Judul |
---|
Menghidupkan Ruh Pemikiran K.H. Achmad Siddiq |
Editor (Penyunting) |
Munawar Fuad Noeh, Mastuki HS |
Penerbit |
Lembaga Studi dan Advokasi untuk Kerukunan Beragama (eLSAKU) dan PT. Logos Wacana Ilmu, November 1999 (cetakan ke-1) |
Kategori |
3 Kata Pengantar Buku, Judul Buku, Karya Tulis Gus Dur |
Arsip Tahun |
1999 |
Judul Tulisan
Sinopsis
Yang melatarbelakangi kehadiran buku ini adalah ketika akan diselenggarakannya Muktamar NU ke-30 di Kediri pada tahun 1999. Di mana Kiai Achmad Siddiq dimakamkan di sana. Sebagai tanda terima kasih atas pemikiran dan perjuangannya untuk Nahdlatul Ulama, buku ini diluncurkan.
Selain itu, ada sisi emosional. Secara historis keduanya—antara Kiai Achmad dan lahirnya NU—terpaut satu minggu, lebih dulu Kiai Achmad Siddiq, lahir pada 26 Januari 1926.
Buku dengan judul “Menghidupkan Ruh Pemikiran K.H. Achmad Siddiq”, harapannya menjadi penyemangat bagi warga nahdliyyin yang akan bermuktamar sekaligus mengingat kembali warisan (legacy) beliau untuk NU. Secara, Kiai Achmad Siddiq adalah Rais ‘Aam PBNU periode 1984-1991.
Setidaknya ada lima pemikiran utama beliau yang dikenang hingga hari ini. Yang pertama, adalah bahwa Pancasila sudah final. Kedua, membudayakan ijtihad atau pembaharuan dalam agama. Ketiga, Hubungan Islam dan politik (kenegaraan). Keempat, landasan khittah Nahdlatul Ulama. Kelima, hubungan persaudaraan (ukhuwah).
Kiai Noer Muhammad Iskandar dalam prolognya menulis, NU itu ibarat gerbong kereta yang diisi oleh penumpang yang dengan muatan kompleks. Untuk memahamkan orang yang bermacam-macam itu, beliau menggunakan bahasa yang sederhana dan ringan, sehingga mudah dipahami oleh banyak orang. Yang paling penting, gerbong besar dan panjang ini dibawa beliau tetap berada pada lintasan rel keindonesiaan dan kebangsaan.
Ada tiga hal yang menjadikan sosok Kiai Achmad mampu berpikir besar dan membawa gerbong besar. Pertama, karena keikhlasan dan pengabdiannya. Kedua, keilmuannya, menyampaikan sesuatu yang sulit dengan bahasa sederhana. Ketiga, faktor lingkungan, pendidikan yang beliau dapatkan dan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Gus Dur menulis tentang Kiai Achmad Siddiq. Tulisannya pertama kali dimuat di Harian Suara Pembaharuan dengan judul “In Memoriam: K.H. Achmad Siddiq”, kemudian dimuat dalam pengantar buku ini.
Ihwal apa yang ditulis oleh Gus Dur tentang Kiai Achmad (biasa Gus Dur memanggilnya, karena Siddiq adalah nama ayahandanya). Adalah semacam refleksi, memori, yang Gus Dur kenang dari beliau. Pemikiran, kebijakan, dan tingkah laku Kiai Achmad dalam kacamata Gus Dur.
Sebelum Kiai Achmad berpulang, Gus Dur sudah diingatkan oleh sejumlah ulama’, kalau NU jangan hanya bergantung pada satu orang saja. Firasat akan kepergian Kiai Achmad itu disampaikan oleh Kiai Hamim Jazuli (Gus Mik). Di kalangan NU, Gus Mik dikenal sebagai sosok yang memiliki daya linuwih, diberi kekuatan (fadhal) bisa membaca masa depan (futuristik). Isyarat akan kepergian Kiai Achmad disampaikan Gus Mik pada 16 Desember 1990. Berselang satu bulan lebih, beliau berpulang pada 23 Januari 1991.
Kesedihan mendalam akan kepergian Kiai Achmad pun tak terbendung. Tentang Kiai Achmad, Gus Dur menuliskannya tentang tiga hal. Pertama, Kiai Achmad adalah sosok yang mampu membawa NU sesuai dengan jalur sunnahnya (khittah). Keputusan pada Muktamar NU ke-27 di bawah kepemimpinan Kiai Achmad Siddiq mengembalikan NU menjadi organisasi sosial-keagamaan, setelah sebelumnya terlibat pada politik praktis. NU tidak ke mana-mana tetapi ada di mana-mana.
Kedua, prinsip dan pemikirannya tentang sosial keagamaan dan kebangsaan (dalam konsep persaudaraan). Sosoknya yang setia pada aturan hukum (fikih), namun juga memiliki derajat spiritualitas ruhaniah (tasawuf). Selain itu, beliau bisa ngemong warga NU dengan kaca mata kasih sayang, membangun hubungan lintas organisasi, yakni menggandeng AR. Fachruddin (Ketua Umum PP Muhammadiyah), lalu merumuskan konsep hubungan agama dan negara, pada Muktamar NU tahun 1984, bahwa NKRI final, dan hal itu merupakan bentuk perjuangan kaum muslimin.
Yang terakhir, apa yang dikerjakan oleh Kiai Achmad selama di NU adalah meneruskan kepemimpinan para pendahulunya, yang berprinsip pada tasharruful imam manuthun ‘ala maslahatirra’iyyah. Yang selalu berpihak pada kemaslahatan umat.