Kiai Bisri Syansuri Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat

Sumber Foto: https://www.tebuireng.co/kiai-wahab-dan-kiai-bisri-menurut-hadratussyaikh/

Oleh: K.H. Abdurrahman Wahid

Bayi yang dilahirkan Mariah, istri Syansuri, 28 Dzulhijjah 1304 H (sekira 18 September 1886) di desa Tayu diberi nama Bisri. Anak pertama mereka bernama Mas’ud, seorang anak lelaki sesuai dengan harapan keluarga di daerah itu pada umumnya. Yang kedua adalah seorang anak perempuan, bernama Sumiyati. Bisri adalah anak ketiga, dan setelah itu masih ada lagi dua anak lain dilahirkan dalam keluarga ini, yaitu Muhdi dan Syafa’atun.

Mereka dilahirkan di Tayu, desa asal Syansuri, sebuah ibukota kecamatan yang terletak lebih kurang 100 kilometer arah timur laut Semarang, dalam kawasan pesisir pantai utara Jawa yang memiliki budaya sosial-keagamaannya sendiri. Sebagai salah satu titik dalam jalur daerah yang penduduknya teguh memegang tradisi keagamaan mereka, yang membentang dari Demak di timur Semarang hingga Gresik di barat laut Surabaya, Tayu merupakan latar belakang geografis yang sangat mewarnai pandangan hidup Bisri di kemudian hari, dan sedikit banyak turut membentuk kepribadiannya.

Masyarakat Tayu umumnya memiliki tingkat kehidupan yang rendah bila dibandingkan daerah-daerah lain di pulau Jawa. Tayu terjepit antara tanah pertanian yang tidak subur dan bentangan laut yang tidak banyak memberikan hasil. Ini adalah akibat teknologi tradisional sederhana yang sangat penuh dengan resiko dan kegagalan, ditambah oleh pola pemilikan modal usaha dan alat produksi (perahu, pengawetan hasil penangkapan ikan) yang sangat pincang dan terpusat pada sejumlah orang tertentu belaka di tiap tempat. Bila ditambahkan pula kepada keadaan itu tidak menentunya jaminan keselamatan diri dari bahaya di laut lepas, sebagai nelayan tradisional pencari ikan dalam perahu layar yang tidak seberapa besar ukurannya, mudahlah digambarkan betapa kuatnya sikap pasrah kepada segala macam takhayul di kalangan penduduk daerah seperti Tayu.

Justeru karena situasi umum di pesisir utara pulau Jawa seperti itulah, terutama di belahan timurnya, muncul tradisi kuat untuk berpegang pada ajaran agama Islam secara ketat di kalangan kaum muslimin, yang taat kepada ajaran agama. Mereka seringkali dinamai ‘kaum’ atau ‘kaum santri’, yang selanjutnya dipendekkan menjadi ‘santri’ belaka. Dengan akar kesejarahan yang sangat kuat, sebagai pusat pengembangan Islam sejak pertama usia agama itu di pulau Jawa, proses pemantapan keteguhan memegangi ajaran agama itupun masih kuat kehadirannya hingga saat ini. Pesantren-pesantren besar yang menjadi pusat pendalaman ilmu-ilmu agama bermunculan terus menerus di daerah pesisir itu dari masa ke masa. Daerah itu memiliki peranan vital sebagai penyedia calon ulama bagi daerah pedalaman Jawa, dalam interaksinya yang berwatak intensif dengan manifestasi kebudayaan praIslam. Ulama yang dihasilkan pesantren-pesantren daerah pesisir utara itu, dengan tradisi pendalaman ilmu agama yang tidak pernah terputus, hingga saat ini masih merupakan pangkalan yang mengirimkan bantuan ke ‘medan laga’ kultural di daerah pedalaman.

Bisri, anak ketiga keluarga Syansuri dan istrinya Mariah nantinya juga ditakdirkan akan menjadi bagian dari proses memantapkan pengembangan ajaran Islam di pedalaman Jawa. Ia memang lahir dari tradisi keagamaan yang kuat, dari keturunan yang memiliki ulama bermutu tinggi di pihak ibunya, yang dilahirkan dan dibesarkan di Lasem, hampir 90 kilometer sebelah timur Tayu. Keluarga ibunya adalah keluarga yang menurunkan beberapa orang ulama besar dalam beberapa generasi, seperti Kiai Khalil Lasem dari generasi sebelum kekiaian Bisri Syansuri sendiri dan Kiai Ma’sum yang hanya beberapa tahun sedikit lebih tua dari calon kiai yang dilahirkan di Tayu itu, serta Kiai Baidhawi yang lebih kurang sekurun dengannya. Lasem hingga saat ini pun masih merupakan salah satu pesantren induk bagi banyak pesantren lainnya. Tidak heranlah, jika dari tradisi yang demikian kuat kaitannya dengan penguasaan ilmu-ilmu agama Islam secara mendalam itu tumbuh seorang agamawan, yang di kemudian hari akan menjadi salah seorang ulama besar, yang memberikan bekasnya sendiri kepada sejarah bangsa dan negara.

Mulai Belajar Alquran

Pada usia tujuh tahun Bisri mulai belajar agama secara teratur, yaitu dengan belajar membaca Alquran dengan aturan bacaan (tajwid) yang benar pada Kiai Shaleh di desa Tayu juga. Tradisi membaca Al-quran seperti ini adalah tradisi yang sudah berumur ratusan tahun di kawasan Nusantara. Pada gilirannya, ia bersumber pada tradisi 1400 tahun yang diwariskan oleh Rasulullah Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam, sebagai landasan utama pemeliharaan ajaran agama dari penyelewengan isi dan pengertian, sebagaimana terjadi pada agama-agama lain. Alquran adalah inti dari pembuktian kebenaran ajaran yang dibawa Muhammad, karena itu ia harus dipelihara sebaik-baiknya, dari cara membacanya hingga cara memahaminya serta penerapan pemahaman itu pada kenyataan hidup.

Pada hampir tiap dusun yang penduduknya kuat menganut ajaran Islam, senantiasa disediakan peluang untuk menguasai bacaan Alquran yang benar. Tidak hanya di pesantren, masjid maupun surau dan langgar, melainkan juga di lingkungan rumah tangga, kalau hal itu dimungkinkan. Di tempat orang bisa memberikan pelajaran membaca Alquran dengan baik, senantiasa ada kelas khusus untuk itu sehingga jumlah ‘kelas baca Alquran’ (Koran-chanting schools, menurut istilah sejumlah pengamat dari lingkungan ahli-ahli ketimuran/orientalists) sangat besar di mana-mana di dunia Islam. Ketika Clifford Geertz mengemukakan jumlah angka 52.000 buah pesantren yang bertebaran di pulau Jawa, kemungkinan sangat besar ia memasukkan kelas-kelas baca Alquran dalam kategori pesantren. Kelas-kelas baca Alquran itu adalah titik pertama dalam perjalanan penguasaan ilmu-ilmu agama secara mendalam di lingkungan kaum muslimin yang taat kepada ajaran agama mereka. Pada tahap kedua, mulai diajarkan kurikulum yang lebih kompleks, di mana mata pelajaran telah dipisahkan satu dari yang lain dalam kesatuan sistem yang bulat. Titik kedua itu pada umumnya merupakan pesantren sederhana atau tingkat permulaan (elementary pesantrens, meminjam istilah yang digunakan Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya) Pesantren jenis ini menampung para siswa atau santri yang datang dari lingkungan setempat saja. Kalau telah ada santri yang datang dari daerah lain di sekitarnya barulah menginjak tahap pesantren pertengahan (intermediate pesantrens), di mana kompleksitas kurikulum juga semakin nyata. Yang terakhir adalah sejumlah pesantren utama (main pesantrens) yang akan memunculkan ulama calon pengasuh pesantren tahap pertama dan kedua itu, dan juga menghasilkan calon-calon guru sekolah agama yang begitu banyak bertebaran dan tidak langsung berafiliasi kepada pesantren.

Pendidikan menguasai bacaan Alquran dengan sempurna itu, yang dikemudian hari akan menjadi salah satu perhatian khusus Bisri dalam mendidik para santrinya, ditempuhnya hingga usia sembilan tahun. Pada usia itu ia belajar pada salah seorang keluarga dekatnya yang menjadi ulama terkenal dan membuka pesantren sendiri di desa Kajen, sekitar 8 kilometer dari Tayu.

Gurunya adalah Kiai Abdul Salam yang hafal Alquran dan terkenal dengan penguasaannya yang mendalam atas fiqh. Di bawah ulama ini Bisri mempelajari dasar-dasar tata bahasa Arab, fiqh dan tafsir Alquran (seringkali disingkat ‘tafsir’ saja) serta kumpulan hadits Nabi yang berukuran kecil dan sedang. Kiai Abdul Salam menerapkan pola kehidupan beragama yang sangat keras aturan-aturannya dan berjalur tunggal moralitas/akhlaqnya. Tidak heranlah jika di kemudian hari sifat berpegang pada aturan agama secara tuntas menjadi salah satu tanda pengenal kepribadian Bisri yang khas. Gemblengan yang diterimanya dari Kiai Abdul Salam di masa mulai menginjak masa remaja ternyata sangat membekas, dan sangat menentukan corak kepribadian yang berkembang dalam dirinya di kemudian hari.

Nyantri pada Kiai Khalil

Pada usia 15 tahun Bisri berpindah pesantren lagi, belajar pada Kiai Khalil di Demangan, Bangkalan, ulama besar yang menjadi guru dari hampir semua kiai yang terpandang di seluruh Jawa waktu itu. Terkenal sebagai ‘waliullah’ yang memiliki keistimewaan serba ragam yang bersifat supernatural, Kiai Khalil menyimpan di balik wajah ‘kewalian’nya itu penguasaan sangat dalam atas ilmu-ilmu agama yang diterima di kalangan kaum muslimin waktu itu, sebuah kombinasi yang sangat jarang tercapai sepanjang sejarah ulama muslimin. Kiai Khalil adalah perwujudan dari sebuah proses yang telah berlangsung lebih setengah abad lamanya. Proses itu adalah munculnya ulama-ulama terkenal di kalangan ‘santri Jawi’ yang berasal dari kawasan Asia Tenggara sejak pertengahan abad kesembilan belas di Mekkah.

Van der Kolf, menurut van Niel dalam bukunya tentang kebangkitan elite modern Indonesia, menyatakan salah satu sebab meninggalnya pendidikan pesantren adalah munculnya golongan kaum kaya baru di pedesaan Jawa pada pertengahan abad kesembilan belas Sebagai wiraswasta di bidang pertanian, para petani yang sukses dalam melayani kebutuhan perkebunan-perkebunan tembakau, kopi, teh, tebu dan sebagainya (yang dimiliki para pengusaha Eropa), dihadapkan kepada kebutuhan menentukan lembaga pendidikan mana yang sebaiknya ditunjang sebagai penampungan anak-anak mereka. Pendidikan sekolah ‘negeri’ tidak dapat dimasuki, karena ia hanya tersedia bagi anak-anak kaum ningrat yang akan dimasukkan ke dalam sistem kepegawaian pemerintah kolonial. Mereka juga tidak bersedia mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah dagang Tionghoa, yang mungkin juga tidak mau menerima anak-anak mereka itu, karena belum adanya tradisi kebersamaan antara kelompok-kelompok yang secara budaya dan etnis berasal dari lingkungan berlainan. Dengan demikian, tidak ada jalan lain bagi mereka selain mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren.

Pada saat yang sama, terbukanya jalur pelayaran kapal api ke Eropa melalui terusan Suez telah memungkinkan terbukanya perjalanan kapal secara reguler antara Indonesia dan Timur Tengah. Gabungan antara meningkatnya kekuatan finansial dan semakin terjaminnya hubungan dengan kawasan Timur Tengah menghasilkan sebuah proses baru dalam pendalaman ilmu-ilmu agama Islam di Jawa Bentuknya adalah pengiriman para santri untuk mendapatkan pendidikan lanjutan di Mekkah, jantung kehidupan ilmiah tradisional dunia Islam waktu itu. Pada saat itu di semenanjung Arabia sedang terjadi sebuah proses berlingkup luas, yaitu berlangsungnya dialog intensif antara orientasi keagamaan lama dan tuntutan akan pemurnian ajaran agama yang diajukan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab. Dialog tersebut menghasilkan sebuah tradisi keilmuan yang baru, yaitu penegasan kembali otoritas fiqh atas aspek-aspek lain dari kehidupan beragama Islam.

Tradisi kekiaian jenis baru muncul, yaitu dari lingkungan mereka yang memeriksa kembali pola pendalaman ilmu-ilmu agama Islam yang sudah cukup lama berjalan di kalangan pesantren. Ilmu-ilmu seperti kanuragan (kekebalan) dan lain-lain, yang dipergunakan untuk memperkuat tubuh dengan tenaga supernatural, ditundukkan kepada pengarahan kembali oleh metode berpikir keagamaan yang berlandaskan pada fiqh dan peralatannya. Muncullah generasi baru para ulama fiqh yang tangguh di Mekkah, yang berasal dari kawasan Asia Tenggara, seperti Kiai Nawawi Banten. Kiai Khalil Bangkalan berasal dari tradisi ini, karena ia berhasil menggabungkan kedua kecenderungan fiqh dan terekat dalam dirinya, dalam sebuah keseimbangan yang tidak meremehkan kedudukan fiqh. Tidak heranlah jika pesantrennya lalu menjadi tempat utama untuk mencetak calon kiai di masa depan, dan karena itu pulalah pemuda Bisri pada usia belasan tahun itu belajar di Bangkalan. Di sana ia bertemu, dan akhirnya menjadi teman karib seorang santri dari Jombang yang bernama Abdul Wahab Hasbullah. Dari jalinan hubungan itu akan tumbuh sesuatu yang mempunyai arti penting bagi perjalanan agama Islam beberapa puluh tahun setelah itu di Indonesia.

Sebenarnya, sebelum itu ia pernah juga belajar pada Kiai Syu’aib Sarang dan Kiai Khalil Kasingan (kedua-duanya di daerah Rembang), dua orang ulama terkemuka di pesisir utara pada waktu itu. Kemungkinan pendidikan di bawah kedua ulama itu ditempuhnya untuk jarak waktu singkat di masing-masing tempat, dan bisa jadi hal itu dilakukan dalam bulan Puasa. Pada bulan tersebut pesantren menyediakan program pengajian khusus untuk jarak waktu sebulan saja, digunakan untuk keperluan menyegarkan kembali orientasi para alumni terhadap perkembangan dalam memahami teks-teks utama dalam literatur keagamaan lama. Pesantren-pesantren utama pada masa seperti itu menjadi ramai dengan kehadiran para alumni yang sudah menjadi ulama di tempat masing-masing, untuk mengikuti program penyegaran kembali itu. Didasarkan pada tradisi ‘santri keliling’ (wandering santris) yang merupakan corak khas kehidupan pesantren, dengan para santri berpindah-pindah pesantren dalam frequensi cukup tinggi guna mengejar spesialisasi, program khusus pengajian bulan Puasa itu merupakan bagian sangat penting dari pembentukan tata nilai universal di kalangan ulama pesantren. Tradisi ‘santri keliling’ tersebut, yang melandasi pengajian Puasa itu, pada dirinya dilandaskan pada sistim pewarisan pengetahuan berdasarkan sistim magang menjadi kiai, yang dikenal dengan nama sistim ijazah. Bentuknya yang paling sering dipakai adalah pemberian perkenan secara lisan kepada seorang santri untuk mengajarkan teks tertentu, setelah kiainya puas dengan kemampuan dan penguasaan santri yang bersangkutan atas teks tersebut. Sistim pemberian perkenan yang dikenal dengan nama sistim ijazah itu, pada asalnya berkaitan sangat erat dengan konsep barakah (berkat, grace) yang merupakan pelanjutan doktrin emanasi (faidh) ilmu ketuhanan kepada diri manusia melalui medium nabi, wali, orang alim dan seterusnya.

Pindah ke Tebuireng

Tradisi menjadi ‘santri keliling’ itu dilanjutkan oleh Bisri dengan kepergiannya menuntut ilmu-ilmu agama di pesantren Tebuireng (Jombang), di bawah asuhan Kiai Hasyim Asy’ari, pada tahun 1906. Mungkin atas ajakan kawan baru yang ditemuinya di Bangkalan, Abdul Wahab Hasbullah, mungkin juga karena memang tertarik oleh reputasi kiai Tebuireng itu. Kiai Hasyim Asy’ari begitu disegani orang karena kedalaman ilmu-ilmu agamanya, dan karena itu mendapat gelar Hadratus Syaikh. Tindakan untuk berpindah tempat pendidikan ke pesantren Tebuireng ternyata penting sekali artinya bagi kelanjutan hidup pemuda Bisri Syansuri. Ia lalu menjadi bagian dari apa yang oleh Zamakhsyari Dhofier dalam disertasinya disebut sebagai garis-silsilah intelektual para ulama (intelectual genealogy of the kiai), yaitu proses penurunan ilmu pengetahuan agama secara mendalam dari generasi ke generasi, melalui proses penularan yang ketat, disandarkan sepenuhnya kepada sistim ijazah seperti telah diuraikan.

Kiai Hasyim Asy’ari semula adalah murid Kiai Khalil Bangkalan, Kiai Zainuddin Mojosari di Nganjuk dan Kiai Khazin dari Siwalan Paji (Sidoarjo). Kemudian ia belajar di Mekkah, menurut jalur yang digambarkan van der Kolff, dan di sana ia belajar pada syaikhul masyaikh Kiai Nawawi Banten, Kiai Ahmad Khatib Padang, Kiai Mahfudz Termas (Pacitan), dan sejumlah guru ‘non-Jawi’ seperti Syaikh Syatha dan Syaikh Daghistani. Kiai Hasyim dengan cepat menanjak reputasinya sebagai penuntut ilmu yang sangat cerdas dan mampu menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam dengan cepat. Bahkan segera setelah kepulangannya ke tanah air, di mana ia semula mendirikan pesantren di Kediri dan kemudian berpindah ke Jombang, segera ia menjadi ulama yang disegani dan ditunduki para ulama lainnya, termasuk bekas guru-gurunya semasa ia belum berangkat ke Mekkah dahulu. Sebagai ulama yang memiliki spesialisasi di bidang ilmu-ilmu hadits, Kiai Hasyim Asy’ari terkenal sebagai ulama yang mampu melakukan penyaringan ketat terhadap sekian banyak tradisi keagamaan yang dianggapnya tidak memiliki dasar-dasar dalam hadits. Dan ia bersikap sangat teliti dalam mengamati perkembangan tradisi ketarekatan di pulau Jawa, yang memang telah mengembangkan cara-cara yang dinilainya menyimpang dari kebenaran ajaran Islam.

Pertikaian antara Kiai Hasyim dan Kiai Khalil Peterongan, (yang juga terletak di kabupaten Jombang), tentang kultus mewalikan Kiai Khalil, amat terkenal di kalangan ulama Jawa Timur waktu itu. Sikapnya yang menentang praktek-praktek kaum tarekat yang dianggapnya menyimpang dari ajaran agama, jelas sekali mewarnai orientasi pendidikan yang ditumbuhkannya di pesantrennya sendiri. Orientasi fiqh murni, yang ditarik dari tradisi pengembangan hukum agama yang bersifat sangat selektif selama berabad-abad, melalui penumbuhan metode pengambilan keputusan agama yang sudah bulat dan matang merupakan tempat yang sangat sesuai dengan kepribadian Bisri Syansuri, yang memang sejak semula sudah digembleng dalam tradisi demikian oleh Kiai Abdul Salam Kajen dan Kiai Syu’aib Sarang. (Pola kehidupannya yang berjalur tunggal, dengan moralitas yang digunakan sangat terikat dengan pendapat-pendapat terbaik yang termuat dalam literatur hukum agama dalam fiqh, mendapatkan bentuknya yang pasti dan tetap di pesantren Tebuireng ini. Karena itu, tidak heranlah jika pemuda Bisri lalu menganggap Kiai Hasyim sebagai guru utamanya, seperti ternyata dari panggilan (akolade, laqab) yang diberikannya dan digunakannya atas diri gurunya itu: Kiai. Tidak ada gelar lain yang pantas bagi gurunya itu selain disebut ‘Kiai’ belaka, tanpa nama, tanpa tambahan sebutan lain, seolah-olah tidak ada kiai lain di luar gurunya yang satu ini, sehingga nama jenis kekiaian dipakaikan hanya kepada sang guru belaka. Praktek ini ternyata tidak terbatas pada diri Bisri Syansuri, melainkan juga pada banyak orang lain, sehingga Kiai Hasyim dijuluki orang sebagai Hadratus Syaikh, yang artinya Sang Guru. Tidak hanya oleh mereka yang pernah dididiknya, atau orang lain yang tidak pernah dididiknya, tetapi juga oleh bekas guru-gurunya di berbagai

tempat. Pemuda Bisri Syansuri tinggal di pesantren Tebuireng enam tahun lamanya. Hubungannya semakin bertambah karib dengan pemuda yang dua tahun lebih tua, Abdul Wahab Hasbullah, yang telah menemaninya semenjak masih bersama-sama di pesantren Kiai Khalil Bangkalan. Abdul Wahab masih keluarga dekat dari Kiai Hasyim Asy’ari, karena ia adalah adik sepupu sang guru. Kedua orang tua mereka masih bersaudara, karena sama-sama berasal dari desa Gedang, dua kilometer di utara kota Jombang. Kedua-duanya juga masih memiliki garis keturunan keluarga yang panjang, hingga ke tokoh legendaris Jaka Tingkir di Salatiga, Jawa Tengah. Dari keluarganya sendiri, Abdul Wahab memiliki garis keturunan itu melalui sejumlah pemimpin gerakan keagamaan di Nganjuk. Dari jurusan ayahnya, Kiai Hasyim memiliki garis keturunan lebih pendek dan langsung, karena ayahnya, Kiai Asy’ari, adalah putera Kiai Abdul Wahid dari desa Tingkir itu sendiri, dari istri yang berasal dari Demak. Itulah sebabnya, di kemudian hari Kiai Hasyim Asy’ari menamai anak lelakinya yang pertama dengan nama Abdul Wahid Hasyim.

Desa Gedang, tempat Kiai Hasyim dilahirkan, adalah pusat gerakan Tarekat Naqsyabandi di Jombang (dan mungkin Jawa Timur) pada waktu kakeknya memimpin pesantren di tempat itu. Sang kakek, Kiai Usman, adalah urut-urutan terkemuka dari guru-guru tarekat di Jawa Timur di pertengahan abad ke sembilan belas. Ia mengambil menantu salah seorang muridnya, yaitu pemuda Asy’ari asal Demak, putera Kiai Abdul Wahid Tingkir. Sesuai dengan tradisi pewarisan ilmu pengetahuan agama dan kepemimpinan pesantren yang dalam jangka panjang ternyata merupakan salah satu tiang utama penyangga kelangsungan hidup pesantren sebagai lembaga keagamaan. Didasarkan pada pengamatan seksama atas potensi ilmiah keagamaan murid-murid dan kemuliaan garis keturunannya (dipandangan keagamaan waktu itu), pola mengambil calon-calon kiai sebagai menantu adalah jaminan bagi kelangsungan tradisi pesantren itu sendiri. Demikianlah yang terjadi atas diri pemuda Asy’ari, yang segera pindah ke tempat pemukiman baru di desa Keras (6 kilometer arah selatan kota Jombang) setelah mengawini Winih, anak Kiai Usman Gedang. Di tempat baru itu, ia mengembangkan sebuah pesantren, yang kemudian secara tradisional menarik santri-santri dari tempat asal gurunya, Demak. Kiai Asy’ari melanjutkan tradisi mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada santri-santrinya dan kepada masyarakat di sekitarnya, termasuk mengembangkan tradisi tarekat yang diterimanya dari sang mertua.

Munculnya kekuatan sosial-ekonomis para petani kaya di daerah sekitar desa Keras, sebagai hasil berdirinya sebuah pabrik gula di desa Cukir (sekira 3 kilometer arah tenggara), akhirnya membawakan anak kiai Asy’ari yang bernama Hasyim untuk belajar ke Mekkah pada perempat terakhir abad ke-19 (tahun 1880-an). Sepulang dari Mekkah, setelah melalui ‘masa percobaan’ yang gagal untuk mendirikan pesantren di tempat mertuanya di Plemahan. (Kediri), pemuda yang telah menjadi Kiai Hasyim Asy’ari itu berhasil memunculkan sebuah pesantren yang kemudian tempat utama pencetakan calon-calon ulama, yaitu Pesantren Tebuireng yang terletak hanya sekitar 2 kilometer dari desa ayahnya di Keras.

Barisan Peminat Fiqh

Di pesantren Tebuireng, pemuda Bisri juga belajar bersama sejumlah pemuda pilihan yang di kemudian hari akan menjunjung nama guru mereka, seperti pemuda Abdul Manaf dari Kediri, As’ad dari Situbondo, Ahmad Baidhawi dari Banyumas, Abdul Karim dari Sedayu (Gresik), Nahrawi dari Malang, Abbas dari Jember, Ma’sum Ali dari pesantren Maskumambang di Sedayu (yang pernah terkenal sebagai pesantren paling utama sebelum masa itu), dan seterusnya. Mereka kemudian akan membentuk barisan peminat fiqh dan penganut hukum agama yang tangguh, menjadi kiai-kiai pesantren yang sekarang ini merupakan pusat-pusat pendalaman ilmu-ilmu agama di pulau Jawa. Angkatan pemuda Bisri sebagai dikatakan Kiai Syukri Ghazali Almarhum, adalah generasi paling baik dari mereka yang dididik Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di pesantren Tebuireng selama hampir setengah abad lamanya. Angkatan yang menjadi kiai-kiai terkemuka hingga saat ini, atau yang mewariskan pesantren-pesantren besar kepada para pengganti sebelum kepulangan mereka kerahmatullah.

Selama enam tahun di pesantren Tebuireng itu, pemuda Bisri memperoleh ijazah (perkenan lisan) dari gurunya untuk mengajarkan kitab-kitab agama yang terkenal dalam literatur lama, dari teks fiqh Al-Zubad (yang kemudian akan menjadi kegemarannya) hingga ke corpus magnus hadits yang menjadi spesialisasi Kiai Hasyim Asy’ari, Bukhari dan Muslim. Pada waktu itu sudah terlihat jelas corak penguasaan ilmu-ilmu agama yang diikuti pemuda Bisri dan akan membuatnya sangat terkenal di kemudian hari: pendalaman pokok-pokok pengambilan hukum agama dalam fiqh, tanpa terlalu banyak variasi tambahan pengetahuan baru yang bermacam-macam. Literatur keagamaan yang dikuasainya terasa terlalu bersifat sesisi, lebih ditekankan pada literatur fiqh lama. Tetapi penguasaan itu memiliki intensitas luar biasa, sehingga secara keseluruhan membentuk sebuah kebulatan yang matang dalam kepribadian dan pandangan hidupnya. Ketundukannya kepada keputusan hukum agama yang diambil berabad-abad yang lampau, mungkin terasa agak aneh terdengar di masa modern ini. Tetapi ia memiliki validitasnya sendiri, selama dilakukan dengan keterbukaan sikap dan keteguhan hati seorang yang mampu menghadapkannya kepada kenyataan-kenyataan hidup secara baik.

Jarang diperoleh keterangan tentang keadaan pemuda Bisri sewaktu ia belajar di pesantren, khususnya sewaktu belajar di pesantren Tebuireng. Banyak santri lain dikenang orang karena berbagai ulahnya, seperti pemuda Abdul Wahab Hasbullah, pemuda dinamis yang membuat banyak persoalan bagi gurunya. Lain halnya dengan pemuda Bisri Syansuri, yang bersikap hidup lugas, memiliki jalur kegiatan yang sangat bersifat rutin dan yang cenderung membenamkan diri ke dalam kebersamaan pola hidup dengan teman-teman sebaya daripada menonjolkan kiprah sendiri. Gambaran ini sudah tentu sangat bersesuaian dengan pola hidupnya setelah ia di kemudian hari menjadi kiai di tempatnya sendiri.

Setelah enam tahun lamanya berada di Tebuireng, pada tahun 1912-13 pemuda Bisri Syansuri berangkat melanjutkan pendidikan ke Mekkah, kemungkinan besar atas persuasi teman karibnya sesama santri di Tebuireng, yaitu Abdul Wahab Hasbullah. Kedua kawan yang berwatak saling bertolak belakang itu sama-sama belajar pada sejumlah ulama terkemuka di tanah suci Mekkah, seperti Syaikh Muhammad Baqir, Syaikh Muhammad Sa’id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani dan Syaikh Jamal Maliki. Juga kepada guru-guru dari ‘sang guru’ Kiai Hasyim Asy’ari, seperti Kiai Ahmad Khatib Padang, Syu’aib Daghistani dan Kiai Mahfuz Termas. Pola kehidupan yang tekun, penuh dengan upaya menguasai pelajaran yang diberikan guru. Dan keteguhan untuk sejauh mungkin melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan panggilan peribadatan sepanjang yang difahaminya, dapat digambarkan tentulah mewarnai keadaannya semasa di Mekkah. Berbeda dengan teman karibnya, Abdul Wahab Hasbullah, yang penuh gerak dan kegiatan ‘sampingan’ di luar pola belajar seperti itu.

Dalam tahun 1914, adik Abdul Wahab Hasbullah yang bernama Nur Khadijah menunaikan ibadah haji bersama ibunya. Tidak lama setelah kedatangan mereka di Mekkah, dimulailah upaya Abdul Wahab Hasbullah untuk menjodohkan adik yang paling disayanginya itu dengan teman karib berasal dari Tayu itu. Tanpa banyak persoalan maksud itu tercapai dengan baik, dan pada tahun yang sama kedua suami isteri baru itu kembali ke tanah air, dengan meninggalkan ipar bernama Abdul Wahab Hasbullah untuk melanjutkan pelajaran di Mekkah. Di antara hal-hal menarik yang terjadi di Mekkah selama Bisri Syansuri berada di sana untuk dua tiga tahun itu, walaupun tidak langsung melibatkan dirinya, adalah pembentukan sebuah cabang Syarikat Islam di tanah suci itu oleh Abdul Wahab Hasbullah, bersama-sama dengan Abbas dari Jember, Raden Asnawi dari Kudus dan Dahlan dari Kertosono. Terlepas dari motif yang melandasi berdirinya Syarikat Islam cabang Mekkah itu, yang jelas ia merupakan latar belakang yang memberikan bekasnya sendiri pada diri Bisri Syansuri: dirasakan perlunya mengorganisir diri dalam melakukan perjuangan keagamaan, di luar ‘kumpulan’ masing-masing di pesantren sendiri. Memang benar Bisri Syansuri tidak melibatkan diri dalam kegiatan rintisan berorganisasi di kalangan orang pesantren itu, karena (menurut ucapannya sendiri di kemudian hari) ‘menunggu perkenan dari Kiai (Hasyim Asy’ari)’ Ternyata, sebelum perkenan itu tiba, Bisri Syansuri sendiri harus kembali ke tanah air. Selain membawa istri pulang, juga karena datangnya Perang Dunia I membuat ia harus meninggalkan Mekkah dalam tahun 1914, lebih cepat dari perkiraannya semula.

Babak Baru Denanyar

Kepulangan ke tanah air itu membawa Bisri Syansuri kepada pilihan untuk kembali ke desa asalnya di Tayu, ataukah menetap di tempat kelahiran istrinya. Pilihan itu terjadi tentunya dalam kerangka permintaan keluarga pihak istrinya, itu, yang bertempat tinggal di desa Tambakberas, Jombang. Sedangkan permintaan itu sendiri mempunyai latar belakang kuatnya tradisi mengambil menantu orang pandai di kalangan keluarga pengasuh pesantren di pedalaman. Sudah tentu untuk memperkuat posisi kultural mereka dalam pergulatan melawan perluasan budaya setempat yang non-muslim. Pilihan Bisri untuk menetap di Jombang, kalau dilihat dari latar belakang ini, adalah bagian dari proses besar memperkuat (reinforcement) pesantren di pedalaman Jawa terhadap meluasnya budaya non-muslim sebagaimana mereka tanggapi waktu itu. Proses yang sampai saat ini pun belum selesai, seperti terbukti dengan banyaknya calon ‘kiai pesisir’ yang menjadi menantu ‘kiai pedalaman’ di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di Tambakberas, Bisri Syansuri tinggal dua tahun, membantu mertuanya di bidang pendidikan dan pertanian. Periode tersebut merupakan masa terakhir persiapannya untuk menjadi kiai yang berdiri sendiri, periode pengamatan seksama atas kemampuannya membuka pesantren atas tenaga sendiri dan mengembangkannya tanpa bersandar kepada orang lain. Di bidang pertanian, diamati secara seksama kemampuannya mengelola sumber penghasilan sendiri untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Di bidang pendidikan, pengamatan atas kemampuannya untuk memberikan pengorbanan yang harus diberikan untuk mensukseskan sebuah ‘alat perjuangan’ seperti pesantren. Ternyata ia dinilai (secara tidak terbuka, tentunya) oleh mertuanya sebagai memiliki kemampuan cukup di kedua bidang itu. Karenanya, setelah dua tahun di Tambakberas, ia diberi sebidang tanah di desa lain yang berdekatan, untuk kehidupannya sendiri dan untuk mendirikan sebuah pesantren.

Dengan demikian lahirlah sebuah pesantren baru, di desa Denanyar, 1,5 kilometer dari kota Jombang arah barat. Sebuah pesantren yang bermula dari kedatangan sepasang suami istri yang mendirikan rumah mereka, kemudian sebuah surau untuk memimpin peribadatan di tempat baru itu, yang tidak lama setelah itu berfungsi sebagai tempat menerima kedatangan santri yang datang dari tempat lain untuk belajar kepada pendiri surau itu. Terbentuklah sebuah pesantren dengan kehadiran satu dua orang santri, dan dengan munculnya santri lahirlah pula seorang kiai di tengah-tengah masyarakat. Pola klasik yang tetap relevan dengan keadaan masyarakat di masa itu, dan di banyak tempat juga masih sesuai dengan kebutuhan masa di alam modern ini.

Desa Denanyar adalah lokasi paling rawan dari setiap kegiatan ‘tidak baik’ yang ada di Jombang waktu itu. Letaknya di pinggiran kota, dekat sebuah pabrik gula dan di tepi jalan negara yang menghubungkan Surabaya dan Madiun, memberikan warna tersendiri kepada desa tersebut: kekerasan, terkikisnya nilai-nilai moral yang luhur dan kuatnya peranan modal pada tingkah laku masyarakat. Bromocorah bersimaharaja lela, dengan minimal pembunuhan sekali setiap harinya. Perampokan atas pejalan yang menempuh perjalanan jauh melalui desa itu merupakan kejadian sehari-hari. Dan besarnya jumlah wanita tuna susila yang dilokalisir oleh keadaan di tempat itu, kesemuanya merupakan gambaran pola umum kehidupan di desa tersebut. Medan yang sulit digunakan bagi tujuan pengembangan ajaran agama, tetapi yang juga merupakan tantangan menarik bagi pribadi-pribadi luar biasa.

Dimulai dengan kiprah perorangan untuk memberikan contoh bagaimana agama dapat membawa kepada kesejahteraan hidup bila dilaksanakan ajaran-ajarannya dengan tuntas. Segera upaya kiai baru di desa Denanyar itu merupakan permulaan dari sebuah usaha besar, yang belum selesai gelombang naik turun perkembangannya hingga saat ini.

Kiai Bisri memulai kiprahnya dalam kehidupan dengan kerja di tingkat lokal pada awal mula kegiatan kemasyarakatan yang dilakukannya. Pertama-tama dengan mengatur kehidupan pertaniannya sendiri, untuk menyangga pelaksanaan kegiatan kemasyarakatan tersebut. Kemudian dimulainya upaya mengajar anak-anak para tetangga sekitarnya, sudah tentu dengan tentangan hebat dari mereka yang tidak menyetujui usahanya. Pemerintahan desa Denanyar, kalaupun tidak menentang usahanya itu, paling tidak telah menunjukkan sikap tidak memberikan perhatian. Hal itu dapat dimengerti, karena para lurah dan prabotnya di daerah Denanyar dan sekitarnya terkenal sebagai tokoh-tokoh yang justeru membangun kekuasaan mereka karena keberanian yang mereka tunjukkan dalam pertarungan-pertarungan fisik. Kekerasan adalah bagian dari latar belakang kehidupan mereka, dan acara hiburan yang tidak mempedulikan nilai-nilai susila dan keagamaan adalah bagian dari budaya kekerasan yang mereka anut itu, seperti tayuban.

Menarik sekali untuk dikaji bagaimana Kiai Bisri menghadapi kesemua tentangan itu dengan pendekatan yang sangat lentur dalam sikap tetapi tegar dalam pendirian. Santunan yang ditunjukkannya kepada mereka yang lemah, bukannya dalam bentuk pemberian berlebih-lebihan dan sejenisnya, melainkan dengan memperlakukan semua orang yang berurusan dengan dirinya sesuai dengan hak-hak dan kewajiban masing-masing, lambat laun lalu mengubah pandangan orang terhadap dirinya, terutama di kalangan elite desa itu sendiri. Ia bukanlah orang yang sekonyong-konyong datang dengan seruan untuk menjungkir-balikkan semua nilai kehidupan yang dianut secara umum, melainkan seorang warga masyarakat yang tidak memisahkan diri dari jalur umum kehidupan. Kalaupun ada perbedaan moralitas dan nilai yang dianutnya dari apa yang terjadi di sekelilingnya, itu dilakukannya dengan tidak menghadapkan moralitas dan nilainya itu secara frontal, melainkan dengan hanya memberikan contoh bagi mereka yang mau mengikutinya. Kiai Bisri tidak ‘menyerang keluar’, melainkan menerima di tempat sendiri mereka yang berkeinginan mengubah diri secara berangsur-angsur.

Pendekatan ini menghasilkan dua hal sekaligus: mengubah pola hidup masyarakat sekelilingnya secara berangsur-angsur, dan mengundang datangnya orang luar desa itu untuk belajar ilmu-ilmu agama darinya. Murid pertama Kiai Bisri datang baik dari anak tetangga sedesa, di samping Abi Darda’ yang datang dari desa 4 kilometer arah selatan Denanyar. Keempat murid pertama itu tinggal di surau yang didirikan Kiai Bisri dalam tahun 1917, dengan jalan menyekat sebagian ruang surau itu untuk kamar tempat tinggal mereka. Sistem yang digunakan masih bersifat sorogan, yaitu bimbingan individual untuk menguasai teks teks lama secara bertahap. Pendidikan dengan sistem lama itu dilakukan Kiai Bisri secara tekun selama dua tahun tanpa ada tanda-tanda akan dilakukannya cara lain untuk mendidik para santrinya.

Santri Wanita

Ternyata dalam tahun 1919 Kiai Bisri membuat sebuah percobaan yang sangat menarik, yaitu dengan mendirikan kelas khusus untuk santri-santri wanita di pesantrennya. Mereka adalah anak tetangga sekitar, yang diajar di beranda belakang rumah Kiai Bisri sendiri. Langkah penting ini adalah percobaan pertama di lingkungan pesantren untuk memberikan pendidikan sistematis kepada anak-anak perempuan muslim, setidak-tidaknya di Jawa Timur. Langkah yang demikian ‘aneh’ di mata ulama pesantren itu tidak luput dari pengamatan gurunya, Kiai Hasyim Asy’ari, sehingga pada suatu hari sang guru datang melihat sendiri perkembangan yang terjadi di pesantren bekas muridnya itu. Walaupun tidak memperoleh izin spesifik dari sang guru. Kiai Bisri memilih melanjutkan percobaannya itu, karena juga tidak ada larangan datang dari guru yang ditundukinya itu. Ketetapan hatinya untuk meneruskan percobaan itu adalah suatu perubahan sikap cukup besar dalam diri Kiai Bisri. Sedangkan sebelumnya ia tidak pernah mengambil tindakan baru apapun tanpa memperoleh perkenan formal dari sang guru terlebih dahulu seperti dapat dilihat pada kasus keengganannya memasuki Syarikat Islam cabang Mekkah sewaktu didirikan dalam tahun 1913. Mungkin di saat itu telah terjadi perkembangan yang dibawakan oleh kematangan sikap dalam menentukan keputusan berdasarkan pranata hukum agama, seperti nantinya akan terbukti dalam beberapa hal lain.

Kiai Bisri, sebagaimana kebanyakan kiai muda lainnya, yang lulus dan masih menunduki guru mereka di Tebuireng, secara periodik datang ke tempat gurunya. Kunjungan insidental sering dilakukan, termasuk kalau ada masalah yang sepatutnya dimintakan pertimbangan sang guru. Tetapi kunjungan menetap dilakukan dalam bulan Puasa, ketika para alumni ‘kembali’ ke pesantren tempat mereka semula belajar, guna mengikuti pengajian khusus sebulan penuh oleh Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, terutama kumpulan hadits Bukhari dan Muslim serta kitab fiqh standard yang menjadi ‘wiridan’ sang guru itu: Fathul Qarib, lebih dikenal dengan nama Taqrib.

Beratnya hubungan guru dan murid yang sudah sama-sama menjadi kiai itu sebenarnya tidaklah mengherankan karena sesuai secara keseluruhan dengan tradisi pesantren. Bahkan Kiai Hasyim Asy’ari sendiri memiliki hubungan guru-murid yang unik dengan gurunya semasa belum belajar di Mekkah dalam abad kesembilan belas, yaitu Kiai Khazin Siwalan Panji dekat Surabaya. Ketika Kiai Hasyim, sang murid, telah menjadi kiai besar dengan jumlah murid ribuan, sang guru Kiai Khazin datang ikut mengaji kepadanya dalam bulan Puasa di Tebuireng.

Kiai Hasyim memberikan penghormatan sepenuhnya kepada gurunya di masa muda itu, tetapi juga mengikuti perintah sang guru supaya meneruskan pelajaran yang diberikannya.

Akrabnya hubungan Kiai Bisri dengan gurunya Kiai Hasyim itu terlihat ketika sang guru mempertanyakan secara terperinci berita-berita yang didengarnya tentang diri sang murid. Kiai Bisri dan iparnya, Kiai Abdul Wahab (yang baru kembali ke tanah air pada tahun 1917), menjelang tahun 1920 banyak terlibat kegiatan keagamaan dengan teman mereka semasa di Tebuireng dahulu, yaitu Abdul Mu’ti Kawan yang lahir di Jombang ini, tetapi kemudian dikenal sebagai ‘Kiai Mu’ti Kudus’ oleh para warga Gerakan Pemuda Islam Indonesia sejak tahun lima puluhan di Jakarta, tidak mengikuti jejak mereka berdua untuk belajar di Mekkah. Dalam tahun belasan itu Abdul Mu’ti justeru terserap ke dalam gerakan Muhammadiyah yang berkembang di Jombang setelah Perang Dunia I.

Dengan segera kedua kiai muda lulusan Mekkah itu terlibat dalam hubungan yang unik dengan teman mereka Abdul Mu’ti itu. Di satu pihak mereka bertiga senantiasa memperdebatkan masalah-masalah yang diperselisihkan waktu itu, seperti masalah tahlil dan sebagainya. Tetapi ‘dialog’ itu juga merupakan forum pematangan bersama, karena silih berganti mereka melakukan debat antara pesantren yang didirikan Kiai Bisri di Denanyar dan di pusat kegiatan Muhammadiyah di kota Jombang sendiri. Sistim berganti tempat dalam melakukan perdebatan atas dasar saling menghormati, dan tidak akan ada keputusan hingga akhir hayat mereka, dengan segera terdengar oleh Kiai Hasyim di Tebuireng. Tidak heranlah jika kemudian Kiai Bisri dan Kiai Abdul Wahab dipanggil ke Tebuireng, untuk mendapat teguran keras sehubungan dengan partisipasi mereka dalam serangkaian kegiatan Muhammadiyah di Jombang, dan pemberian kesempatan kepada Abdul Mu’ti untuk turut mengisi acara keagamaan di pesantren Kiai Bisri yang baru tumbuh itu.

Adalah menarik mendengar penuturan Kiai Bisri dikemudian hari, setelah wafatnya Kiai Abdul Mu’ti dalam penutup tahun-tahun tujuh puluhan, betapa Kiai Abdul Wahab justeru melawan penilaian sang guru atas perilaku mereka berdua. Itulah pertama kali Kiai Bisri melihat iparnya itu berbeda pendapat dari guru mereka, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Sedangkan Kiai Bisri sendiri, seperti sudah dapat diduga semula, tidak mengajukan bandingan pandangan apapun terhadap pendapat sang guru itu. Tetapi kembali mulai terlihat betapa iapun sudah mulai mengembangkan pola mengambil pendapat sendiri, karena setelah kejadian itupun ia masih terus bergaul dengan Kiai Abdul Mu’ti, hingga saat kepindahan teman itu ke Kudus pada permulaan tahun-tahun dua puluhan. Seperti juga halnya sewaktu sang guru itu menasehatinya agar tidak menimbulkan gelombang dengan mendirikan kelas putri di pesantrennya. Baik dalam kasus kelas putri itu maupun dalam kasus Abdul Mu’ti, sang guru tidak menjatuhkan larangan mutlak, melainkan hanya menyangkut peringatan terhadap kemungkinan munculnya gelombang di kalangan kiai-kiai lainnya. Karena bentuk larangan yang seperti itu, terdapat ruang gerak bagi sang murid untuk menentukan pendapatnya sendiri secara jelas. ‘Kode etik’ merumuskan pendirian seperti ini di kemudian hari juga dikembangkan Kiai Bisri sendiri, sebagaimana akan terlihat dalam banyak kasus nantinya.

Kedatangan kembali Kiai Abdul Wahab dari Mekkah, ternyata menyeret Kiai Bisri ke dalam pola kegiatan yang lain. Kiai Abdul Wahab hanya dua-tiga tahun saja tahan tinggal di desanya, Tambakberas di Jombang. Segera ia merasa begitu resah, sehingga ia memilih untuk menetap di Surabaya, tempat kerabat ibunya di bilangan Kertopaten, tidak jauh dari bilangan Ampel dan Sasak di utara kota. Kebetulan pada waktu itu berkumpul pula di Surabaya dua orang teman yang tadinya bersama-sama aktif dalam kegiatan Syarikat Islam cabang Mekkah yang hanya berumur setahun, yaitu Kiai Asnawi dari Kudus dan pemuda Dahlan (yang termuda diantara kelompok itu) dari Kertosono. Kiai Asnawi waktu itu dibuang ke Surabaya oleh pemerintah kolonial, karena sikapnya yang keras terhadap golongan non-santri. Dahlan, seperti halnya Kiai Abdul Wahab, tidak mampu menahan tarikan hidup kota besar. Bersama dengan sejumlah kiai muda setempat, seperti Kiai Dahlan Kebondalem dan Kiai Ridwan, mereka bertiga mendirikan klub kajian yang mereka beri nama Taswirul Afkar (terjemahan literer: konseptualisasi pemikiran. Dari kelompok kajian ini kemudian lahirlah sebuah sekolah agama dengan nama yang sama, yaitu Madrasah Taswiril Afkar. Namun sebelum kepindahannya ke Surabaya, Kiai Abdul Wahab telah mengajak Kiai Bisri mendirikan sebuah badan usaha yang diberi nama Nahdlatut Tujar. Berdiri di Jombang tahun 1918, usaha berbentuk koperasi itu diketuai oleh guru mereka Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, melibatkan kedua Kiai muda itu dan ulama-ulama lain. Badan usaha ini tidak berlanjut karena kepindahan Kiai Abdul Wahab ke Surabaya.

Dalam tahun 1924, Kiai Abdul Wahab yang masih sebaya dengan beberapa pemuda la.n yang ‘beredar’ di sekitar Haji Oemar Sa’id Tjokroaminoto, segera terlibat dalam sebuah kegiatan bersama dengan beberapa tokoh muda lainnya, seperti Kiai Mas Mansoer, yang masih termasuk anggauta inti hubungan kekeluargaan para kiai tradisional di kota Surabaya. Tokoh-tokoh yang semula warga Syarikat Islam itu, baik yang dari Muhammadiyah maupun yang bukan, tergugah oleh kegiatan untuk turut merumuskan jawaban terhadap tantangan penghapusan khilafah oleh Kemal Ataturk di Turki. Dinasti Sa’udi yang baru saja merebut kekuasaan atas kota Mekkah, mengajukan himbauan agar kaum muslimin seluruh dunia memikirkan masalah tersebut. Dalam persiapan menyongsong berlangsungnya sebuah muktamar umat Islam tentang masalah itu di Mekkah, sebagaimana diusulkan oleh dinasti Sa’udi, muncullah sejumlah ‘Komite Khilafah’ di beberapa kota kita, dengan keanggotaan berbagai kalangan yang ada. Kiai Abdul Wahab termasuk dalam Komite Khilafah di kota Surabaya, yang diketuai Hadji Oemar Sa’id Tjokroaminoto dengan anggota lain termasuk Kiai Mas Mansoer.

Pada waktu delegasi Komite Khilafah Surabaya akan berangkat ke pertemuan antar komite tersebut di Bandung, Kiai Abdul Wahab tidak dapat turut hadir, karena ibunya meninggal dunia di Jombang. Dengan sendirinya ‘pokok-pokok penting’ yang dikemukakannya di Surabaya menjadi tidak muncul di Bandung: permintaan agar kuburan para imam mazhab fiqh (Imam Malik dan Imam Syafi’i) yang ada di Masjidil Haram tidak dibongkar, dan tuntutan agar peribadatan haji menurut cara masing-masing (termasuk cara berbagai mazhab fiqh yang saling berbeda) tidak dilarang.

Komite Hijaz

Walaupun Komite Khilafah bubar dengan sendirinya, karena gagalnya upaya penyelenggaraan mu’tamar di Mekkah itu, perasaan kecewa Kiai Abdul Wahab atas begitu sedikit perhatian kawan-kawannya ‘sekomite’ atas hal yang dianggapnya penting, jelas mempengaruhi sikapnya. Ia mengambil prakarsa mendirikan apa yang kemudian dinamai ‘Komite Hijaz’ guna mencari dukungan atas apa yang dianggapnya penting itu dengan tujuan utama mengirimkan sebuah delegasi ke Saudi Arabia untuk memperjuangkan pendirian itu kepada raja Abdul Aziz ibn Sa’ud. Upaya mengumpulkan dukungan para kiai pesantren itu melibatkan iparnya, Kiai Bisri, dengan mereka berdua menanggung beban tugas berkeliling pulau Jawa, menghubungi kiai-kiai dari Banyuwangi di ujung timur hingga ke Menes di ujung barat.

Semula, gagasan membentuk sebuah komite seperti itu tidak memperoleh restu dari guru mereka, Kiai Hasyim Tebuireng. Setelah berbulan-bulan mengajukan argumentasi, mungkin juga melalui jasa-jasa baik sejumlah kiai lain yang lebih tua dari Kiai Hasyim Asy’ari, akhirnya izin diberikan. Di sini tampak lagi sikap baru Kiai Bisri dalam mengambil keputusan. Ia tidak hanya puas menerima jawaban sekali, melainkan terus berusaha berkali-kali hingga pada akhirnya perkenan diperoleh dari sang guru. Kemauan keras untuk berusaha berkali-kali itu, hingga pihak yang diajak berdialog mau mengerti apa yang diingininya, juga diperlihatkan oleh kawan baiknya, Kiai Ma’sum Ali yang juga adalah menantu Kiai Hasyim. Kiai Ma’sum sudah sejak tahun 1919 mengajukan usul mendirikan sistim sekolah di pesantren Tebuireng, tetapi baru setelah empat tahun lamanya mengajukan permintaan berulang kali percobaan tersebut diizinkan. Mungkin dalam proses itu Kiai Ma’sum Ali terpengaruh dan belajar dari Kiai Bisri yang secara tekun sudah membuka kelas putri di pesantren Denanyar. Ketekunan Kiai Ma’sum untuk mengajukan kembali permintaannya berulang kali itu juga kemungkinan besar menjadi contoh Kiai Bisri dan Kiai Abdul Wahab, untuk ‘menyelesaikan’ kerja membuat Komite Hijaz.

Seperti Komite Khilafah sebelumnya, komite ini tidak jadi mengirimkan delegasi ke Saudi Arabia. Telegram yang mereka kirimkan kepada raja Abdul Aziz ibn Sa’ud, yang memohon agar ada kemerdekaan menjalankan peribadatan haji menurut cara masing-masing, menerima belasan positif dari raja baru itu. Dengan sendirinya lalu tidak ada keperluan lagi untuk mengirimkan delegasi ke tanah suci Mekkah dan ibukota Saudi Arabia Riyad. Hasil itu dikomunikasikan kepada sejumlah ulama Jawa Timur dan laporan disampaikan kepada sejumlah ulama Jawa Timur dan laporan disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng, Jombang. Menanggapi pernyataan Kiai Abdul Wahab dan Kiai Bisri bahwa komite mereka itu akan dibubarkan, karena telah menyelesaikan tugas dengan baik, Kiai Hasyim Asy’ari justeru menyayangkan kalau upaya organisatoris untuk menyatukan pendapat dan mengatur langkah bersama itu dihentikan. Mengapa justeru Kiai Abdul Wahab tidak meneruskan saja usaha itu ke dalam sebuah ‘perkumpulan’ yang lebih bersifat permanen?

Dialog yang terjadi dalam tahun 1925 itu akhirnya melahirkan upaya mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’, setahun kemudian. Cerita Kiai Bisri lima puluhan tahun kemudian, tentang berdirinya organisasi tersebut, sangatlah menarik untuk diikuti. Kiai Bisri menggambarkan proses itu, kalau kita simpulkan dari untaian episode bermacam-macam, sebagai kebutuhan yang muncul dari kalangan kiai pesantren untuk menyalurkan upaya mencari kebersamaan dalam pandangan kemasyarakatan mereka, daripada upaya reaktif terhadap gerakan lain yang telah ada. Bahkan usul pertama untuk membentuk Komite Hijaz justeru ditolak Kiai Hasyim Asy’ari, karena akan menyamai usaha gerakan lain, karena dalam pandangannya kiai-kiai pesantren akan menyimpang dari jalan benar yang mereka tempuh selama ini, kalau mengikuti apa yang telah dirintis orang lain untuk tujuan mereka sendiri. Karena itulah sejak semula hanya tujuan memperjuangkan hak melakukan peribadatan menurut ‘cara lama’ kepada pemerintahan baru di Saudi Arabia saja yang mewarnai Komite tersebut. Baru setelah tampak hasil positif itulah dirasakan kebutuhan untuk mengorganisir diri secara lebih menetap, sudah tentu meningkatkan effektivitas kerja di kalangan sendiri.

Kiai Bisri, ternyata menempatkan diri (ataukah justeru ditempatkan?) dalam kedudukan pendamping lebih muda (junior partner) bagi pribadi Kiai Abdul Wahab yang dinamis, sekaligus menjadi penghubung antara iparnya itu dan Kiai Hasyim Asy’ari. Kedudukan ini ternyata, umpamanya, dalam tugas menjemput Hadratus Syaikh itu dari Tebuireng untuk dibawa ke Surabaya dalam peresmian berdirinya Nahdlatul-Ulama. Ternyata, walaupun para ulama telah berkumpul di Surabaya dan berdatangan dari seluruh daerah di pulau Jawa dan ada yang dari Kalimantan Selatan, Kiai Hasyim yang tinggal hanya 90 kilometer dari kota tersebut belum juga tampak. Apapun sebabnya, entah karena masih ada sedikit sisa keraguan ataupun karena sebab lainnya, tidak datangnya guru dari banyak tokoh yang hadir itu dapat menggagalkan rencana peresmian Nahdlatul Ulama’. Kiai Bisri adalah orang yang diminta untuk menjemput Kiai Hasyim, berangkat selepas senja dan baru keesokan siangnya kembali dengan membawa sang guru yang ditunggu-tunggu orang banyak itu, dengan penugasan yang kemungkinan besar ditetapkan atau diusulkan oleh Kiai Abdul Wahab. Terlihat di sini, bahwa penunjukan orang yang dianggap paling mungkin meyakinkan Kiai Hasyim Asy’ari, jika memang masih merasa ragu-ragu, jatuh kepada Kiai Bisri. Kenyataan itu menunjukkan dengan jelas fungsi penghubung yang dipegangnya antara Kiai Hasyim dan Kiai Abdul Wahab, kalau juga tidak dengan para kiai lain yang mengambil prakarsa mendirikan Nahdlatul Ulama, setelah gagasan untuk itu sendiri semula juga datang dari Hadratus Syaikh sendiri.

Dalam hal ini, peranan sebagai orang tempat menaruh kepercayaan tampak jelas dipegang Kiai Bisri. Antara lain, ketundukannya yang begitu mutlak kepada sang guru memberikan jaminan akan bersihnya sesuatu hal yang digarap dari kemungkinan penyimpangan, walau segaris tipispun, dari kehendak semula yang dinyatakan Kiai Hasyim sendiri. Di samping itu, keterlibatannya yang penuh kalau telah menyatakan kesedihan, merupakan jaminan penuh bagi yang lain-lain akan keteguhan pendirian Kiai Bisri untuk mempertahankan eksistensi organisasi baru itu, jika masih dimungkinkan perubahan sikap di pihak sang guru mungkin sebagai hasil pertimbangan dari pihak lain.

Segera setelah terbentuknya organisasi tersebut, dengan Kiai Bisri duduk sebagai A’wan (Pembantu) dalam susunan Pengurus Besar (Hoofdbestuur)nya. Pola kehidupan Kiai Bisri lalu segera mengalami perubahan total dari masa sebelumnya. Di tingkat lokal, ia lalu harus memotori perkembangan Nahdlatul Ulama di daerah kediamannya, Jombang. Di samping itu, ia menjadi penghubung antara pelaksana kegiatan sehari-hari kepengurusan pusat di Surabaya dan Kiai Hasyim yang dalam mu’tamar pertama Nahdlatul Ulama itu telah ditetapkan sebagai Ra’is Akbar. Di pihak lain, ia harus melakukan banyak hal di luar daerah Jombang untuk kepentingan Nahdlatul Ulama, antara lain menjadi penghubung antara Pengurus Besar dan para tokoh organisasi di daerah pantai utara Jawa Tengah, yang menjadi daerah asal-usul kelahirannya.

Sayap Haji

Salah satu hal yang membantunya dalam penunaian tugas seperti itu adalah kontak kekeluargaan yang dimilikinya dengan pejabat pemerintahan lokal di daerah pantai utara. Dari jalur hubungan daerah dengan ibunya yang berasal dari Lasem, Kiai Bisri mempunyai hubungan kekerabatan dengan sejumlah penghulu kabupaten, seperti di Tuban. Walaupun ia berasal dari ‘sayap haji’ yang diperlakukan hanya sebagai petani desa dalam pergaulan kekeluargaan, tetapi banyak yang dapat diperbuatnya dalam kapasitas seperti itu, sudah tentu dengan banyak pengorbanan perasaan di hadapan perlakuan yang seringkali bersifat merendahkan harga dirinya.

Pola lain yang berkembang adalah munculnya Kiai Bisri dan Kiai Abdul Wahab sebagai peserta aktif dalam musyawarah hukum agama yang berlangsung di lingkungan Nahdlatul Ulama. Setelah organisasi itu berdiri, Kiai Hasyim Asy’ari sebagai pengasuh pesantren Tebuireng dan guru para kiai muda yang menjadi tulang punggung pelaksanaan kegiatan Nahdlatul Ulama, memulai sebuah kelas yang kemudian dinamai ‘kelas musyawarah’: forum tetap bagi para santrinya, baik yang masih belajar di Tebuireng maupun yang telah berkiprah di tempat masing-masing, untuk diuji kebolehan mereka dalam memecahkan masalah-masalah yang timbul di bidang hukum agama. Kedua sahabat yang kemudian saling beriparan itu ternyata memegang peranan yang boleh dikata bertolak belakang dalam kelas musyawarah seperti itu. Kiai Abdul Wahab memegang peranan sebagai penjelajah yang menelusuri bermacam-macam aspek pengetahuan agama, melalui berbagai jenis disiplin keagamaan, untuk mencari pemecahan yang sejauh mungkin bersifat positif bagi relevansi kehidupan keagamaan dalam masa perubahan sosial yang terjadi secara cepat. Pengembaraan intelektual di bidang pengetahuan agama itu sering membawanya kepada pendapat yang dianggap orang lain sebagai ‘keputusan yang ringan’. Peranan Kiai Bisri justeru adalah sebaliknya dalam perdebatan sengit yang terjadi dalam forum seperti itu, yang diikuti dengan cermat oleh sang guru, Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai Bisri justeru berperan sebagai orang yang memeriksa secara tuntas semua usul pemecahan masalah dari sudut pandangan murni ilmu fiqh belaka.

Dari pola penghadapan kedua peranan tadi, Kiai Hasyim lalu memberikan keputusannya, yang umumnya diterima sebagai keputusan terakhir yang tidak diganggu gugat lagi. Kalau dilihat dari jenis keputusan yang dihasilkan, nyata sekali bahwa pendalaman masalah dari sudut pandangan murni ilmu fiqh, seperti dilakukan Kiai Bisri, merupakan mayoritas pendapat yang kemudiannya dianut Kiai Hasyim. Dua hal dapat disimpulkan dari kenyataan ini. Pertama, betapa sulitnya dikembangkan pemikiran keagamaan yang mencoba mendinamisasikan fiqh dengan memasukkan unsur-unsur baru ke dalam lingkup pemikirannya, seperti dilakukan Kiai Abdul Wahab. Kegemarannya untuk terlibat dalam perdebatan sengit mengenai masalah-masalah hukum agama (masalah khilafiah) dengan penganut faham lain, sering memberikan gambaran seolah-olah Kiai Abdul Wahab adalah tokoh Nahdlatul Ulama yang berpandangan sempit dan bersikap fanatik, hanya mau benarnya sendiri. Padahal peranan itu justeru tidak dilakukannya dalam lingkungan Nahdlatul Ulama sendiri, karena dengan caranya tersebut ia justeru mencoba meluaskan cakrawala pemikiran di lingkungan organisasinya itu. Kesimpulan kedua adalah betapa jelasnya tampak kemampuan Kiai Bisri untuk mempertemukan kecenderungan gurunya di bidang ilmu-ilmu hadits dan cara berpikir yang sepenuhnya terikat kepada pandangan murni ilmu fiqh. Ini berarti kemampuan sangat besar untuk menguasai perbendaharaan ayat dan hadits sebagai sumber pengambilan hukum dan menggunakannya secara tuntas bagi pengolahan keputusan di bidang fiqh. Sebagaimana jelas dari uraian di bagian lain dari tulisan ini, penguasaan penuh atas fiqh selamanya harus berlandaskan penguasaan yang tuntas pula atas Alquran dan Hadits Nabi, sebagai sumber pengambilan hukum agama.

Fungsi yang tampak saling bertolak belakang dari Kiai Bisri dan Kiai Abdul Wahab ini, yang secara lahiriyah menggambarkan konflik pandangan yang tidak pernah terlerai, pada hakikatnya adalah proses

yang mematangkan keputusan-keputusan yang diambil di lingkungan Nahdlatul Ulama. Kalau dilihat dari kumpulan keputusan-keputusan mu’tamar Nahdlatul Ulama selama ini, kematangan berfikir yang menunjangnya tampak tidak kalah dari produk literatur fiqh di masa puncak kejayaan pengetahuan keagamaan kaum muslimin di masa lampau. Kalau dibuat pengkajian perbandingan dalam hal ini, hasilnya tentu akan menarik: ternyata kekhawatiran para ulama muslimin yang selalu ada tentang menurunnya kualitas dan kuantitas pengetahuan agama mereka tidak sepenuhnya benar. Banyak cara kolektif yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi dan kualitas pengetahuan agama yang dimiliki di suatu masa, seperti tampak dari pola penghadapan antara cara berpikir Kiai Abdul Wahab dan kesetiaan Kiai Bisri kepada ilmu fiqh dengan segenap peralatanny.

Pergerakan Nasional

Tahun-tahun tiga puluhan adalah periode yang menarik dalam kehidupan bangsa, karena di dalamnya berlangsung banyak perkembangan penting. Di antaranya adalah pemunculan sejumlah tokoh muda dalam berbagai corak pergerakan, yang membawakan juga perdebatan sengit antara berbagai golongan tentang visi kemasyarakatan apa yang akan diwujudkan di masa depan bagi bangsa yang disaat itu sendiri masih dijajah pemerintah kolonial. Perdebatan M. Natsir dan Soekarno dalam seri polemik yang panjang dalam media masa, umpamanya, dapat disebutkan sebagai salah satu tonggak penting dalam kehidupan bangsa. Semakin jelasnya polarisasi pandangan antara aspirasi ‘golongan Islam’ dan kaum nasionalis, kalau mau dipakai istilah klise yang kebenarannya memerlukan pengujian lebih lanjut, memunculkan dinamika berpikir yang akan jauh implikasinya bagi masa depan bangsa, sebagaimana nantinya terbukti dalam sejarah.

Di lingkungan Nahdlatul Ulama, periode itu menyaksikan dua perkembangan penting, yaitu konsolidasi kegiatan organisasi, dan munculnya perumusan-perumusan sikap organisasi yang memiliki lingkup tersendiri bagi pemikiran masalah kemasyarakatan di dalam lingkungan Nahdlatul Ulama. Kiai Bisri terlibat sepenuhnya dalam proses konsolidasi kegiatan organisasi itu, seperti terbukti dari kiprahnya dalam mengembangkan dan mengawasi kegiatan lailatul ijtima’, sebuah forum keagamaan untuk mengingat-ingat jasa mereka yang telah berpulang ke rahmatullah dan memohonkan ke lapangan tempat mereka di sisi Allah. Forum ini memiliki arti penting dalam memelihara solidaritas intern di lingkungan organisasi, karena ia langsung melibatkan para keturunan dan keluarga dekat orang yang telah meninggal dunia ke dalam upaya pelestarian perjuangan mereka, sehingga dengan demikian lailatul ijtima’ yang diadakan sebulan sekali pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan dan desa itu merupakan mata rantai pemantapan keterlibatan warga kepada kelangsungan hidup organisasi.

Munculnya tokoh-tokoh muda di sektor pelaksana harian (kepengurusan Tanfidziyah), seperti Ali Ubaid, Mahfudz Siddiq dan kemudian A. Wahid Hasyim, ternyata membawakan angin segar baru: munculnya pemikiran-pemikiran kemasyarakatan yang beraneka ragam, yang kesemuanya itu mempunyai bekas tersendiri dalam kehidupan Nahdlatul Ulama. Perhatian kepada upaya pengembangan masyarakat melalui jalur-jalur sosial-ekonomis, sosial-budaya dan sosial-politis tampak mencolok peningkatannya, seperti dapat dikaji dari nomor-nomor lama organ organisasi itu, seperti Berita Nahdlatoel Oelama (BNO), Kiai Bisri tidak pernah melibatkan diri dalam dunia tulis-menulis, tetapi keterlibatannya dalam upaya dinamisasi organisasi dengan pelebaran wilayah kegiatannya itu tampak jelas dari upayanya mendorong dan kemudian menopang berdirinya rumah-rumah yatim-piatu di berbagai tempat, termasuk di Jombang sendiri. Juga dalam dukungannya kepada upaya pelayanan kesehatan yang dirintis di berbagai tempat.

Disamping itu, perkembangan pesantren yang dipimpinnya telah membawa Kiai Bisri kepada kedudukan guru dari sejumlah kiai muda hasil didikannya, seperti Kiai Abi Dardak dari Jombang, Kiai Nursalim dari Malang, Kiai Masduki dari Salatiga dan Kiai Bunyamin dari Mojokerto. Kemampuan mendidik santri-santri yang kemudian berhasil menjadi kiai di tempat masing-masing membawa pesantren Denanyar yang dirintis dan kemudian dikembangkan Kiai Bisri itu ke jenjang status sebagai pesantren utama di kemudian hari. Korps guru yang tangguh, asuhannya sendiri dari titik nol, telah memiliki momentum perkembangannya sendiri, yang dikemudian hari akan melahirkan sejumlah kiai lebih di bawah lagi dalam usia, seperti Kiai Baqir dari Pacitan, Kiai Khusnan dari Kudus, Kiai Muhadi yang kemudian membantu Kiai Bisri di Denanyar sendiri, dan seterusnya.

Sekolah agama yang berkembang dipesantren asuhan Kiai Bisri itu juga telah mampu mengubah watak kehidupan secara umum di desa Denanyar. Nilai-nilai yang tadinya dominan dalam pengaturan hidup masyarakat, seperti kejagoan fisik seseorang dan sebagainya, secara tetap dan bertahap telah digantikan oleh nilai-nilai kehidupan yang lebih rasional dan lebih berpautan dengan kaidah-kaidah moral keagamaan. Sebagai petani berukuran sedang yang sukses dalam mengatur kehidupan ekonominya sendiri. Kiai Bisri juga mendorong munculnya sejumlah petani yang mengamalkan moral keagamaan dalam profesi mereka. Hubungan dengan pemerintahan desa juga berada pada tahap yang baik, tidak usah terlalu dekat tetapi tidak pula bermusuhan.

Terlibat Perjuangan Bersenjata

Yang menarik dari cerita orang-orang tua yang masih hidup di desa tersebut hingga hari ini, periode tahun-tahun tiga puluhan itu juga menyaksikan sebuah perkembangan menarik dalam diri Kiai Bisri: keterlibatannya kepada upaya memperbaiki nasib mereka yang malang dan miskin. Ia menjadi sangat dekat dengan mereka, memberikan santunan sosial yang besar kepada mereka, dan senantiasa membantu prakarsa perbaikan nasib dengan usaha-usaha baru di antara mereka. Keterlibatan kepada upaya perbaikan nasib mereka yang malang dan miskin itu ternyata tetap dipeganginya hingga ke akhir hayatnya, sebagaimana dapat direkam dari cerita masyarakat desa tersebut.

Pecahnya Perang Dunia II dan pendudukan Jepang membawa keprihatinannya sendiri kepada Kiai Bisri. Mula-mula ia harus prihatin dengan kebalauan hidup yang diakibatkan oleh penjajahan Jepang, terutama yang menyangkut kegiatan Nahdlatul Ulama dan kelangsungan pendidikan di pesantrennya sendiri. Setelah itu, ditambah lagi keprihatinan oleh penangkapan pemerintah Jepang atas diri guru yang dicintainya, yang kini telah menjadi besannya dengan pernikahan putrinya dengan anak sang guru, Abdul Wahab Hasyim. Walaupun demikian, ia berusaha sekuat-kuatnya meneruskan tugas-tugas organisasi dan kewajiban mendidik santri-santrinya, secara tekun dan tidak kenal putus asa. Ketika Masjumi dibentuk, Kiai Bisri turut aktif berkiprah di tingkat lokal, karena bagaimanapun juga kesetiaannya yang pertama adalah kepada Nahdlatul Ulama.

Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun ternyata masih diikuti oleh perkembangan yang juga membuat Kiai Bisri lebih berprihatin. Kemerdekaan bangsa telah tercapai. Yang menjadi masalah adalah bagaimana mempertahankannya. Kiai Bisri mengambil jalan yang paling dikenalnya: turut aktif dalam pertahanan negara, dengan jalan menjadi Kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (MODT), yang semula berkedudukan di Waru dekat Surabaya, dan kemudian terus menerus terdesak sampai ke garis belakang, hingga saat pembubarannya di kala TNI telah berdiri sebagai satu-satunya angkatan bersenjata yang bertanggung jawab atas pertahanan negara. Ternyata usia yang sudah menginjak ambang 50 tahun di saat itu, tidak mengurangi mobilitas dan kegesitan gerak fisiknya sama sekali. Jendral (purnawirawan) A.H. Nasution memberikan informasi tentang bagaimana Kiai Bisri masih tetap melakukan konsultasi dengan para komandan militer di daerah pertempuran Surabaya-Jombang, seperti Overste Kretatro dan sebagainya, bahkan setelah Clash Kesatu sekalipun. Dapatlah diperkirakan apa yang menjadi motif Kiai Bisri untuk menerjunkan diri seperti itu ke dalam perjuangan militer secara langsung. Yaitu turunnya fatwa guru tercinta Kiai Hasyim Asy’ari tentang hukum jihad akbar dan perjuangan di jalan Allah bagi perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Terlihat jelas di sini bagaimana keputusan di bidang fiqh ternyata mampu mendorong tindakan-tindakan besar dengan pengorbanan cukup besar. Dalam kasus Kiai Bisri, korban yang harus diberikan adalah pengabaian tugas-tugas organisasi di lingkungan Nahdlatul Ulama dan tugas mendidik santrinya secara langsung. Padahal pengorbanan itu datang dari orang yang begitu taat kepada kewajiban, sehingga masih memberikan pelajaran membaca Alquran di tingkat paling dasar dari pendidikan agama di pesantrennya, ketika ia telah berusia sembilan puluh tahun!

Anggota KNIP

Periode kemerdekaan juga membawa tahap baru dalam kehidupan Kiai Bisri, yaitu keterlibatan dalam lembaga pemerintahan. Dimulai dengan keanggotaan dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), mewakili unsur Masjumi (tempat Nahdlatul Ulama tergabung secara politis). Perang Gerilya, yang sempat membubarkan pesantrennya untuk sementara waktu, membuat keterlibatan dalam lembaga pemerintahan terhenti. Tetapi keterlibatan itu dilanjutkan dalam keanggotaan Dewan Konstituante tahun 1956, terhenti lagi semenjak dewan itu dibubarkan hingga ke masa pemilihan umum tahun 1971, Ketika itu Kiai Bisri terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat hingga saat berpulangnya ke rahmatullah dalam tahun 1980.

Itu semua tidak mempengaruhi kesetiaannya kepada Nahdlatul Ulama, bahkan kegiatan bermacam-macam dilakukannya dalam rangka pengabdian kepada Nandlatul Ulama. Sikap politiknya secara total ditentukan oleh persepsinya sendiri akan tempat Nahdlatul Ulama dalam sesuatu persoalan. Fakta inilah, antara lain, yang telah membuat Kiai Bisri sama keras sikapnya dengan Kiai Abdul Wahab yang menghendaki keluarnya Nadlatul Ulama dari keanggotaan Partai Masjumi dalam tahun 1952-53.

Masih belum jelas motif apa yang membuat Nahdlatul Ulama mengambil keputusan tersebut, walaupun yang pasti ia menyangkut masalah keagamaan yang paling dalam: ulamakah yang dianggap seharusnya memiliki kata terakhir dalam semua persoalan, ataukah sebuah lembaga lain di mana ulama hanya menjadi sebagian saja dari penentu kata? Sampai di manakah wewenang Majlis Syuro dibandingkan dengan lembaga lainnya secara formal? Yang jelas mudah diduga bahwa terdapat perbedaan faham yang tak dapat dijembatani tentang masalah kedudukan ulama itu.

Yang jelas, setelah Nahdlatul Ulama keluar dari Masjumi, dan kemudian menjadi partai politik tersendiri dengan kemampuan menyuguhkan kekuatan besar dalam pemilihan umum tahun 1955, dan terakhir keterlibatannya yang semakin besar dalam urusan pemerintahan di negeri ini, tugas yang dipikul Kiai Bisri menjadi tidak semakin ringan dan waktu yang dapat disediakannya langsung untuk mendidik santri di pesantrennya juga semakin mengecil. Sifat dari kekuasaan Syuriah (Dewan Agama) yang begitu besar dalam lingkup pengambilan keputusan di lingkungan Nahdlatul Ulama, yang bahkan dapat membatalkan keputusan yang diambil oleh pihak Tanfidziah (Dewan Pelaksana), dengan sendirinya membuat lebih penting lagi keterlibatan Kiai Bisri dalam proses pengambilan keputusan politik. Setelah wafatnya Kiai Hasyim Asy’ari, kedudukan Ra’is Akbar dihapuskan dan digantikan kedudukan Ra’is ‘Am sejak 1947, dengan Ra’is Am pertama Kiai Abdul Wahab dan Kiai Bisri sebagai wakilnya. Pola pengambilan keputusan secara lama, dengan Kiai Abdul Wahab menggunakan pendekatan multi-sektoral dan Kiai Bisri pendekatan yang semata-mata berada dalam lingkup ilmu fiqh, terus saja berlanjut di masa itu. Hal itu terlihat dari perdebatan sengit antara mereka dalam masalah sikap terhadap pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat dan pengangkatan sebuah Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) sebagai gantinya oleh Presiden Soekarno. Kiai Abdul Wahab melihatnya sebagai masalah vacuum kekuasaan. Menurut doktrin agama tidak boleh dibiarkan, karena akan berakibat munculnya anarki dalam pemerintahan. Dengan demikian, dituntut dari Nahdlatul Ulama untuk turut mengisi lembaga tadi, terlepas dari benar atau tidaknya cara pengangkatan itu sendiri. Kiai Bisri berpendapat sebaliknya, karena baginya masalah cara pengangkatan anggauta lembaga pemerintahan sebagai pengganti lembaga yang telah dipilih oleh rakyat sebagai pembuatan menentang ketentuan hukum fiqh tentang pemeliharaan hak rakyat. Bertentangan, tetapi saling mematangkan pendirian masing-masing.

Pasca G-30-S

Di saat-saat penuh kesulitan setelah terjadinya percobaan penggulingan kekuasaan pemerintahan oleh G-30-S/PKI di tahun 1965, dengan pertumpahan darah luar biasa besarnya serta perpindahan kekuasaan pemerintahan dari Orde Lama kepada Orde Baru, Kiai Bisri sering harus meninggalkan Jombang untuk turut dalam pengambilan keputusan di lingkungan Nahdlatul Ulama mengenai masalah-masalah nasional, karena Kiai Abdul Wahab sudah banyak sekali menghadapi ‘udzur. Dalam periode setelah wafatnya Kiai Abdul Wahab di tahun 1972 dan pengangkatan Kiai Bisri sebagai Ra’is ‘Am, semakin jelas beratnya tanggung jawab memimpin Nahdlatul Ulama. Organisasi itu semakin nyata membuktikan diri sebagai kekuatan sosial-keagamaan yang memiliki kekuatan jumlah anggauta (manpower) dan kekuatan kejiwaan (daya tahan) begitu besar dihadapan banyak perkembangan yang menguji kelangsungan hidupnya sendiri.

Segera setelah Nahdlatul Ulama meleburkan fungsi politiknya ke dalam Partai Persatuan Pembangunan dan kembali kepada fungsinya semula sebagai gerakan sosial-keagamaan yang bersifat non-politiks (jam’iyah), terlepas dari keberatan yang dirasakan Kiai Bisri terhadap cara-cara peleburan itu dilakukan, tidak dapat juga ia berpangku tangan melihat tantangan demi tantangan yang dihadapi. Tantangan besar yang pertama adalah munculnya sebuah Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang secara keseluruhan berwatak begitu jauh dari ketentuan-ketentuan hukum agama, sehingga tidak ada alternatif lain kecuali menolaknya. Tindakan pertama yang diambil Kiai Bisri adalah mengumpulkan sejumlah ulama daerah Jombang, untuk membuat sebuah rancangan tandingan atau RUU Perkawinan yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat itu. Setelah rancangan tandingan itu selesai dibuat, ia diajukan ke dalam lingkungan Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama, dan diterima secara aklamasi. Rancangan tandingan itu kemudian diajukan kepada sidang Majlis Syura Partai Persatuan Pembangunan, yang menerimanya dan kemudian memerintahkan Fraksi Persatuan Pembangunan untuk menjadikannya dasar bagi satu-satunya rancangan undang-undang yang dapat diterima oleh partai tersebut. Setelah melalui proses negosiasi berbelit-belit dan diselingi oleh kerusuhan oleh sejumlah pemuda di gedung lembaga perwakilan rakyat, rancangan tandingan itu diterima sebagai Undang-Undang Perkawinan yang disahkan dengan sedikit perubahan di sana-sini.

Tantangan berat lain setelah itu terjadi menjelang pemilihan umum tahun 1977, ketika terjadi tekanan dari berbagai kalangan agar Partai Persatuan Pembangunan tidak menggunakan gambar Ka’bah sebagai lambang dalam pemilihan umum tersebut. Tampak jelas sekali pada akhirnya, bahwa hanya Kiai Bisri seoranglah yang dapat menahan tekanan-tekanan politik itu secara mantap, dan partai tersebut dapat mengikuti pemilihan umum tetap dengan tanda gambar ka’bah.

Dalam masa persiapan menjelang dan selama berlangsungnya Sidang Umum Majlis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umum 1977, kembali terjadi perbedaan tajam dengan pihak-pihak lain mengenai beberapa rancangan ketetapan lembaga tersebut. Terutama dalam persoalan pemberian status kepada aliran kepercayaan, cara berpikir yang semata-mata dilandaskan pada hukum fiqh telah membuat Kiai Bisri menolak gagasan tersebut, dan pendapat itu tidak berubah sama sekali dalam proses tawar-menawar politik yang terjadi. Keteguhan pendirian itu akhirnya membawa kepada sikap meninggalkan sidang (walk out) ketika lembaga permusyawaratan itu tetap memutuskan memberikan status formal kepada aliran kepercayaan.

Sikap serba keras seperti itu menyembunyikan sebuah kenyataan penting yang tidak pula luput dari pengamatan orang banyak: Kiai Bisri sebenarnya telah banyak mengambil pendekatan yang dilakukan Kiai Abdul Wahab semasa hidupnya. Seolah-olah terjadi metamorfose dalam dirinya, sewaktu ia memikul beban yang tadinya dipikul sang ipar. Kiai Bisri lalu menjadi orang yang bersedia melihat persoalan dari berbagai sudut pandangan, sebelum diambil keputusan terakhir. Sikap yang hanya mau mencari sumber pengambilan keputusan literatur fiqh saja ditinggalkannya, karena hal itu sudah tidak sesuai lagi dengan peranan yang dijalaninya. Sebelum itu, pendekatan monolinear kepada fiqh itu dilakukannya untuk mengurangi sejauh mungkin pemudahan persoalan yang timbul dari pendekatan yang dipakai Kiai Abdul Wahab, seolah-olah penjaga gawang yang harus menjaga jangan sampai kebobolan. Tetapi dengan beban yang harus dipikulnya sendiri, Kiai Bisri harus mampu menggabungkan kedua jenis pendekatan semula itu, untuk memungkinkan pengambilan keputusan yang mengandung unsur kebijaksanaan yang tinggi, seperti terlihat dalam kasus Keluarga Berencana.

Kiai Bisri berpulang keramhatullah dalam usia yang lanjut, tetapi tetap dalam kerangka perjuangan yang sudah dipilihnya. Bahkan perubahan metamorfosis yang terjadi dalam dirinya masih menunjukkan watak semula dari kerangka itu, yaitu ketundukannya yang mutlak kepada fiqh sebagai sumber pengaturan hidup secara total. Baik atau buruk, kesetiaan seperti itu kepada hukum fiqh telah membentuk keutuhan diri Kiai Bisri, mengarahkan perjalanan hidupnya, dan menentukan sikapnya dalam semua persoalan. Kalau kehidupan Kiai Bisri sendiri dinilai penuh, utuh dan kaya dengan dimensi-dimensi luhur, kesemuanya itu tidak lain adalah pencerminan dari penerimaan mutlak atas hukum fiqh sebagai pengatur kehidupan secara nyata.

Utuh dan Bulat

Tokoh seperti Kiai Bisri dapat digambarkan sebagai lebih besar dari kehidupan (larger-than-life), karena ia menggambarkan pola kehidupan yang terikat kepada sesuatu yang lebih besar dari kehidupan manusia sehari-hari. Keseluruhan hidupnya diabdikan kepada dua kerja yang saling bertali: mendidik santri dan masyarakat, serta memperjuangkan aspirasi keagamaan melalui perjuangan organisasi.

Pola kehidupan seperti itu dapat tercermin secara penuh di tingkat kolektif, maupun dalam kehidupan perorangannya sendiri. Pada Kiai Bisri, keduanya bergabung dalam kebulatan yang tidak memiliki kekurangan sedikitpun. Pola kehidupan bermasyarakatnya jelas menunjukkan nilai-nilai perjuangan yang tinggi dan fungsi edukatif yang menetap. Pola kehidupan perorangannya juga demikian: kebersihan dirinya, penjagaannya atas ketepatan waktu (punctuality), pola pergaulannya dengan manusia lain, pengaturan hidup materialnya yang tidak menuntut kemewahan, pendekatannya dalam memecahkan masalah, dan keteguhannya mengikuti moralitas keagamaan secara tuntas. Kesemuanya itu menunjukkan pola kehidupan perorangan yang memiliki dimensi perjuangan yang utuh dan bulat.

Kesan atau pengakuan terhadap kenyataan ini begitu jelas tertangkap dari hampir semua orang yang ditanyai tentang Kiai Bisri, sehingga ia merupakan sebuah kebenaran yang tidak perlu diragukan lagi. Sudah tentu ini tidak berarti Kiai Bisri tidak memiliki kekurangan dalam pola kehidupan pribadinya. Salah satu kekurangannya adalah keterbukaannya yang tidak mengikuti pola berpikir biasa. Kalau kepadanya disampaikan pandangan tentang sesuatu persoalan oleh seseorang, maka nama orang yang memberikan informasi itu juga akan turut disebutkan olehnya dalam forum yang membahas persoalan tersebut, sudah tentu sering dengan kerugian orang yang bersangkutan. Begitu pula, sekali ia mengambil keputusan berdasarkan ketentuan hukum fiqh, maka ia tidak akan mengubah pendirian, sebesar apapun korban manusiawi yang harus diberikan oleh mereka yang terkena akibat keputusan itu. Sehingga sering muncul kesan Kiai Bisri tidak memperhatikan faktor manusiawi dalam mengambil keputusan. Apapun kekurangan yang ada pada dirinya haruslah dimengerti dari ketundukannya yang begitu mutlak kepada hukum fiqh. Sebuah pengambilan keputusan hukum fiqh adalah segala-galanya bagi Kiai Bisri, ia merupakan jalur tunggal bagi pengaturan kehidupan manusia secara total.

Keteguhan begitu besar dalam ketundukan kepada hukum fiqh ini memang sesuatu yang menarik untuk dikaji, karena ia menghasilkan tidak hanya gambaran sangat pincang tentang kesempitan dan pendeknya jangkauan pandangan seseorang. Sebenarnya, ketundukan seperti itu akan membuahkan sebuah kepribadian yang utuh dan bulat, memiliki dimensi kedalaman pandangan tentang kehidupan dan memberikan arah yang secara utuh berakibat positif kepada jalan kehidupan manusia, kalau ia diterapkan secara tekun dan tuntas. Di sinilah harus difahami kebesaran Kiai Bisri, yang memperlakukan penerapan hukum fiqh dalam kehidupan sebagai sesuatu yang harus dilakukan secara utuh, tekun dan tuntas.

Sebuah illustrasi dapat dikemukakan, yaitu kasus schorsing yang dijatuhkannya atas diri almarhum H.M. Subchan dari jabatan Ketua I PBNU. Sejumlah ulama datang ke tempat Kiai Bisri, menanyakan sebab-sebabnya. “Apakah anda dapat menyelesaikan masalah itu kalau saya sebutkan?” demikian tanya Kiai Bisri. Sudah tentu tidak, jawab mereka. Bukankah tanpa ada jaminan anda akan menyelesaikannya, saya hanya akan mempergunjingkan orang saja kalau saya ceritakan kepada anda, hal mana jelas bertentangan dengan hukum fiqh?

Begitu tuntas arti hukum fiqh pada diri Kiai Bisri, sehingga sikapnya kepada orang lain, termasuk anak cucunya sendiri, sepenuhnya dilandaskan pada ketentuan-ketentuan fiqh. Dengan demikian, keluarga (zakelijkheid) adalah watak pergaulannya dengan manusia lain, siapapun orangnya, walaupun kelugasan yang dimilikinya itu tidaklah bersumber pada norma-norma dan ethos kemasyarakatan sarwa berperhitungan (rechenhaftigkeit) yang melandasi kelugasan dalam pola pergaulan masyarakat kapitalistis.

Dari apa yang dikemukakan tidak salahlah kalau disimpulkan tempat Kiai Bisri dalam kehidupan adalah sebagai pecinta, penganut dan pelaksana hukum fiqh. Tempat yang mengandung fungsi perjuangan dan edukatif sekaligus dalam kehidupan. Ia tercermin dalam ketekunan Kiai Bisri untuk memimpin majlis hukum agama empat puluh hari sekali di Masjid Kauman Lor di kota Jombang, dan kehadirannya secara reguler dalam pengajian Selasa siang di masjidnya sendiri di lingkungan pesantren Denanyar. Ia juga tampak dalam kesediaannya untuk mengajarkan bacaan Al-quran kepada para santri yang masih berusia sangat muda hingga akhir hayatnya, disamping tercermin dalam kiprahnya di tingkat nasional dalam proses pengambilan keputusan-keputusan yang menentukan jalannya kehidupan bangsa.

Ia tercermin dalam perlakuannya yang adil kepada siapapun dalam urusan apa pun, dan kemampuannya melayani orang lain dalam perlakuan yang baik dalam kedudukan sosial masing-masing, tanpa mengorbankan arti dirinya sendiri sebagai seorang ulama besar. Ia juga muncul dalam kesediaan menjadi titik pusat kesadaran umat yang dipimpinnya di kala menghadapi cobaan-cobaan berat dengan tidak pernah ada tanda-tanda menghiraukan sedikit pun risiko yang mungkin terjadi atas diri pribadinya. Ia tercermin baik dalam ketidak sediaan melihat kemungkinan mendekati permasalahan di luar jalur keagamaan yang sudah diatur hukum fiqh, dan dalam kesediaan mendengarkan masalah-masalah begitu luas dalam kehidupan selama ia dimasukkan dalam kategori pencarian informasi bagi pengambilan keputusan di bidang hukum fiqh.

Kiai Bisri adalah orang besar, karena ia lebih besar dari kehidupan sehari-hari manusia umumnya. Tetapi kebesaran itu hanya akan ada, karena Kiai Bisri memilih mengikuti sebuah pola kehidupan yang juga lebih besar dari kehidupan itu sendiri, yaitu pola kehidupan yang sepenuhnya tunduk kepada hukum fiqh. Dengan kewafatannya, hilang pula sebuah tonggak besar dalam kehidupan kita sebagai bangsa: angkatan ulama yang mampu menerapkan hukum fiqh secara tuntas dan penuh dalam kehidupan mereka sendiri, dan kemudian diperluas menjadi sebuah pola perjuangan kemasyarakatan.