperti dikatakan Mas Ghaffar Rahman, diperlukan sejumlah kader yang bisa menjelaskan program-program kongkrit tadi. Ini nggak cukup satu orang saja. Diperlukan banyak orang.

Kepada Mas Malik, saya jamin deh, kita ingin tidak nganggur total dan cuma ribut diciumi saja tangannya. Bukan hanya itu saja, kita sudah mempersiapkan mengatur-ngatur di daerah-daerah.

Memang ada problem, persepsi orang luar tentang NU selalu salah. Kita ini mau minta tolong orang luar, tapi bagaimana kalau persepsi orang luar salah.

Bukan seperti yang dikatakan Mas Dawam tadi. Katanya, NU kurang percaya kepada orang luar. Malah sebalik, kita ini yang kurang dipercaya oleh orang luar. Salah satu bentuknya, Mas Dawam mengatakan saya mengkritik Pak Mukti Ali begini-begitu. Sebenarnya bukan begini-begitu. Anda boleh memperkenalkan tentang ayam, ternak, cacing pun boleh. Tapi dalam konteks apa? Kalau hanya dalam konsep: setelah keluar dari pesantren tak usah jadi pegawai dan bisa jadi tukang, pesantren ini mendidik menjadi kiai atau tukang? Jadi konteksnya tidak pada gagasan Pak Mukti.

Mas Dawam sendiri, lewat Pabelan ngomong sana-sini perlunya dakwah bil-hal. Lalu kemudian orang-orang pada nyahut kan? Tapi kalau soal itu dibirokrasikan melalui Departemen Agama, jadinya lain. Semua departemen kan sama saja.

***

PROBLEM kita ini adalah problem society. Kalau komunikasi nggak ada, uluran tangan nggak ada, yaa kita jalan terus pelan-pelan.

Sekarang yang paling penting, tolong pahami state of mind kiai-kiai secara keilmuan, atau berpikir menekankan tradisi keilmuan kitab kuno itu. Bicara dengan mereka tentang kitab kuning, dan jangan bosan menjelaskan kepada mereka lubang-lubang yang bisa dipakai untuk memasukkan pembaharuan. Konsep-konsep sosial bisa dimulai dengan melihat ke sana. Misalnya, di suatu kitab kuning ada teks mengenai perintah menghidupkan tanah gersang.

Kalau saya steril, omongan saya tak bakal bisa dipahami oleh orang yang saya ajak ngomong. Saya inginnya begitu. Selalu ada proses. Kalau Anda mau NU, jangan tanggung-tanggung, masukilah jiwanya.

Kalau saya sekarang bisa diterima oleh orang-orang NU, bukan karena saya selalu menghadiri khaul-khaul. Yang jelas, dengan melalui ikut khaul itu, saya mendapat tempat bisa ngomong dengan mereka tentang hal-hal penting yang harus kita lakukan, Jumlah yang bisa diajak ngomong semakin banyak. Insyaallah, setelah muktamar nanti. jumlahnya akan semakin banyak lagi. Kru yang sekarang memang bukan kru politik.

Kadang saya memang pusing. Yang kaya Kiai Ali Yafie dan Kiai Sahal Mahfudz di NU, tak banyak. Orang-orang Syuriyah pikirannya masih macam-macam. Masih ribut memikirkan solat di pesawat angkasa mengelilingi bumi. Shalat waktunya kapan. Sedang yang modern, sangat terbatas pada pemikir-pemikir yang ada dalam masyarakat.

Tetapi marilah kita mendekati mereka menurut cultural property yang mereka miliki. dari situ, mereka kita ajak berkembang. Banyak yang bisa diperbuat.

Di Malaysia ada Dr Muhammad Abubakar yang pemikirannya bagus sekali. Untuk jadi Phd, para sarjana haras mempelajari serius kitab-kitab kuno. Bagaimana kita berbicara dengan mereka, tapi tak pernah baca kitabnya?

***

NAH ini kritik saya terhadap orang luar. Orang-orang NU sendiri banyak juga menempatkan diri sebagai orang luar. Cuma ngajak NU begitu saja. Orang-orang muda pun semakin nggak ngerti apa itu NU.

Diperlukan cross-breeding. Setelah seorang pengurus Yayasan Cordova yang menyelenggarakan seminar “NU-Muhammadiyah & Ukhuwah Islamiyah” di Yogyakarta kemarin. Dia cucu Kiai Bisri di Rembang. Dari kecil biasa ngaji alfiah dan segala macam. Kemudian dia lulus Fisipol UGM, kalau nggak salah. Jadinya kan lain.

Ini penting dilakukan kalau kita ingin menghasilkan sesuatu. Kalau kemarin-kemarin belum. Saya ketemu Mas Dawam, satu ngomong fiqih, satunya lagi teori ekonomi. Jadi nggak klop benar.

Karena itu, di Yogya saya ngomong: mari kita bentuk kelompok badui. Kalau kita menjadi pembina lembaga badui, badui-badui itu perlu kita rangsang dan disuruh bekerja. Mereka masih sempat dan memiliki tradisi membaca. Tinggal dibantu soal bahasa dan buku-buku saja. Perlu sekali dibentuk kelompok marginal baru. Mereka sudah punya cultural property untuk bisa diterima di lapangan. Seperti saya dulu. Sekitar 10 tahun yang lalu, saya bisa diterima karena bisa ngomong kitab kuning.

Masalah yang kita garap sekarang adalah menggarap orang-orang muda secara berani. Agar bisa memperbanyak orang-orang siap. Kalau memang ternyata tetap nggak bisa masuk seperti Mas Dar, ya…. kita biarkan saja dia di sana. Dia boleh saja menempatkan diri sebagai jaksa yang menuntut terdakwa, tapi dia tak boleh menuntut tempat.