Kembali ke 1A Kumpulan Tulisan GD

Kiai Bisri Syansuri – Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat

1A Kumpulan Tulisan GD
Kiai Bisri Syansuri – Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat
Judul
Kiai Bisri Syansuri – Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat
Penulis
Abdurrahman Wahid
Penerbit
Majalah AMANAH, Jakarta, 28 Januari 1989
Kategori
, ,
Arsip Tahun

Sinopsis

Buku ini dicetak pertama kali pada Januari 1989, atas kerjasama keluarga almarhum Kiai Bisri dengan Majalah Amanah. Sebelumnya, tulisan di buku ini sudah pernah dipublikasikan di majalah tersebut. Lalu dicetak kembali dalam bentuk buku untuk memperingati wafat (haul) Kiai Bisri Syansuri. Secara isi, buku ini sama dengan Khazanah Kiai Bisri Syansuri. Hanya cover buku, ketebalan halaman, foto, dan pembagian-pembagian sub-bab pembahasan yang membedakannya.

 

Dalam buku ini, gaya kepenulisan Gus Dur sangat asyik. Kalau dalam dunia jurnalis disebut dengan feature. Tulisan yang agak nyastra. Sosok Kiai Bisri jadi lebih hidup, mudah dipahami sejarahnya, karena mengalir ceritanya. Hal ini berbeda dari gaya penulisan Gus Dur dalam esai-esainya yang terbit di koran harian, apalagi makalah untuk sebuah seminar.

 

Pembaca akan disuguhkan, bahwa Gus Dur ternyata bisa menulis dengan gaya seperti ini. Tak selalu serius. Buku yang ringan dibaca sekali duduk.

 

Dalam buku ini, Kiai Bisri diceritakan mulai dari kelahiran hingga wafatnya. Garis keturunan, proses pendidikan, dedikasi dalam organisasi, dan warisan pemikiran. Terutama tentang keseriusannya dalam bidang ilmu fikih. Yang ia tekuni sepanjang hayatnya.

 

Ada tiga proses mengapa Kiai Bisri menjadi seorang yang faqih (mencintai ilmu fikih) hingga akhir hayatnya. Proses pertama dimulai sejak pendidikan dasarnya, yang ia pelajari dari Kiai Abdul Salam Kajen-Pati. Kiai Bisri digembleng dengan materi-materi pendidikan dasar, seperti nahwu sharaf, fikih, hingga tafsir al-Qur’an.

 

Proses kedua, dari masa remaja hingga dewasa. Kiai Bisri disebut Gus Dur sebagai ‘santri keliling’. Penyebutan itu tak lain karena kegemarannya berkeliling menimba ilmu, dari satu guru ke guru yang lain. Di usianya ke 15 tahun, beliau mondok, mengais ilmu ke Bangkalan-Madura, belajar kepada Kiai Khalil. Di Bangkalan, Kiai Bisri berkarib dengan Kiai Wahab Hasbullah, yang di kemudian hari menjadi iparnya.

 

Apakah karena ajakan Kiai Wahab atau pengaruh Sang Guru, Kiai Hasyim Asy’ari, Bisri muda berpindah ngangsu kaweruh dari Bangkalan ke pesantren Tebuireng-Jombang. Selama enam tahun di sana tak menyurutkan niatnya untuk terus melakukan pengembaraan, berkeliling menimba ilmu, hingga mengantarkannya ke Makkah.

 

Di Makkah, dalam bahasa  Zamakhsyari Dhofier—sebagaimana dikutip Gus Dur—Kiai Bisri menyambungkan garis silsilah intelektual para ulama atau guru-gurunya yang ada di Indonesia. Sehingga mendapatkan sanad yang muttasil (bersambung) secara keilmuan. Terutama dalam bidang fikih.

 

Proses ketiga, ketika Kiai Bisri diberi tanah mertuanya di Denanyar. Datanglah satu-dua santri, dan terus bertambah, hingga berdirilah pesantren. Dari pesantren itulah Kiai Bisri mengajarkan khazanah ilmu-ilmu yang khas dipelajari di pesantren seperti Fathul Qarib, dan lainnya.

 

Selain itu juga tantangan yang dihadapi oleh Kiai Bisri waktu babad alas di Denanyar. Beliau berhadapan dengan tingkah laku masyarakat yang jauh dari moral dan norma agama. Denanyar terletak di pinggiran kota, dekat dengan pabrik gula, dan jalanan desanya menghubungkan Madiun dan Surabaya, sehingga warna kekerasan tak bisa dihindari.

 

Bromocorah atau residivis mudah ditemui, kasus perampokan, pembunuhan, sekelompok wanita tuna susila yang dilokalisir di tempat itu, menjadi tantangan tersendiri bagi Kiai Bisri dalam mengembangkan ajaran agama.

 

Strategi yang dilakukan oleh Kiai Bisri dalam berdakwah adalah tidak menyerang keluar melainkan menerima tempatnya sendiri lalu mengubahnya secara berangsur-angsur. Kiai Bisri menyadari lingkungannya seperti itu. Sebab itu perlu dilakukan cara-cara yang lentur, terutama dalam sikap, bisa bergaul ke semua kalangan, namun tetap teguh dalam pendirian.

 

Kiai Bisri dikenal dermawan, kerap memberikan santunan, dan membersamai mereka yang lemah, kalangan mustadh’afin. Yang dilakukannya adalah memberikan contoh, teladan baik kepada para pengikutnya.

 

Buku ini laik dibaca siapapun yang ingin mengenal lebih dalam tentang Kiai Bisri. Kakek dari Gus Dur yang silsilahnya sampai ke Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya). Terutama di kalangan warga NU (nahdliyyin). Mengenal salah satu pendirinya merupakan hal yang wajib didaras.